"Koootooohaaaaa" Urei memanggilku dari bangkunya, kurasa dia sedang tidak bersemangat. dia melipat tangannya diatas meja dan membenamkan wajah diatasnya. hari ini pembagian hasil ujian matematika dadakan yang dilakukan kemarin. Nilainya bahkan tidak mencapai angka 40. Mungkin karena itu dia terdengar frustasi.
"Hmm" aku sudah berani bersuara di depannya, meski bukan kata-kata jelas yang bisa aku ucapkan.
"Berapa nilaimu?" suaranya terdengar aneh, karena wajahnya belum ia angkat dari posisinya sejak tadi. Aku mengetuk mejanya dan menyodorkan kertas ujianku. "92?!" dia menjerit. siswa yang lain menoleh sebentar lalu kembali dengan kesibukan mereka masing-masing.
"Aku tidak tahu kalau ternyata kau hebat dalam matematika, ajari aku. toloooooong!" dia mengguncang-guncang tanganku. Aku melepaskannya dan menulis sesuatu di buku. aku menyerahkan padanya.
"Tidak mungkin. Bagaimana aku mengajarimu. aku tidak bisa bicara padamu" begitulah isi tulisannya.
Dia melihatku sebentar lalu mengangguk pasrah. "Aku bisa dibunuh ibuku"
Kau tahu, yang paling membuatku frustasi adalah aku ingin membantu temanku yang kesulitan tapi keadaanku tidak memungkinkan untuk itu.
Baru kali ini aku begitu ingin membantu seseorang. Rasanya jika aku biarkan dia kesulitan maka sama saja aku membiarkannya di bunuh. kau dengar tadi dia bicara kan? dia akan dibunuh ibunya. yang ada didalam imajinasiku ibunya itu adalah seorang kinoichi (ninja wanita) dari suatu klan. Oke cukup!
Aku mengetuk mejanya lagi dan menyodorkan buku catatanku agar ia membaca tulisan didalamnya. "Oke, tapi aku tidak yakin hal ini akan berjalan dengan baik"
Wajahnya berbinar penuh kegembiraan. dia meraih tanganku dan tertawa "Tidak apa, kalau belum dicoba mana mungkin kita tahu kan?"
***
"Mustahiiiiiil!!!" Urei menjerit di depan kertas-kertas soal yang aku buat. Benarkan? mustahil.. aku sudah menghabiskan satu buku catatan untuk mengajarkannya, menulis penjelasan sejelas-jelasnya tapi beginilah akhirnya. Ia menjerit-jerit di kamarku seakan aku melakukan sesuatu yang buruk padanya.
Aku dan dia sudah 2 jam belajar di kamarku, sudah 2 botol besar minuman manis yang aku buat untuknya, sudah 2 pack cemilan milik ibuku yang dia habiskan. Aku membahas ini bukan berarti aku perhitungan soal makanan. Tapi, sebanyak itu asupan gula untuk otaknya tapi dia tetap tidak bisa mencerna sama sekali penjelasan yang aku jabarkan.
Sekarang sudah pukul 6 sore, sebentar lagi ibuku pulang bekerja. Jika sampai ibuku pulang dia tidak mengerti juga, maka mau tidak mau aku akan meminta ibuku mengajarinya. Jangan remehkan ibuku. Kau pikir darimana kemampuan matematika ku ini? hanya saja, aku ragu jika Urei akan tahan dengan cara ibuku mengajarkan. dia akan sangat tidak menyenangkan, saat bertemu dengan buku-buku pelajaran.
"Kotoha, apakah tidak apa-apa aku disini sampai gelap begini?" aku ada di ambang pintu kamar saat ia bertanya. Aku menjawab dengan senyum dan anggukan. Kurasa istirahat sebentar tidak apa-apa, kasihan Urei wajahnya sampai tertekan begitu. Segitu lemahnya dia dengan angka-angka.
Aku menyalakan lampu kamar karena sudah sedikit gelap, itu karena cat kamarku abu-abu suasananya jadi redup walau diluar masih terang. Lalu duduk di depan meja rendah di tengah ruangan samping ranjang yang saat ini kami gunakan untuk belajar.
"Kotoha, sulit juga untuk kita berkomunikasi ya. mungkin beberapa kali aku bisa mengerti dari tatapanmu. tapi seringnya aku kesulitan jika tidak ada buku tulis" dia memainkan gelasnya. seakan pembahasan ini sangat menyita seluruh alam pikirnya. "Bagaimana kalau kita berdua belajar bahasa tubuh?" katanya tiba-tiba bersemangat.
