Chereads / SILENT (Diam) / Chapter 9 - Devil

Chapter 9 - Devil

Aki-sensei sudah tidak mengajar di sekolah ini lagi. Dia kembali ke kampung halamannya di Izumo. tentang masalah kemarin-kemarin, seperti yang aku katakan. semua sudah melupakannya. kecuali Urei. dia tetap diam, enggan untuk bicara padaku, dia masih marah soal itu. entah karena dia memang tidak terkena imbas kemampuanku.

Ataukah kemampuan ku tidak berpengaruh padanya?!

Karena kelasku tidak memiliki guru wali kelas alias guru homeroom, akhirnya kepala sekolah memutuskan Matsunaga-sensei si guru pemarah itu menjadi guru homeroom kami. aku tidak setuju sebenarnya, tapi kami bisa apa?

Matsunaga-sensei sudah selesai dengan kelasnya, dia juga murid yang lain sibuk membereskan buku catatan. bel istirahat berbunyi dan seperti biasa aku akan makan di atap. Tak perduli meski sekarang akan makan sendirian, memang sudah biasanya begitu kan? tapi, tanpa di duga Urei meraih tanganku seraya bangkit dari duduknya. Meraih dompetnya di dalam tas tanpa melepaskan genggaman tangan kirinya pada tangan kananku.

"Ayo!" katanya seraya menarikku. aku hanya menurut, mengikutinya ke kantin. tapi, tidak seperti biasanya dia ikut membawaku berdesak-desakan mengantri roti yakisoba favoritnya. Sejujurnya, aku sangat tidak nyaman dengan hal ini lagi pula sebenarnya, seberapa enak sih roti itu?!

Saat di atap dia sibuk mengunyah makannya, dan aku.. dengan segala kecanggungan yang ada mencoba menikmati makan siangku. Dia sesekali menoleh tapi tak kunjung bicara.

'Oh! ayolah!'

"Aku minta maaf," akhirnya aku yang mendahului, aku menyerah dengan situasi ini. Aku tahu, dia sebenarnya menunggu kata maaf ku dan penjelasan tentang Skandalku dengan Aki-sensei. Meski ini masih jadi pertanyaan, kenapa hanya dia saja yang masih mengingat kejadian itu sedangkan yang lain tidak?

"Jadi? Apakah guru mesum itu melakukan hal yang tidak-tidak padamu?!" dia terlihat kesal Sekarang.

"Tidak, itu terjadi begitu saja dan.." tunggu! aku barusan bicara? suara mengerikan ku juga tidak terdengar mengerikan sekarang. Apakah aku sudah normal?!

"Lalu? kenapa bibir si brengsek itu bisa mendarat mulus di keningmu?" masih dengan segala kekesalannya.

Ukh! meski Urei yang bicara, aku tidak bisa menerima kalau Aki-sensei disebut brengsek.

"Maaf.. aku kesal jadi tidak bisa menjaga kata-kata ku," dia menyadari kesalahannya tanpa aku tegur.

"Tidak apa-apa," suara menakutkan ku kembali. aku langsung terdiam. Urei menyadarinya dan tampak tak nyaman.

Kami melanjutkan menyantap makanan kami hingga habis tanpa berinteraksi lagi. Aku sedang membereskan kotak bekalku saat dia sibuk merogoh sebotol teh hijau dingin dari kantong plastik yang dibawanya. lalu menyerahkannya padaku. "Kau tidak bawa minum ya?" dia terlihat cuek, tapi sebenarnya dia mengamati segalanya dengan detail, kurasa dia akan hebat jika menjadi seorang fotografer.

Aku menerima teh hijau botol itu dari tangannya, mengangguk lalu tersenyum. "Terimakasih,"

kurasa, hanya pada Urei aku berani bicara. sedikit demi sedikit, meski hanya sebuah kata-kata yang tidak memiliki arti.

***

Aku tidak ingin kembali ke kelas. perasaanku tidak enak dan benar saja, bangku kami berdua sudah penuh dengan tumpukan sampah. Beberapa bekas susu kemasan, kulit pisang dan bungkus makanan lain.

