Chereads / SILENT (Diam) / Chapter 5 - Meaning

Chapter 5 - Meaning

Jam pelajaran pertama sudah kami lewati, setelah ini matematika. Aku merenggangkan otot-otot bagian bawahku, menikmati rasa nyaman yang tidak akan selamanya ini. suasana kelas yang riuh seperti biasa, bedanya tidak ada kata-kata sindiran menyakitkan yang ditujukan padaku atau perlakuan diskriminatif dari segerombol burung pemakan bangkai. ukh! maksudku Saeki dan kawanannya.

Aku merasa punggungku merasakan sesuatu. aku menoleh kebelakang dan melihat Urei yang sedang menyentuh punggungku dengan telunjuknya. aku menatapnya dengan heran, dan aku rasa dia mengerti maksudku.

"Aku mau tanya, apakah kau klub basket?" Aku menggeleng "Lalu kenapa tadi pagi ada di depan gedung lapangan basket?" Aku diam, dan mengambil buku serta pensil. sebelum aku menuliskan jawabannya dia kembali bertanya "Sebenarnya kau kenapa?" untuk yang ini, aku tidak mengerti maksudnya.

Aku menulis jawabannya dan menunjukkan padanya "Apa maksudmu?"

"Kau tidak bisa bicara? murid-murid lain berkata kau aneh, kau hanya diam, mengangguk dan menggeleng untuk menjawab lalu menulis. itukah sebabnya gadis yang bernama Saeki itu menjahilimu?" wah wah.. baru seminggu dia masuk kelas bermasalah ini, dia sudah punya banyak informasi.

Aku menulis lagi dan menunjukkan padanya "Ya, ya, dan iya" aku belum mengenalnya, aku tahu dia orang baik. Tapi menjawab sesingkat mungkin adalah pilihan yang tepat agar aku tidak banyak menulis sebuah alasan di buku catatanku.

"Jadi kau masuk klub apa? aku ingin bergabung juga" iya ya, aku sudah tidak ikut klub apapun. tak apalah, itu artinya aku senggang jadi bisa lebih banyak di rumah bersama ibuku.

"Tidak masuk klub apapun" begitu yang aku tulis, dia mengangguk, sebelum kembali bicara Mira-sensei menyapa dari ambang pintu kelas. pelajaran kedua dimulai.

***

Saat istirahat adalah saat paling disukai ke 2 para siswa setelah bel pulang. Semua sibuk dengan makanan dan obrolan satu sama lain. ada yang memilih di kelas, pergi dan makan di kantin, mengobrol di lorong, atau bahkan di halaman sekolah. Aku sendiri, tempat favorit ku adalah atap sekolah. Anginnya kencang, dan menenangkan. aku suka makan disana.

Baru beberapa langkah setelah beranjak dari kursiku, Urei meraih tanganku "Tunggu aku, kau mau makan dimana?" dia merogoh tasnya dan meraih dompet dari dalam sana. "Aku ikut, tapi sebelum itu antar aku ke kantin ya. Aku harus beli roti isi yakisoba, roti melon dan teh gandum"

Anak ini kenapa sih? walau sebenarnya protes tapi aku tetap menunggunya di depan kantin, aku rasa roti yakisoba itu favorit siswa laki-laki ya? aku melihat di bagian itu penuh sesak. "Eh, Kotoha" suara seseorang mengagetkanku, spontan aku menoleh dan melihat mika, teman satu klubku.

Aku mengangguk tanda menyapa, dia meraih tangan kiriku yang menganggur, karena tangan kananku memegang tas kotak bento. "Kotoha, kami benar-benar minta maaf soal lukisan-lukisan itu. Kami tahu pasti bukan kau pelakunya tapi kami tidak bisa membelamu" yah.. aku sudah tahu itu, aku tidak menyalakan kalian.

Aku mengangguk dan tersenyum kurasa Mika mengerti karena dia sedang mengelus dada dan berkata "Syukurlah" dia menghela nafas panjang "Anggota klub yang lain juga ingin minta maaf padamu. Tapi mereka terlalu malu"

Matsunaga-sensei bagaimana? ah.. sudahlah, lupakan saja. Guru yang satu itu, bukan cuma seorang pemarah biasa. harga dirinya tinggi. mana mau dia minta maaf.