"Eh?!" hal itu tidak terpikirkan olehku. awalnya orangtuaku juga berpikir begitu, tapi tidak semua bisa menggunakan bahasa tubuh. lagipula ayah bersikeras tidak ingin memasukan aku ke sekolah khusus penyandang difable.
"Bagaimana? aku akan mencari tempat yang bisa mengajarkan kita" dia meraih kedua tanganku. kenapa dia suka sekali menggenggam tanganku?. Sebelum aku melepaskan tanganku darinya agar bisa menulis dia mengeratkan lagi genggamannya "Aku ingin bisa ngobrol denganmu, tanpa menunggumu selesai menulis" wajahnya riang, persis seperti anak kecil. Begitu tulus, tidak ada kebohongan disana sedikitpun.
Wajahnya yang semangat, begitu lucu dan menggemaskan. Tanpa sadar aku tertawa, dia melihatku bingung kemudian tersenyum
"Wajahmu saat tertawa begitu manis Kotoha" mendengar hal itu darinya membuat jantungku berdegup tidak karuan, pipi ku terasa panas.
"Aku pulang" suara ibuku dari lantai bawah mengaggetkanku, tepatnya menyelamatkan aku dari situasi yang sulit aku hadapi. "Kotohaaaa"
Aku langsung beranjak pergi meninggalkan Urei yang terdiam setelah melihat wajahku. Aku harus menyapa ibuku dan memberitahukan kedatangan Urei dan tujuannya kemari. "Ah! Kotoha, apakah ada teman sekolahmu?" ibuku bicara sambil meletakkan belanjaan di atas meja dapur. Aku mengangguk dan meraih kertas. "Ada Urei diatas, dia minta diajari matematika. Tapi aku tidak bisa menjelaskannya hanya dengan tulisan. Bisakah ibu membantu?" begitu isi tulisanku.
"Oke kalau begitu, tapi kau yang buat makan malam ya" aku mengangguk senang. Tentu saja senang, aku bisa lari dari Urei sementara waktu. Jika aku kembali sekarang pasti akan canggung.
Hari ini aku membuat nasi kare. makanan itu sudah siap aku hidangkan diatas meja makan, tapi mereka belum juga turun.
'Ada apa? jangan-jangan Urei pingsan?!' aku menggeleng kepala mencoba menghilangkan pikiran-pikiran aneh yang suka hinggap seenaknya. Menyusul mereka adalah satu-satunya cara, karena meneriakkan nama mereka aku tidak mungkin.
Semakin dekat dengan pintu kamarku yang terbuka, terdengar suara tawa ibuku dan tawa Urei. Mereka begitu akrab, seakan sudah berteman sangat lama. Aku bersyukur dalam hati, sejak ayah meninggal ibu terlihat sangat kesepian. "Ah, Kotoha apakah makan malamnya sudah siap?"
Aku mengangguk, dengan ceria mereka berdua mengikutiku ke dapur.
Di atas meja makan ini, semua keceriaan ayah dan ibu yang seketika redup kemarin-kemarin. Seakan cerah kembali karena hadir Urei. Ibuku banyak tertawa, seakan kesedihan-kesedihan kemarin sudah lenyap dari matanya. Mungkin ini terdengar klise, tapi makanan biasa saja seperti inipun terasa jadi begitu lezat saat makan dengan suasana seperti ini.
Aku kembali bersyukur.
Hal-hal sederhana, seperti candaan kecil yang Urei lakukan, pujiannya tentang lezatnya makanan yang sekarang ia makan, dan suara tawanya yang renyah dan menular. Bahkan bisa membuatku dan ibuku merasa bahagia.
Hadirnya seperti angin segar didalam ruang pengap yang selama ini menyandera kami.
Dia yang sederhana dan lurus seperti anak panah. aku ingin belajar dengannya. Bagaimana hidup itu, bagaimana caranya bahagia dan membahagiakan orang-orang disekitarnya.
"Sering-seringlah main kemari ya, Urei-kun" ibuku mengatakannya dengan penuh harap. aku yakin itu. Urei sendiri menoleh padaku sebentar, lalu mengangguk senang.
Aku? tentu saja aku juga senang. Gawatnya, aku jadi begitu bergantung padanya.