Aku sudah menebak ini kelakuan siapa ini. kulihat dengan tajam sosok Saeki yang menyeringai serta kawan-kawan yang lainnya tampak tertawa geli. Urei meraih tanganku dan menarikku keluar kelas. Dia memintaku untuk tunggu diluar, dari ambang pintu aku melihatnya membersihkan kotoran-kotoran itu sendirian. Saeki tampak mendekat padanya dan membisikan sesuatu. Aku tidak tahu apa yang ia katakan tapi Urei tampak terdiam, lalu menoleh ke arah Saeki dengan tatapan tajam.

Tidak lagi! jangan lagi!

Target Saeki bukan aku, melainkan orang-orang disekeliling ku. seharusnya aku tahu, aku tidak boleh berteman dengan siapapun. Tidak! seharusnya aku melakukan sesuatu pada iblis wanita itu!

Aku mendekat dengan cepat menuju Saeki, Urei menyadarinya dan dengan sigap meraihku. Dia menggeleng dan menarikku untuk duduk. Wajahnya tampak sangat tidak tenang. Aku tidak suka itu!

Sepanjang pelajaran sampai bel pulang berbunyi Urei tampak murung. Dia memang sesekali tertawa dan tersenyum, tapi aku tidak sebodoh itu sampai tidak menyadari semua itu palsu.

Dia berjalan disisi kananku, wajahnya tidak seceria biasanya. apakah karena hal yang dilakukan Saeki tadi? aku memang sudah terbiasa dengan segala kejahilan yang kelewatan dari Saeki. Tapi mungkin bagi Urei hal ini baru pertama kali ia rasakan.

Jika ini berlanjut dan makin parah aku tidak akan diam saja.

"Ada apa?" aku bertanya padanya dengan penuh perhatian, aku tidak ingin melewatkan sedikitpun tanda-tanda kebohongan dari nya. Jika aku melihatnya aku akan menanyakan hal rinci yang mungkin saja memaksanya bicara dengan jujur.

"Tidak ada apa-apa, Kotoha," dia tersenyum. pintar sekali dia menutupinya.

"Apa yang Saeki katakan?" oke, pertanyaanku ini pasti dijawab dengan benar, semua karena kemampuanku tentu saja.

"Dia hanya bilang, 'rasakan'," tunggu! dia bersikap biasa saja. Apakah artinya kemampuanku tidak mempengaruhinya? dan juga dia berbohong. Saeki pasti mengatakan kalimat yang panjang. Aku tidak melihat dengan jelas gerakan bibirnya tapi aku yakin itu bukan hanya satu kata. "Sungguh," Urei menyadari rasa ketidakpercayaan ku.

Aku menghela nafas kemudian mengangguk. baiklah aku menyerah..

Tapi jika sesuatu yang buruk terjadi pada Saeki, seperti yang Saeki lakukan pada Aki-sensei. Aku benar-benar tidak lagi bisa memaafkannya.

***

Esoknya, loker Urei penuh dengan sampah. Dia hanya menghela nafas kasar. Lalu membersihkannya, siangnya dia terus menerima sindiran pedas oleh Saeki dan kawanannya, belum cukup dengan hal itu sorenya saat tugas piket semua yang seharusnya piket hari itu pulang dengan terburu-buru meninggalkan Urei sendirian. melihat hal itu aku membantunya, dia masih bisa tertawa dengan ceria "Aku lebih suka piket hanya berdua denganmu ketimbang dengan mereka semua," katanya sambil sibuk mengangkat kursi-kursi ke atas meja.

Kejahilan demi kejahilan Urei terima. Aku semakin geram tapi Urei selalu menahan ku untuk menegur Saeki sebisa yang dia lakukan.

"Jujur saja Urei-kun!! apa yang iblis itu katakan padamu?!" aku berteriak padanya, kami saat ini sedang ada di atap. Beberapa siswa yang juga berada disana menoleh pada kami. Mereka berbisik sebentar lalu kembali dengan kesibukan mereka.

