Chereads / SILENT (Diam) / Chapter 12 - Revenge

Chapter 12 - Revenge

Sudah tiga hari aku membolos. Aku lebih memilih menghabiskan waktu dengan merawat Urei ketimbang pergi ke sekolah. Bagiku, tanpa Urei sekolah rasanya sangat tidak menyenangkan. Siang harinya saat aku sedang menyuapi makan siang Urei, Matsunaga-sensei datang menjenguk. Membawakan tas milikku yang tertinggal di sekolah sejak kejadian Urei

serta, Membawa kabar yang sangat tidak bisa aku terima.

Saeki dan Yuki tidak mendapatkan hukuman apapun.

Aku sangat marah, Matsunaga-sensei juga mengerti hal itu. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? kepala sekolah sudah seperti kerbau peliharaan bagi Saeki dan ayah parlementer nya itu. katanya, aku harus sabar. katanya, yang terpenting Urei tidak apa-apa.

Dari sudut mana dia mengatakan Urei baik-baik saja?!

Matsunaga-sensei mengatakan padaku bahwa Saeki dan Yuki jadi sedikit lebih pendiam. mereka menyesali apa yang mereka lakukan, tapi sedikitpun rasa simpatiku sudah tidak lagi tumbuh untuk mereka. Sungguh, aku tidak perduli jika mereka melakukan hal buruk padaku. Tapi, Aki-sensei? lalu Urei?! jika tidak ada yang menegur, mereka akan terus begitu. Berpikir bahwa menyakiti orang lain adalah sebuah kesenangan.

Satu hal lagi yang membuatku terkejut dari mulut Matsunaga-sensei adalah ibuku hari ini datang ke sekolah. Ia bilang, kepala sekolah ingin membicarakan mengenai aku yang akhir-akhir ini menjadi siswi yang cukup bermasalah di sekolah. Dan.. tentang 3 hariku membolos dari sekolah. ibuku tidak mengatakan apapun padaku pagi tadi, dia bertingkah seperti seakan tidak ada masalah apapun.

Urei hanya menatapku, dan menggenggam tangan kananku yang mengepal kuat. dalam pikiranku aku menebaknya. Aku hanya bisa menebak, bahwa ibuku hanya akan mendapatkan perlakuan buruk, kata-kata tak menyenangkan dan aduan yang tidak sepenuhnya benar. sudah biasanya begitu.. seperti biasanya. Tapi, bagaimanapun sekarang ibuku sendirian. Tidak lagi ada ayah disisinya. tidak ada lagi pundak untuknya bersandar, tidak ada lagi suara lembut yang menguatkannya.

Jam dinding hijau yang terpasang di dinding ruang ini menunjukan pukul 13.28, Matsunaga-sensei pamit pada kami berdua untuk kembali ke sekolah.

Setelah kepergian Matsunaga-sensei, Urei tidak banyak bicara, tidak ada candaan yang keluar dari bibir merah pasir nya. aku tidak mengerti apa yang sedang ia pikirkan, aku sangat ingin tahu tapi ada sesuatu di hatiku yang terus menahan diri agar tidak bertanya.

Pukul 15.45, Urei tertidur. aku mengusap pucuk kepalanya, merasakan helai demi helai rambut hitamnya disela jemariku. "Maafkan aku" bibirku berbisik. Aku beranjak pergi, meninggalkannya..

***

langkahku pelan saat memasuki rumah, suasana sepi seperti hari-hari sebelumnya. aku melihat sepatu ibuku tergeletak di rak, ibuku sedang ada di rumah. aku rasa ibu tidak kembali ke kantornya setelah menghadiri panggilan kepala sekolah pagi tadi.

Di ruang tengah, ibuku duduk di sofa menghadap televisi yang menyala dengan suara rendah. aku berdiri di ambang pintu ruangan, melihatnya. wajah ibuku kosong, matanya melihat televisi tapi entah pikirannya. lalu ia menyadari kehadiranku, menoleh seraya tersenyum.

