Chereads / Proses Delete / Chapter 14 - Hari Menegangkan

Chapter 14 - Hari Menegangkan

Memendar warna langit ke-orange-an, menyemburkan kedamaian dan kesejukan pagi dengan ritmisnya disebabkan menyingsingnya hawa malam. Sinaran sang surya yang masih mengintip tersipu malu menyapu dengan lembut semesta, beserta isinya menyemburkan alunan kedamaian di setiap partikel-partikel yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa. Berbanding terbalik dengan kesuraman suasana Negara Zendonevia yang sebentar lagi akan diguncang riwayat sejarah yang mengenaskan.

Sesosok "tajam" sedari dini hari bersiaga berjaga-jaga seorang diri. Dia memantau keadaan sekitar untuk mewaspadai pergerakan serangan lawan, dia tidak menginginkan akibat sedikit kelengahan menjadikan kefatalan yang tak termaafkan. Bara berdiri dengan gagahnya memakai jubah kebangsaannya dan kebanggaan Kerajaan Negeri Proksia. Jubah itu berkibar-kibar menantang tegas bersiap menghukum para pecundang kedamaian, ia digerakkan oleh angin. Ketampanannya tertutup oleh kebengisan niatan menghancurkan kedzaliman peperangan di muka bumi ini. Lahan luas yang sedikit gersang dihiasi rerumputan kering ia jadikan kekuatan pijakan kedua kaki berototnya. Gersang ... tandus ... dan hampir tak ada lagi terlihat tanda-tanda kehidupan, semua takut dan bersembunyi, semua pergi dan mengungsi. Dirinya di kelilingi reruntuhan bangunan-bangunan megah yang harusnya menjulang tinggi namun sudah kehilangan bentuknya, runtuh ... luluh .. hancur berantakan menjadi saksi sebuah kekejaman berapa dekade ini, atas ambisi seseorang yang menjadi pemimpin Negara-negara Adidaya yang sudah hilang simpati dan perikemanusiaan di dalam sanubari.

Bara sudah menyiapkan jurus yang sudah diasahnya berhari-hari, ia tak tahu apakah ia bisa menghentikannya? apakah dia akan selamat? ataukah tumbang, yang dia tahu, hanya dia yang bisa mencobanya. Bara memilih posisi jauh di belakang para prajurit militer negeri itu. Karena dia hanya mengandalkan bantuan kekuatan alam, serta dia hanya memiliki senjata pedang, jika Bara berdiri di depan pun, akan membahayakan dirinya dengan adanya meriam dan senapan militer lawan yang bisa dengan cepat membantainya tanpa menyentuhnya.

Jauh di depan sana sudah ada ribuan pasukan militer berderet-deret menggunakan seragam serempak hijau tua mengagumkan mata. Prajurit militer yang tersisa ini telah disiapkan fisik dan mentalnya oleh Panglima dan Jenderal-jenderal terkemuka nan pemberani yang siap mati demi melindungi Negeri ini, namun semua yakin, meskipun jenderal dan panglima yang sangat tangkas itu, mengenai jumlah, persenjataan, peralatan perang sangatlah tidak memadahi dan tidak berimbang. Jumlah dan keadaan yang tidak berimbang ini sungguh tidak menjadikan jiwa pemimpin-pemimpin dan prajuritnya itu tumbang, bahkan semakin berkobar di medan perang, untuk membalaskan kepedihan yang Musuh torehkan.

"NEGARA LAWAN SUDAH MULAI TAMPAK DARI KEJAUHAN" Teriak salah seorang prajurit yang bertugas mengawasi dari jarak jauh menggunakan teropong binocularnya.

Bara memejamkan mata mencoba menembus kekuatan gaibnya, dia menyatukan tenaga dalam dengan alam di sekitarnya, pedang tajam dengan kemilaunya itu ia hunuskan dan tancapkan dengan kuat di daratan sisa darah berliter-liter tumpah ruah. Terguncanglah bumi sebentar itu. Dia berbisik kepada angin. Dia bersuara kepada udara. Dia memohon kepada sang Dewa, dia menyentuh langit dengan getaran spiritualisme-nya demi hari ini, untuk hari ini saja.

"Dewa kabulkan keinginan hamba-hambaMu ini, berikan aku kekuatan Maha DahsyatMu untuk menggulung kedzaliman dan kesombongan segelintir manusia ini dengan izinMu" Bisiknya lirih dalam hati namun sinyalnya mencuat tinggi menembus langit.

Tetiba saja suara gemuruh angin mulai terdengar dari segala arah, seakan pasukan angin juga mulai berjalan menuju sang tuan yang memanggilnya, semakin lama semakin mendekati dirinya.

Meskipun dari arah lawan tampak sangat lengkap persenjataan, mereka menggenggam kepercayaan diri yang kuat bahwa kemenangan akan ada dalam gendongan Negara Adidaya itu.

Malang melintang beterbangan pesawat-pesawat tempur dan helicopter yang siap siaga menjatuhkan amunisinya untuk menggempur tanah yang sudah tandus ini.

Meriam-meriam besar menggelinding berbaris rapi seakan seperti monster yang kapan saja memuntahkan bom-bom didalam perutnya. Tak kalah menekan ketakutan ketika melihat para prajurit militer yang memiliki fisik lebih dari pasukan negeri ini, mereka dikalungi ratusan longsongan peluru dan bergelantungan bola-bola granat. Senapan-senapan berkualitas itu mereka pegang erat seakan menambah kesadisan mereka yang siap memberondong siapa saja sesuai perintah. Suasana semakin menegang.

