Chereads / SILENT (Diam) / Chapter 10 - Accident

Chapter 10 - Accident

Kejahilan semakin kelewatan. Urei bahkan sekarang terlihat pendiam sekali. Banyak siswa lain yang tidak mau bicara padanya, lantaran takut menjadi sasaran bully dari Saeki dan kawanannya.

Tidak ada yang mau satu kelompok dengannya saat tugas sekolah berlangsung.

Tidak ada yang membalas sapaannya.

Tidak ada yang mau membantunya saat ia terlihat kesulitan.. aku, seakan melihat diriku sendiri saat itu.

Aku meraih tangannya saat Urei sedang sibuk membereskan buku-buku catatan yang berserakan di lantai. hari ini bagian piket Urei untuk membawa semua buku catatan yang tadi dikumpulkan ke ruang guru. lalu kakinya dengan sengaja disandung oleh Saeki.

Urei menatapku, wajahnya pucat. Dia sedang tidak baik-baik saja? dengan sigap aku membereskan tumpukan buku dan membawa hampir semua ke ruang guru. Urei mengikuti dengan patuh.

"Kenapa tidak melawan?" aku bicara tanpa sedikitpun menoleh padanya.

"Sama halnya denganmu," suaranya pelan, mendengar jawabannya itu aku berbalik dengan spontan.

"Apa maksudnya?!" suaraku kembali terdengar serak, menyadari hal itu aku langsung diam tak melanjutkannya.

"Aku, tidak di perbolehkan melawan," wajahnya sedih "Jika aku mengikuti amarahku, hal yang saat ini susah payah aku bangun akan hancur kembali"

Aku tidak mengerti.

"Sudah, ayo!" Urei mengambil separuh tumpukan buku yang aku bawa dan berjalan mendahuluiku. Jika saja aku gadis normal, jika saja aku tidak harus berurusan dengan Saeki. Masa-masa ini bersama Urei akan menjadi masa paling membahagiakan dalam hidupku.

Aku menyukai Urei. Aku sudah menyadarinya. Wajahnya selalu melekat dalam ruang pandangku. Suaranya selalu bergetar dalam ingatanku. Semua perlakuannya, semua kata-katanya begitu tulus dan membuatku merasa istimewa.

Aku akan mempercayai nya sedikit lagi, tentang apapun itu yang ia jaga dari Saeki dan teman-temannya.

***

Kami kembali dari ruang guru, berbagai candaan ia lontarkan sepanjang jalan. Tawa kami pecah, sesekali kami menutup mulut dengan telapak tangan karena suara kami yang kelewat keras. Tawa itu hanya beberapa detik, hingga akhirnya wajahnya memucat di ambang pintu. Matanya menatap kaget kearah dalam ruang kelas, aku bingung dan mengikuti arah pandangnya.

Saeki dan yang lainnya sedang membongkar isi tas Urei di dekat jendela kelas. Di tangan kanan Saeki ada sebuah botol kaca berisi banyak pil dengan ukuran kecil-kecil. "Wah wah lihat si pemilik sudah datang" Urei masih membeku.

Aku benar-benar ditelan kebingungan. Obat-obatan apa itu? kenapa Urei sangat terkejut dengan hal itu? Kenapa ia membawanya ke sekolah?

"Kau sudah keterlaluan!" suara serak Urei terdengar sangan mengintimidasi "Kembalikan!!" bentaknya.

"Ambil kalau kau berani!" Saeki menantang, matanya penuh kepongahan.

Urei mendekat dengan cepat, mereka saling berebut botol kecil itu. Saeki beberapa kali melempar ke arah Yuki dan begitu juga sebaliknya. Urei tak mau kalah untuk terus mencoba meraih benda miliknya. Pergerakan mereka terbatas, mereka ada tepat disisi jendela, dan itu sangan membuatku tidak nyaman.

"Urei" aku mencoba mengingatkannya, tapi Urei masih terus meraih miliknya, Saeki yang berada sedikit jauh dari jendela melempar ke arah Yuki yang ada tepat disisi jendela, Urei mengejarnya. Botol itu luput dari tangan Yuki, kaki Urei tersandung kaki Yuki yang bergerak tidak stabil. Urei terdorong ke arah jendela ia jatuh.

Aku berlari. sekuat yang aku bisa. berharap masih bisa meraih tangan Urei yang sudah tak terlihat di jendela.

Semua yang melihat hal itu menjerit dengan panik.