Ini bukan kabar baik!

"Apa yang terjadi?"

Ibuku menggeleng, "Tidak ada apa-apa, Kotoha"

"Aku tidak mau di bohongi" aku sempat melihat ibuku menghela nafas dan memalingkan wajahnya dariku.

"Kepala sekolah mengatakan bahwa, kau yang menyebabkan Urei jatuh, lalu Urei memakai obat-obatan di sekolah." sudah tidak ada lagi hak yang membuatku terkejut dengan sekolah bermasalah itu "Kalian akan di keluarkan dari sekolah." dari wajah frustasi ibuku, aku tahu seberapa kuat perlawanan yang ibu lakukan kepada kepala sekolah. kepada manusia penjilat seperti dia.

Aku sudah lelah mengepalkan tangan terlalu lama, hingga rasanya kuku jariku mati rasa. aku sudah lelah menahan amarah yang membara di dada, seakan kini rongga dadaku hanya menyisakan abu. sudah tidak ada hati disana.

"Aku akan pergi" sebelum menunggu reaksi ibuku, aku meninggalkannya secepat yang aku bisa. aku bisa mendengar ibuku berkali-kali memanggil namaku. tapi aku sudah memutuskan, maka aku tidak bisa kembali lagi.

***

Aku sudah berdiri di depan gedung sekolah ku. Di dalam sana masih sangat ramai, jam pelajaran sudah usai pukul 4 sore. setelah itu semua sibuk dengan kegiatan klub mereka semua guru juga masih ada di ruangannya.

Aku melangkahkan kakiku dengan mantap, semua orang menatapku heran. aku tidak memakai seragam sekolah, aku hanya mengenakan kaos hitam polos dan jeans sebagai bawahan. pakaian itu jelas bukan sesuatu yang pantas aku pakai untuk pergi ke sekolah. suara bisikan-bisikan terdengar nyaring mengiringi langkahku, aku memasuki gedung utama sekolah tanpa mengganti sepatuku. jejak debu tercetak di lantai saat aku melangkah masuk lebih ke dalam gedung. siswa-siswi yang belum pulang saat itu berkerumun melihatku.

Ini sangat mengangguku!

"Apa yang dia pikirkan?"

"Bukankah dia Kotoha Oto? apa dia sudah tidak waras?"

"Kurasa rumornya pasangan itu di keluarkan dari sekolah"

"Mereka memang pembuat masalah"

Diam! kalian bahkan tidak bisa melihat fakta dengan baik!

"Dasar aneh!"

"DIAM!!!" aku berbalik dengan kasar, melihat satu persatu manusia yang kini hanya menutup bibir mereka dengan kedua telapak tangan mereka. "Kalian sangat menganggu!"

Aku menunjuk siswi dengan kacamata "Tidur!" ia ambruk tak sadarkan diri, telunjukku berpindah ke arah siswa dengan rambut hitam berombak "Tidur" dia menyusul si gadis kacamata. "Tidur! tidur! tidur! TIDUR KALIAN SEMUA!" semua yang ada di sekitar ku seketika ambruk. "Kalian jangan bangun sampai aku selesai dengan urusanku" aku meninggalkan mereka tanpa peduli sedikitpun.

Aku melewati lorong dan bertemu beberapa siswa yang manatap ku dengan aneh "Tidur" mereka juga ambruk. 4 meter di depanku, Saeki dan kawanannya terkejut melihatku. Aku berjalan mendekati mereka, seakan paham apa konsekuensi yang akan mereka terima jika berhadapan denganku mereka menjauh, berlari untuk menjaga sejauh mungkin dariku.

Aku hampir berlari, hingga akhirnya Matsunaga-sensei menghadang jalanku. "Apa yang kau lakukan Kotoha?!" aku menatap matanya yang penuh dengan rasa tidak percaya.

"Jangan menghalangiku sensei." seketika ia menyingkir dari hadapanku tapi ekspresi panik masih menghiasi wajahnya. aku pergi meninggalkannya, berlari mengejar Saeki dan yang lainnya.

