Chereads / SILENT (Diam) / Chapter 13 - Hope

Chapter 13 - Hope

Rasa terbakar itu semakin menyiksaku. aku bahkan sulit bernafas sekarang. aku tidak bisa melihat dengan jelas, tapi saat pandanganku mengedar Saeki mulai bangkit dan mendekati Nana serta Miyoko yang terkulai lemah.

Urei sudah meraihku, ia bergerak kaku. Bagaimana dengan gips di kaki kanannya?!

"Kotoha?! apa yang terjadi? ada apa denganmu?!" suara Urei bergetar, aku bisa menebak seberapa panik dia.

Aku hanya menggeleng, jangankan untuk menjawabnya, menghirup oksigen saja aku kesulitan. tanganku mencengkram erat batang leherku, meski aku tahu hal itu tidak sedikitpun berpengaruh apa-apa.

Apakah ini akhir hidupku?

aku berakhir, di saat terburukku. pandanganku mulai memburam, air mata yang terasa panas mengalir di pipiku.

Urei.. ibuku bagaimana? Urei.. Urei.. Urei!! tidak! aku tidak mau menyerah! aku tidak mau pasrah!

Air mata Urei jatuh di pipiku, ia menyebut namaku berkali-kali. Aku bisa mendengarnya.

Jika saja aku punya kesempatan. Aku ingin memulai semuanya dari awal. Meski mungkin akan terasa sulit. Saat aku ingin hidupku berarti bagi orang lain, Urei menunjukkannya lewat air matanya. Jika aku berakhir begini, ibuku juga pasti akan sangat terpukul. Ayahku.. akan sangat kecewa. Ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri.

"U, Urei" aku berusaha bicara.. Urei terkejut dan meraih tanganku.

"Sudah jangan banyak bicara, jikalau nanti malah hal buruk yang akan terjadi padamu aku tidak mau dengar apapun!"

Aku menggeleng, bukan itu. aku ingin dia mendengarkan harapanku.. harapan terbesar dalam hidupku.

"Aku ingin", Tidak! rasa sakit itu seakan-akan menyayat tenggorokanku, "Normal!!"

"A, apa?" Urei tidak mendengarnya ..

"Mal, normal.." Ayolah! jika saja ini kata terakhirku. setidaknya bukan sebuah kutukan yang aku ucapkan!

Air mataku deras mengalir, aku frustasi. Sekuat tenaga aku ingin mengucapkannya, tapi rasa sakit yang membelenggu tenggorokanku seakan makin kuat juga untuk menahannya. Urei masih terus mencoba memahami apa yang ingin aku katakan, bibirku berucap.. tapi tidak satupun kata yang terlontar dari sana.

Tuhan.. aku mohon.

Aku hanya ingin menjadi gadis biasa.

Aku menyerah untuk berusaha bicara, aku melepaskan cekikan di leherku sendiri. menutup wajahku dari pandangan Urei yang panik, aku menangis sekuat yang aku bisa. melepaskan semuanya. .

"Aku ingin normal, Urei" tangisku terus meraung. Urei memelukku.

Tanpa sadar harapan terakhirku terucap juga. lalu tiba-tiba rasa sakit itu berkumpul di satu titik di tenggorokanku dan bergerak naik seakan ingin keluar, aku memuntahkannya. Sebuah lonceng keluar dari mulutku, terjatuh dan berbunyi gemerincing rendah saat menghantam permukaan beton di sisiku.

Lonceng itu terbuat dari kaca, transparan dan memantulkan cahaya matahari senja sore ini. begitu indah.. rasa sakit itu hilang bersamaan saat lonceng kaca itu keluar dari tenggorokanku.

Apakah itu bentuk kemampuanku?

Tanganku sudah hampir meraihnya, namun gagal karena Urei sudah lebih dulu menghancurkannya dengan tongkat besinya.

"Kau tidak butuh itu Kotoha!" bentaknya lalu kembali memelukku dengan erat.

***

Semua siswa dan siswi sudah sadar kembali, mereka terbangun dengan wajah bingung. beberapa dari mereka panik setelah mengingat apa yang terjadi.

Yuki, Saeki, Nana dan Miyoko sudah di bawa ke rumah sakit. Yuki mengalami patah tulang kaki, Nana dan Miyoko kehabisan energi dan tertidur lelap, khusus Miyoko wajahnya lebam dan membengkak.

Saeki.. trauma. dia terus terdiam dan tak ingin bicara.

Aku dan Urei diantarkan pulang oleh Matsunaga-sensei sebelum para siswa bangun dari tidur mereka. Ia sangat kecewa padaku, tapi.. dia juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkanku. Perundungan yang selama ini aku alami, hal-hal buruk yang selama ini aku terima, setiap orang juga pasti akan muak menghadapinya.