"Aku kan sudah bilang dia hanya bilang 'rasakan'," dia mengelus pelan punggung tanganku berfikir dengan begitu aku bisa tenang.

"Bohong!" aku tahu dia berbohong, dan yang terpenting adalah aku tahu sekarang bahwa Urei kebal dengan kemampuan yang aku miliki. hanya dia saja.

"Tenanglah.. mereka semua melihat kita," dia menoleh kesana-sini

"Jika terjadi hal yang lebih buruk lagi padamu, aku bahkan tidak bisa memaafkan diriku sendiri Urei-kun,"

Jika saeki hanya menjadikan aku bahan bullynya aku tidak perduli, tapi dia sudah kelewat batas. Dia sudah mulai mengusik orang-orang di sekitarku yang tidak bersalah apapun padanya.

Pelajaran ketiga terlewatkan begitu saja, aku hanya sibuk mencatat tanpa memahami sedikitpun materi yang diajarkan. amarah masih menguasaiku. Aku melihat Saeki keluar ruang kelas yang aku pastikan dia akan ke toilet, diam-diam aku mengikutinya. Sebisa mungkin Urei tidak menyadariku.

Letak toilet tidak jauh dari kelasku, hanya berselang 3 ruang kelas. Aku sudah berada di depan washtafel dengan kaca besar di dindingnya menghadap ke arah bilik-bilik toilet dengan pintunya yang berwarna pink pastel. dari bilik ke 3 Saeki keluar dan terkejut melihatku sudah menunggunya.

Seringainya menyapa, senyum jahat yang paling tidak aku sukai. Karena setelah senyum itu pasti ada kalimat menyakitkan yang keluar dari bibir merah mudanya. "Kau ingin protes karena aku menyerang pacar tampanmu itu?" katanya dengan nada meledek

Aku masih diam

"Karena dia ada disekeliling mu," Saeki mendekat , telunjuknya menekan bagian atas dadaku. Kukunya yang panjang terasa seakan akan menembus kulit dan tulang rusukku. "Aku tidak suka kau memilki seorang pun teman," dia menggeleng.

Kenapa? aku bahkan tidak pernah berbuat salah padanya.

"Apakah sekarang kau membenciku?" seringai jahatnya terlihat lagi.

"Tidak"

"Kau bisa bicara juga, ku kira kau bisu. kenapa kau tidak benci padaku yang sudah bersusah payah menghancurkan hari-hari mu disekolah? kenapa?" kemudian Saeki tertawa, kilatan dimatanya menyiratkan rasa sepi yang dingin dan mendalam. tawa itu terdengar menyedihkan "Aku telah memilihmu, untuk menjadi kebalikan dariku. Semakin kau terluka maka aku akan semakin bahagia. kau dengar itu," kalimat terakhir itu.. seakan bukan dia yang bicara. iblis..

Aku yakin dia iblis. Saeki itulah iblisnya. iblis yang ia ciptakan sendiri untuk melarikan diri dari kenyataan tentang hidupnya.

Saeki adalah anak yang beruntung seharusnya. keluarganya kaya, ayahnya anggota parlemen kota. Tapi.. semua itu bukanlah bagian hidupnya.

Aki-sensei pernah menceritakannya padaku. bahwa ibunya menjadi tahanan rumah, karena penggunaan obat tidur yang berlebihan tanpa pengawasan psikiater. Rumah besar itu hanya sebuah bungkus indah yang berkilauan demi menutupi kebusukan yang terjadi di dalamnya. Apapun masalah yang dihadapi Saeki pasti itu sangatlah menyiksanya.

"Saeki tidak memiliki hati yang luas seperti mu" Aki-sensei pernah bilang begitu. Itu sebabnya ia akan mencari tempat untuknya bersenang-senang, dan menyakiti orang lain adalah caranya.

Ia menciptakan iblis dalam hatinya, untuk menjadi teman, untuk tetap membawanya pada kewarasan. Terlalu lama tak ada yang menyadarkannya, tak ada yang menegurnya, hingga Saeki menjadi iblis itu sendiri.

***