Mereka menuju atap! bagus sekali!

Pintu atap menuju atap sekolah tidak bisa ku buka, aku yakin ini ulah Saeki dan kawanannya. mereka menahan pintu agar aku tidak bisa kesana. aku mundur sejenak lalu menendang knop nya, pintu terbuka beserta suara gebrak keras yang mengikuti. aku tak menghiraukan kakiku yang terasa sakit.

Melihat wajah mereka yang panik penuh rasa takut. senyumku mengembang. mereka mundur selangkah demi selangkah seiring dengan majunya langkahku. aku benar-benar ingin tertawa terbahak-bahak di hadapan mereka. lihat betapa pengecutnya mereka, aku bahkan belum melakukan apapun.

Tidak seperti atap gedung kelas kami yang terdiri dari 4 lantai. atap gedung utama yang saat ini kami singgahi hanya 2 lantai. anginnya tidak begitu kuat, langit sore yang kemerahan yang menjadi latar terbentang di belakang Saeki dan yang lainnya. dramatis sekali.

Yuki tampak menarik lengan Saeki. wajah takutnya menggelitikku, ada apa dengannya? kemana perginya ekspresi tertawanya saat menjahiliku dan Urei?! pandanganku beralih pada Saeki yang menatap tajam. tatapan membela diri, huh?

"Apa yang kau mau lakukan?!" suara Saeki terdengar normal untuk ukuran orang yang ketakutan.

"Tidak banyak" aku menimpali "betapa menyenangkannya hidup kalian."

"Apa maksudmu?!" Nana membentak

"Kalian melakukan kejahilan, kalian mencelakai orang lain. tapi kalian bebas dari hukuman apapun." aku terkekeh sinis, menertawai lucunya kehidupanku. lucunya nasib yang menyertaiku.

"Kalau ini soal Urei, aku benar-benar tidak sengaja, Kotoha" Yuki terdengar memelas. kasihan sekali.. tapi, itu jika aku masih bisa merasa kasihan padanya.

"Yuki, kau tahu bagaimana rasanya jatuh dari atap gedung ini?" suaraku berat, terdengar sangat mengerikan bahkan bagi telingaku sendiri. Yuki menggeleng cepat, ia mulai menangis. "mendekatkan ke tepian" ia menurut, tangisnya makin kuat

"Hei! apa yang kau lakukan!! Yuki!" Saeki menoleh kasar padaku, tangannya meraih tangan Yuki yang menangis tapi tubuhnya kaku mengahadap tepian gedung.

"Lompat!"

Sedetik berlalu, Yuki melompat dengan pasrah. Jeritan Saeki bersamaan dengan suara pintu di belakangku terbuka dengan kasar, seakan mengembalikan kesadaranku.

Aku menoleh, dan disana Urei menatapku. ia menggunakan tongkat untuk menyangga kedua lengannya, keringatnya bercucuran, wajahnya pucat melihatku, tatapan tidak percaya pada matanya benar-benar mengusikku.

"Kotoha" suaranya tercekat "Apa yang telah kau lakukan?!" aku tidak menggubrisnya. pandanganku kembali pada Saeki yang terduduk melihat Yuki di bawah sana, air matanya mengalir deras.

"Kau bisa menangis juga?"

Saeki menatapku tajam "apa yang telah kau perbuat pada Yuki?!"

"Tenang saja, Yuki tidak akan mati." aku tidak percaya dengan apa yang aku katakan. aku sudah melewati batas.. tapi aku tidak mau berhenti. "setidaknya dia tahu apa yang Urei rasakan"

Urei tertatih mendekatiku "BERHENTI UREI!" ia tersentak, ini kali pertama aku membentaknya dengan kuat. Aku tahu kemampuanku tidak berpengaruh pada nya, karena itu aku tidak yakin hanya sebuah bentakan biasa dapat menghentikannya.