Tiga hari kemudian, Ibuku membawaku pindah dari rumah kami yang nyaman menuju sebuah desa pinggir pantai di Yoshioka. Ibuku ingin aku hidup di tempat yang baru, suasana baru, orang-orang baru. Ibuku ingin.. kami memulai hidup baru, dari awal lagi.

Di tempat yang tidak aku kenal, dan tidak mengenalku.. aku merasa nyaman. aku sudah bisa bicara sekarang, suaraku sudah tidak terdengar aneh, dan sudah tidak membawa petaka lagi.

Kemampuanku sudah hilang.

Jangan tanya soal Urei. Ibuku dan aku pindah diam-diam kesini, tanpa memberitahu apapun pada keluarga Urei, maupun guru-guru di sekolah. nomor ponsel ibuku langsung ia ganti sesampainya disini, kami seakan-akan sedang dalam pelarian. Kami seakan-akan melenyapkan diri dari semua yang mengenal kami.

Aku berhenti sekolah, dan mencoba fokus untuk membuat buku cerita bergambar untuk anak-anak. Ibuku bekerja di dinas pariwisata setempat. Ia pandai dalam design, mungkin itu sebabnya bakatku tidak jauh dari hal itu.

Kami berhasil melewati semuanya.. adaptasi dengan para tetangga di lingkungan kami, pada pekerjaan kami masing-masing, pada makanan-makanan disini, dan pada suasana tempat ini. hidup kami jauh lebih baik.

Aku kira begitu. Hingga akhirnya aku menyadari..

Aku merindukan Urei, ya! setiap waktu. aku kadang bertanya pada diri sendiri, apa yang sedang ia lakukan? apakah ia dapatkan teman baru? apakah kakinya sudah sepenuhnya pulih? apakah dia sekarang sudah punya kekasih? pertanyaan terakhir membuatku berhenti melamun.

Aku harus berjalan maju..

***

2 Tahun kemudian.

Aku sudah mencetak 5 buku cerita dari sebuah penerbit major. Pencapaianku tidak begitu banyak. Tapi yang bisa aku banggakan sekarang. Aku sudah baik-baik saja dan ku pastikan aku sudah berbaikan dengan masalalu.

Urei ..

Mungkin saja dia telah lupa, apalagi kami tiba-tiba menghilang. Mungkin saja dia jadi benci padaku, karena aku melanggar janjiku padanya dan pada ibunya.

Sambil terus memikirkan Urei, aku berjalan menunduk menendangi setiap batu kerikil yang aku temui.

Pantai adalah tempat terbaik bagiku melepas lelah, merasakan butiran-butiran kasar pasir ditelapak kakiku, mendengarkan gemericik pasir yang dibuai riak ombak laut, merasakan hembusan angin yang memainkan rambut panjangku.

Aku tidak sadar bersenandung, lalu tiba-tiba ada kakiku terasa kaku, jantungku berdegup saat suara seseorang mengikuti alunan lagu yang aku senandungkan. Suara itu begitu familiar, begitu mengusik relung hatiku.

Aku menoleh perlahan, menduga-duga bahwa harapan ku adalah kenyataan. Dan dia tidak jauh dariku, menatapku sambil tersenyum manis.

Ureiku. Ia melangkah semakin mendekat, "Butuh waktu lama bagiku mencarimu."

Aku tidak bisa berkata apa-apa.. air mataku yang hangat mengalir begitu saja.

"Kau janji untuk tetap bersamaku. Karena itu aku datang untuk menagihnya." Tangan Urei meraih pipiku, mengusap air mataku dengan ibu jarinya, "dan Kotoha, aku tidak menerima sebuah penolakan." Ia mendekapku begitu erat.

Rasa rindu yang begitu berat yang selama ini dia dan aku rasakan melebur menjadi satu. Menguap bersama deburan ombak dan angin.

Kami tak perlu saling memberitahu, perasaan kami satu sama lain sudah tersampaikan.

***

Urei memberitahuku, Saeki dan dia kini berteman. Mereka sangat menyesal dengan apa yang mereka lakukan.

Suatu hari nanti Urei dengan sangat senang hati mau mengantarku untuk bertemu dengan mereka.

Mungkin akan sangat sulit, saling bicara. Bahkan bertemu.. Tapi aku yakin, aku sudah memaafkan mereka. Dan aku ingin meminta maaf pada mereka.

Aku harap tidak ada lagi 'Kotoha' yang lain yang tertindas di dunia ini.

***