Chereads / SILENT (Diam) / Chapter 11 - Reason

Chapter 11 - Reason

Setelah menunggu lebih dari dua jam, akhirnya Urei sadarkan diri. suara erangan pelan yang ia buat membuat kami terlonjak dan segera menghampirinya. Perlahan matanya terbuka.

"Syukurlah, Urei!" ibu Urei kembali menangis, memeluk suaminya yang juga terus mengucap syukur.

Aku masih menjaga jarak, berada di belakang orangtua Urei. Ia masih sangat lemah untuk menjawab semua pertanyaan ibunya, lalu sang ayah menoleh padaku dan menepuk pundak istrinya. "Papa dan mama akan mengurus administrasi dulu, jadi kami tinggalkan kalian berdua ya", mereka berlalu dan menutup pintu dengan pelan. meninggalkan kekakuan diantara aku dan Urei.

Tiba-tiba Urei tertawa, mengaggetkanku "Bodoh sekali ya, bagaimana mungkin aku bisa terjun bebas dari lantai 3 tapi tidak mati?"

Kata-katanya.. walau itu hanya untuk bercanda tapi, begitu menyakitkan di hatiku. Aku yang sedari tadi terus berdoa agar ia selamat, merasa begitu bodoh. Air mataku menetes begitu saja.

"Bodoh memang!" aku bicara pada diriku sendiri. rasa lega yang aku rasakan tadi, menguap dengan sempurna. Berganti dengan kesedihan yang tidak bisa aku ungkapkan.

"Jangan menangis Kotoha, aku kan tidak apa-apa" suaranya begitu lembut, seakan meresap ke dalam hatiku. Tangannya mengelus pelan kepalaku. Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan padanya, tapi aku tidak ingin merusak moment ini.

Di balik balutan perban di kepalanya, rambut hitamnya di potong asal agar lukanya bisa di jahit. Terlihat lebih pendek dan tidak sama panjang. aku menatap lekat kakinya yang di gips, lamunanku buyar saat tangan Urei meraih tangan kananku. "Kakiku bisa sembuh, tenang saja", seakan mengerti apa yang sedang aku fikirkan.

"Hei, Kotoha. Bolehkah aku meminta sesuatu?" genggaman tangannya lebih erat dari sebelumnya, "Aku ingin mendengarmu bernyanyi. sekaliiii saja. ya? ya?" wajah manjanya begitu manis, beberapa kasa yang menutup luka di wajahnya tidak sedikitpun mengurangi pesonanya bagiku.

"Suaraku sangat tidak enak di dengar", bukankah aku sudah bilang, suaraku itu jika kau mendengarnya akan terdengar seperti tiga orang bicara bersamaan. Tapi anehnya saat bicara dengan Urei seperti ini aku bisa mendengar suaraku yang normal. Berada dekat dengannya saja seperti sebuah sihir penyembuh bagiku.

"Suaramu merdu, itulah kenapa aku suka saat kau bicara denganku dan aku tidak suka saat kau memutuskan untuk bicara dengan orang lain."

Dari matanya aku sudah tahu Urei sangat mengantuk, aku memberanikan diri bernyanyi untuknya. Tidak banyak lagu yang aku tahu, jadi aku hanya bisa bersenandung sebisaku untuk membuatnya tertidur. Hanya sepuluh menit aku bersenandung, Urei sudah terlelap. Tangannya masih menggenggam tanganku, terasa begitu hangat dan erat. seakan jika aku mencoba melepaskannya dia akan bangun.

Aku melihat jam tangan yang melingkar di tangan kiriku, sudah pukul 6 sore. sudah seharusnya aku pulang. Dengan sangat hati-hati aku melepaskan genggaman Urei. memastikan lagi bahwa dia masih tidur, mengusap bagian kepalanya yang tidak di perban lalu pergi.

Tepat di depan pintu ruangan, ibu Urei sudah menungguku. "Apakah Urei tidur?" aku mengangguk.

"Kotohacchan" suara ibu Urei terdengar serius. aku menatapnya sebagai bentuk perhatian penuh "Kau ingin tahu itu obat apa kan?" aku begitu terkejut dengan intuisinya, dia seakan bisa membaca pikiranku.