"Ibumu tadi datang padaku." wajahnya berubah sedih, "Ia menceritakan semuanya, Kotoha. semuanya"

Ibuku .. menceritakannya? tentang kemampuanku pada Urei?!

"Ayo kita pulang Kotoha, ayo pulang." tangannya menjulur ke arahku. aku sudah sejauh ini. aku tidak bisa kembali! aku berbalik. kembali pada Saeki yang masih menangis dan Nana yang begitu ketakutan memeluk Miyoko.

"Nana, tampar Miyoko. jangan berhenti sampai aku ijinkan" Nana menurut, ia menampar Miyoko yang menangis. pipi kanan dan kiri Miyoko sudah memerah, tangis mereka berdua entah bagaimana begitu menggelitik.

Apa aku sudah tidak waras?

"Hentikan!! kumohon hentikan!!" Saeki menjerit, ia mencoba melerai mereka berdua. tapi sia-sia.

"Bukankah melihat hal ini adalah hiburan bagimu?" Saeki bergeming mendengar pertanyaanku, ia menoleh padaku lalu mendekat dengan cepat. tamparan kuat mendarat di pipi kananku. rasanya panas dan menyakitkan.

"Kau keterlaluan!! kau iblis!" katanya, aku tertawa mendengar hal itu darinya.

"Dengar ya, aku harus menjadi iblis untuk bisa melawan iblis!"

Urei mematung, dia masih tidak percaya aku bisa melakukan hal-hal seperti ini. "Tikan!"

Saeki mencengkram kerah kaosku, "Aku bersumpah-"

"Apa yang akan kau lakukan?" aku bertanya pelan. tidak ada sedikitpun ketakutan yang aku rasa. Saeki menggeram. "Jatuh!" tubuh Saeki tiba-tiba jatuh menghantam permukaan beton. ia mencoba bangkit. "Jatuh!" ia kembali terjerembab. "Bagaimana rasanya? grafitasi bahkan tidak mengijinkanmu untuk bangun. lihat betapa rendah dirimu?"

Saeki menangis, bukan karena sedih ataupun rasa sakit. wajahnya merah padam, tangis itu adalah ungkapan kemarahannya. aku bisa merasakannya.

"Hentikan!!" suara Urei mengusikku. "Kumohon hentikan Kotoha!"

"Tidak! tidak akan! Dia harus merasakan apa yang aku rasakan!" tidak.. bukan ini yang aku inginkan! "apa yang selama ini ia perbuat padaku begitu kejam! aku lelah! ia harus merasakannya! betapa aku selama ini begitu tersiksa! aku sudah sangat bersabar!!"

Aku hanya ingin menegurnya..

"Aku tidak bisa melihatmu bahagia Kotoha!, hidupmu harus menderita!" Saeki menangis "Hidupku juga sangat menyedihkan, aku tidak ingin menderita sendirian" ia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. "Maafkan aku Kotoha, maafkan aku"

kalimat tulus itu.. akhirnya terucap dari bibir Saeki.

"Kau harusnya menyadarinya.. kau punya banyak hal yang tidak bisa dimiliki oleh orang lain" Saeki menggeleng kuat-kuat "kau cantik, kau kaya, dan kau punya teman" Saeki berhenti menangis. ia menatapku pelan

"Kotoha.."

"Saeki, jika aku tidak melakukan hal ini. kau akan terus berlaku seenaknya kepada siapapun, dimanapun, kapanpun" tenggorokaku terasa terbakar "tidak.. aku tidak bermaksud untuk menegurmu. aku tidak sebaik itu. aku hanya ingin meluapkan semua kemarahan ku padamu".

Tenggorokan ku.. sakit sekali. aku tidak bisa mengatakan kalimat selanjutnya. aku terduduk, tidak bisa menguasai keseimbanganku. rasanya sakit sekali.. aku bahkan tidak bisa menjerit.

Urei mendekatiku dengan wajah panik.

Apa yang terjadi padaku?!

***