Urei jatuh dari lantai 3. Aku melihat tubuhnya menghantam ranting-ranting pohon dibawah sana. suara krasak keras lalu disusul suara tubuhnya menghantam tanah.

Jantungku seakan berhenti berdegup, jeritanku menggaung. Semua tampak panik, aku tidak memperdulikan yang lain terutama bagaimana ekspresi Saeki dan Yuki. Aku berlari keluar menuruni tangga dengan cepat menuju tempat Urei terjatuh.

Di bawah pohon, tubuhnya tertelungkup. Seragamnya sobek sana sini dengan darah segar mengalir dari sana. Kepalanya mengeluarkan darah. Tubuhku seketika lemas. merengkuhnya dan memanggil-manggil namanya.

"Bangun!" aku berharap untuk kali ini kemampuanku berhasil padanya. "Aku bilang bangun!!" tapi berapa kali aku mencoba tetap saja tak bisa.

Guru-guru dan siswa lain datang untuk membantuku membawanya, ambulan sudah berada di depan sekolah. Urei di bawa ke rumah sakit bersamaku. Sepanjang perjalanan, jantungku berdegup kencang, dadaku terasa sesak.

Urei masih bernafas, tapi lukanya berat. Aku mengepalkan tanganku. berulang kali berdoa. doa yang sama.

Urei harus selamat. Urei harus hidup!

***

2 jam aku menunggu di depan ruang ICU, belum ada tanda-tanda dokter akan keluar dari ruangan. Aku duduk dengan tidak tenang, Matsunaga-sensei disisiku penepuk pundakku. aku tahu, dia mendoakan hal yang sama denganku. Selang beberapa menit orang tua Urei datang dengan terburu-buru, ibu Urei memelukku. Tangisnya tak terbendung.

Matsunaga-sensei menjelaskan apa yang terjadi pada ayah Urei. Perlahan ibu Urei bisa menguasai tangisnya, lalu dokter keluar dari ruangan. Seketika kami semua mendekat pada dokter yang masih belum melepas masker bedahnya.

"Bagaimana keadaan Urei?" ayah Urei mendahului.

"Luka-luka di tubuhnya tidak serius. luka di kepalanya juga tidak terlalu parah. Hanya 5 jahitan yang diperlukan untuk menutup lukanya. tapi tulang kaki kanannya patah, butuh 2 bulan untuk nya bisa melepas gips dan beraktifitas dengan normal kembali," Dokter menjelaskan dengan suka rela "Tenang saja, 2 jam lagi dia akan siuman" lalu mengangguk untuk permisi pergi.

Semua merasa lega, ketakutan terburukku tidak terjadi. Urei baik-baik saja, mungkin tidak semuanya..

Ibu Urei kembali merangkulku, "Syukurlah Urei tidak apa-apa ya, Kotoha" ia begitu baik seperti Urei.

Saat ini, tidak sedikitpun ia menyalahkanku. bagaimana jadinya jika ia tahu bahwa anaknya menjadi korban perundungan karena aku?!

Ibu Urei tidak pernah memandang rendah padaku, dia tetap menyambutku saat aku mengunjungi Urei untuk sekedar mengerjakan tugas, mengajakku mengobrol meski ia harus menungguku selesai menulis untuk menjawabnya. Tak pernah sedikitpun ia singgung keadaanku yang tidak lazim ini. Ayahnya juga adalah orang yang ramah meski sedikit pendiam.

"Karena kau teman Urei, aku bersyukur" itu adalah ucapan ibu Urei yang paling membuatku terus berpikir hingga saat ini. Sebagai pemuda manis yang baik hati Urei pasti punya banyak teman dan populer di kalangan gadis-gadis sebayanya. Tapi, tidak satupun foto yang aku temukan tentang sekolah lamanya di ponsel Urei, bahkan hanya sekedar alamat email teman-teman terdahulunya pun tak ada.

Ini aneh!

Urei sudah dipindahkan ke kamar rawat. Waktu sudah berjalan 2 jam tapi Urei belum juga sadar. Matsunaga-sensei pamit untuk kembali ke sekolah, saat aku akan ikut dengannya ia mencegahku "Kau adalah teman dekatnya. Kau harus ada disisinya saat ia bangun, Kotoha" baru kali ini, Matsunaga-sensei terdengar tulus.

Aku mengangguk dan melambai pada guru yang biasanya pemarah itu. Terbersit dalam pikiranku tentang Saeki dan Yuki. Hukuman apa yang harus mereka terima?

***