Aku mengangguk. Benar, aku sangat ingin tahu. botol kaca yang Saeki temukan di tas Urei itu obat apa? dan kenapa Urei memilikinya?

"Itu obat penenang", Ia bicara tanpa melihatku. Jantungku berdegup kencang. Kenapa Urei harus meminum obat penenang? apakah karena perundungan yang ia terima akhir-akhir ini?!

"Setiap malam dia sangat gelisah, bahkan Urei pernah tidak tidur selama 2 hari. kami membawanya ke psikolog untuk konsultasi, lalu solusi yang kami terima adalah obat penenang"

Apa yang sebenarnya terjadi padanya?!

"Sejujurnya aku tidak ingin mendahului Urei untuk bicarakan ini padamu. Tapi aku sangat mencemaskannya, ini kali kedua dia pergi ke psikolog dan aku tidak mau ada yang ketiga kalinya" wajah ibu Urei begitu sedih, apa yang bisa aku perbuat? Sedangkan jika benar alasannya karena perundungan itu, maka sama saja akulah penyebabnya!

"Aku tidak bisa meminta banyak padamu. aku hanya berharap kau bisa berada disisi nya, selalu di sisinya."

Tidak.. akulah penyebabnya! bagaimana mungkin aku pantas berada disisinya?!

Pikiranku berkecamuk, lalu tiba-tiba ibuku datang dengan wajah panik. Ibuku memeluk ibu Urei, mereka saling bicara dan pada akhirnya aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Aku memang sudah mengirim pesan pada ibuku tentang hal ini. Itulah sebabnya ia datang dengan panik.

Esoknya aku membolos. tidak pergi ke sekolah tanpa alasan apapun, dan tanpa mengabari Matsunaga-sensei. ibuku mengerti dan tidak mencegahku untuk mengunjungi Urei di rumah sakit dan menemaninya ketimbang pergi ke sekolah. Aku datang pukul 8 pagi, mungkin terlalu pagi untuk menjenguk. jujur saja aku tidak lagi sabar, bahkan untuk menunggu sedikit lebih siang.

Urei sedang melahap sarapannya saat aku datang, baru separuh memang. Dengan tekun ibunya menyuapi anak tunggalnya itu. Wajah Urei sumringah ketika sadar aku sudah ada di ambang pintu. "Kotohacchan? kau tak pergi ke sekolah?" ibu Urei yang pertama bersuara.

Aku menggeleng, itulah kenapa aku di sini bukan?

Aku mengangkat selembar kertas yang sudah aku tulis di rumah, aku yakin ibu Urei pasti akan bertanya hal ini. "Aku sudah izin. ibu juga memperbolehkannya", begitu isi tulisan itu. ibu Urei mengangguk lalu tersenyum, "Kalau begitu, apakah aku boleh merepotkan mu hari ini?"

aku mengangguk, lalu menuliskan sesuatu agar ibu Urei bisa membacanya. "Tentu saja. Bibi pulang dan istirahat ya, aku yakin sejak kemarin bibi belum tidur" Bibi tersenyum lalu memelukku.

"Alangkah senangnya jika aku memiliki anak perempuan sepertimu", katanya riang. Aku juga.. berharap hal yang sama. Tapi bukan berarti ibuku bukan ibu yang baik.

"Mama, sudah pulang sana!" Urei merengek "Aku ingin Kotoha yang merawatku. Mama jangan sampai kurang istirahat". ibunya mengangguk lalu melambai riang sebelum akhirnya tak lagi terlihat di balik pintu.

"Sini, suapi aku" wajahnya ceria, dan berbinar saat bilang begitu. aku menurut dan duduk disisinya meraih piring serta sendok dan menyuapi bubur gandum menu sarapannya hari ini.

Sesuap, dua suap di makan dengan lahap. wajahnya berseri-seri. Aku juga ikut tersenyum melihatnya ceria. Lalu ekspresinya berubah seketika "Mama sudah menceritakan tentang obat itu?" matanya menatap sendok yang aku pegang. aku mengangguk perlahan dan menyendok suapan terakhir mendekat pada bibirnya. Kami tenggelam dalam diam, makanan yang sedang ia kunyah juga sudah di telan.