"Kau siapa?" Urei datang dengan satu kantong besar berisi beberapa jenis roti dan minuman yang di beli dari Vanding Machine. nada suaranya sedikit bersifat defensif, mungkin dia pikir Mika salah satu dari kawanan Saeki. Mika melihatku dengan bingung.

"Aku Mika kawamura, anggota klub seni lukis. aku teman satu klub dengan Kotoha" jawabnya agak kaku, ia merasakan betul tekanan yang di berikan Urei. Meski sejujurnya, ini sangat berlebihan.

"Ooh teman satu klub ya, mau makan sama-sama? aku beli banyak roti yakisoba dan roti melon" suasananya berubah cepat, wajah cerianya mengembang sempurna "Jadi mau kemana kita?" dia menoleh padaku. aku menunjuk dengan gestur jari telunjuk "Keatas"

"Aku tidak ikut ya, teman sekelasku menunggu. dah ya Kotoha" Mika mengangguk pelan pada Urei dan menepuk pelan pundakku lalu berlalu dengan senyum khas dengan lesung pipi diwajahnya.

"Apakah dia orang yang baik Kotoha?" Urei bertanya padaku, sambil terus berjalan. aku hanya mengangguk lalu tersenyum. "Syukurlah, ternyata kau punya teman yang baik juga Kotoha"

Dia mengkhawatirkan aku sampai seperti itu? aku sebenarnya bukan orang yang suka menggolongkan mana orang baik dan mana yang jahat. Karena setiap manusia pasti pernah membuat kesalahan, dan berperilaku buruk. semua pasti ada alasannya.

Seperti Saeki, aku tidak munafik untuk bilang 'aku membencinya' tapi, yang aku benci adalah sifat dan perangainnya diluar itu dia sejujurnya adalah pribadi yang menyenangkan, aku yakin ada alasan kenapa dia melakukan semua kejahilan itu. kalau saja di bisa berubah..

"Uwaaah anginnya!" suara Urei membuyarkan lamunanku. Tidak terasa sudah sampai atap gedung. Ada beberapa anak lain yang makan disini mereka membuat grub di tempat-tempat ternyaman mereka, dan tempat ternyaman ku adalah disisi kanan pintu masuk. Teduh dan nyaman untuk duduk, aku memposisikan diriku, duduk dengan nyaman bersender pada dinding. Lalu tidak kusangka, Urei malah duduk berhadapan denganku. "Mari makan!" dengan semangat dia membuka satu bungkus roti yakisobanya.

Aku membuka tas bekalku, hari ini menunya seperti biasa. Omelette, tempura, dan beberapa rebusan. aku mengatupkan tangan lalu memulai suapan pertama, seperti biasa juga aku selalu memuji sendiri masakanku. Ibuku mengajarkan aku untuk membuat bekal makan siang sendiri sejak aku masuk SMP. Jadi aku terbiasa memasak.

Dia menengguk teh gandum botolnya, lalu melihatku yang juga melihatnya. entah kenapa.. rasanya lucu. Aku tertawa dan dia tertawa. Saat itu, aku berpikir tidak harus ada alasan untuk tertawa.

Yang pasti tawaku ini bukan tentang sebuah respon dari kelucuan.. melainkan perasaan yang lebih dari itu. aku merasa lega, ada Urei disini. andai saja, perasaan ini berlangsung selamanya. aku bahkan tidak perlu bisa bicara.

"Jadi, kenapa kau tidak bicara?" ah.. dia merusak suasana! "Aku yakin kau bisa bicara" aku menatapnya sebentar lalu melanjutkan kembali makanku yang sempat berhenti karena tawa tadi.

"Ah! kau tidak bawa pensil dan buku. ini pakai ponselku" dia menyodorkan ponselnya padaku "Berikan aku alamat emailmu Kotoha" aku yakin dia tidak bermaksud jahat untuk meminta alamat emailku, dia begitu baik. Aku bisa merasakannya.

Dia hanya ingin aku yang terlihat kesepian ini punya teman, lalu harapan yang lebih jauh lagi adalah bisa terus membantuku jika aku dijahili oleh orang-orang.

Dia begitu baik. Seharusnya orang baik selalu diberi kebahagiaan. Tapi kenapa namanya Urei*?

*Urei = kesedihan