Sementara itu ... didalam base camp medis,

tidak ada yang bisa dilakukan mereka kecuali hanya menunggu korban dan menindaknya, kecuali mendoakan kemenangan Negaranya dan menangani setelahnya.

Neira dan Naya terduduk tegang dengan jantung dan keadaan yang berdebar-debar, hanya ada dua pilihan menang atau kalah dan hidup ataukah mati. Neira berusaha menahan gejolak dalam hatinya bahkan ia menahan air matanya namun tak mampu. Betapa ia teringat perbincangan bersama semuanya semalam. Bara mengatakan kepada semua yang ada di sini bahwa pertarungan besok adalah yang mendebarkan juga baginya, karena dia juga belum pernah menghadapi semacam ini. Yang paling memilukan adalah penekanannya pada sebesar apa kekuatan yang ia keluarkan, akan selemah itu juga tenaga terkuras, itupun kalau masih berhasil hidup. seperti yang telah disampaikan kepada dirinya kala itu. Ia bisa sampai tertidur lama, sepuluh jam atau sepuluh hari, sepuluh pekan, bahkan butuh sepuluh tahun untuk memulihkan tenaganya.

"Apa kau bisa mati Hero?"

"Tentu saja, aku manusia, punya darah dan daging, aku bisa mati karena bom, peluru atau pedang"

"Kau tidur sepuluh tahun tanpa makan dan minum? apa masih bisa bertahan hidup?"

"Aku tak tahu karena belum pernah tertidur sepuluh tahun, itu cerita Pamanku."

"Kalau kau tertidur selama itu, apa yang harus kami lakukan untuk membantumu?"

"Aku juga tak tahu, waktu Pamanku bercerita aku tak menanggapi serius, karena aku pikir tak akan mungkin terjadi padaku, tapi aku salah. Sekarang aku dalam posisi ini dan aku tak tahu apa yang harus dilakukan"

Begitulah tanya jawab di dalam base camp saling bersautan, dan terdengar sedikit menegangkan.

Neira sudah tak mampu lagi memendam tangisnya, atas semua yang ia dengarkan.

"Bagaimana jika dia mati? ataupun tertidur sepuluh tahun. Dia tak dapat membayangkan kehilangan lelaki itu. meskipun andaikata hanya sepuluh tahun ia tidur, bukan mati.

Bara masih serius mengatakan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, sedangkan Neira beranjak pergi untuk menutupi kesedihan hatinya mendengarkan itu semua, dia pergi ke kamar mandi, disana ia berdiri dibalik pintu menumpahkan semua air matanya, lalu ia meringsut terduduk dilantai sambil menutup wajahnya lalu menangis sejadinya menumpahkan kesedihan hatinya. Ia tak tahu apa yang sebenarnya ia rasakan sehingga mendengarkan itu membuatnya begitu sedih. Dia sadar Bara tak pernah mengatakan apa-apa kepada dirinya, tapi kenapa dia jadi merasa kehilangan begini? ia merasa kehilangan sebelum lelaki itu hilang dengan sesungguhnya.

"Tok ... tok ... tok ..." Suara ketukan pintu tiba-tiba, membuat air matanya menyurut, ia seka dengan jemarinya lalu mengusap hidungnya yang juga berair. Ia percikkan air dari kran agar menyamarkan rona bekas tangisannya.

Ia sangat terkejut ketika yang berdiri dihadapannya ketika membuka pintu itu, di luar pintu telah berdiri Bara. Bola mata Neira membesar dan mulutnya ternganga, tapi dia segera menunduk dan hendak bergegas meninggalkan Bara, ia mengira Bara antri masuk kamar mandi.

Tangan mungil itu dicegahnya untuk berlalu pergi, dia arahkan lagi tubuh Neira sehingga berhadapan lagi dengannya.

"Kamu menangis?" Neira menggeleng tak mau berkata-kata.

"Kamu menangis Nei, aku mendengarkan sendiri" Tuduh Bara membuat Neira menunduk berkaca-kaca lagi tak berani menatapnya kembali. Tanpa gadis itu kira, Bara langsung menarik gadis itu ke dalam dekapannya. Sebenarnya hati Bara juga tak jauh beda sangat sedih dan megkhawatirkan apa yang terjadi esok hari, apa yang akan menimpa dirinya? dia juga tak mau jika kehilangan gadis cantik nan baik budi ini, Neira tak kuasa berteriak dan menangis dengan suaranya dalam dekapan lelaki ini, ia merasakan sesaknya dada. Meskipun keduanya tak tahu apa yang terjadi dengan diri keduanya? perasaan keduanya? tapi mereka mengakui atau tidak, meskipun tanpa kata-kata sebelumnya, mereka berdua sudah saling terpaut.

"Bagaimana kalau kau mati Hero? aku tak akan bisa menerimanya"

"Bagaimana kalau kau tidur meniggalkan aku sepuluh tahun? Kau bilang tak bisa menua, sedangkan aku menunggumu menjadi tua. ketika kamu siuman usiaku telah jadi 30 tahun, dan kamu masih 20 tahun?" Neira terus menuangkan buliran-buliran halus dari matanya.