"Itu obat penenang" Kataku memecah keheningan "Kenapa kau tidak bicarakan ini padaku?"

"Apa jadinya jika kau tahu hal yang sebenarnya?" wajahnya ragu menatapku.

"Aku sudah berjanji pada ibumu, aku akan terus berada di sisimu" suaraku bergetar, aku tidak percaya bisa mengatakan hal ini padanya. Mata Urei membola, pipinya bersemu merah. tapi segera ia menoleh kearah lain.

"Aku tidak sebaik yang kau pikirkan" dia tak mau melihatku dan apa maksudnya kalimat itu?

"Kenapa?"

"Aku pernah membunuh teman sekelasku" jantungku seakan berhenti. dia sedang bercanda? "Kau tahu aku adalah anak yang bermasalah di sekolahku dulu. Aku suka menjahili teman sekelasku, dan aku melebihi batas kesabarannya. Dia di temukan bunuh diri di kamarnya. Semua karena ulahku." dia menarik nafas dalam-dalam, tangannya gemetar, aku yakin dia sangat merasa bersalah "Semua orang membenciku, Guru-guru bilang itu salahku. Aku tahu! teman-temanku mengutukku. Mereka menyebutku pembunuh" Urei memegang kepalanya dengan erat, seakan sedang bertarung dengan ingatan nya.

Kau tahu, Perundungan bukan hanya menyakiti korbannya. Tapi juga pelakunya. Mereka semua menderita. korbannya merasa sangat tersakiti, dan pelakunnya merasa sangat bersalah.. hanya waktu yang menjadi pembedanya.

"Aku sangat menyesal Kotoha!" sekarang tangannya mencengkram telinganya, hal ini sangat membebaninya "Tapi aku bahkan tidak bisa meminta maaf padanya! orangtuanya bahkan tak mau melihat wajahku!" Urei mulai menangis keras, cengkraman tangannya makin erat. aku memeluknya, menepuk-nepuk pelan punggungnya berharap hal itu bisa menenangkannya.

Urei menceritakan sebuah luka yang dengan sangat rapat ia sembunyikan padaku. Aku akhirnya mengetahui hal-hal yang ia maksud dengan 'mulai membangun kembali'. pelukanku berhasil memenangkan nya, kepalanya masih berada di dadaku, aku mendekapnya dan mengelus pelan kepalanya. Ia kembali menceritakan sisanya padaku.

Urei 1 tahun lebih tua dariku, seharusnya saat ini dia kelas 3. Kejadian itu sangat mempengaruhi emosinya, Urei menjalani rehabilitasi selama 5 bulan, dan mengambil cuti sekolah. orangtuanya memutuskan untuk pindah agar Urei mendapatkan suasana baru dan lepas dari lingkungan lamanya. Saat pindah kemari, Urei berharap menjadi orang yang lebih baik. Berharap bisa membantu orang-orang tidak beruntung seperti teman sekelasnya dulu dan aku.

Tapi, kejadian kemarin-kemarin ternyata membuatnya kembali teringat hal buruk. Ia kembali pada depresinya yang dulu. Dan aku tidak bisa berbuat satu pun hal baik untuk mengurangi keterpurukan.

Setiap malam Urei kesulitan untuk tidur. Betapa nafsu makannya hilang saat kejadian itu teringat di kepalanya. Dia sangat trauma. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana dia begitu cemas dan kalut kemarin-kemarin, sehingga Urei harus meminum obat-obat penenang itu.

"Ini mungkin adalah karma yang harus aku terima" suara Urei menarikku ke alam nyata, dia masih dalam dekapanku. Lalu aku melepaskan pelukanku dan menatapnya.

"Kalau begitu, kau tidak boleh lagi merasa bersalah. kau sudah impas sekarang." Urei mengangguk.

Urei sudah menerima karma buruknya, Lantas bagaimana Saeki?!

***