Sudah lebih dari 7 hari ini Urei belajar di rumahku setiap pulang sekolah, nilainya mulai membaik sedikit demi sedikit. Setiap hari kami sengaja menunggu hingga pukul 6 untuk memulai belajar bersama, menunggu ibuku pulang bekerja. Itu jelas karena aku tidak bisa mengajari Urei tanpa bicara bukan?
Sebelum jam 6 sore, aku dan Urei menghabiskan waktu dengan berbagai macam hal, kadang menonton film horor koleksiku, membuat kue jahe untuk cemilan atau omurice untuk makan malam kami nanti. Dan hari ini aku sengaja berjalan-jalan sepulang sekolah bersamanya untuk mencari kudapan 'aneh'. Iya, aneh.. Karena katanya jika hanya makanan manis yang biasa aku buat sudah terlalu familiar untuknya.
Kami menyusuri area pertokoan di Ikebukuro. oke ini agak terlalu jauh dari rumahku, ini semua karena Urei yang terlalu bersemangat. "Ini seperti kencan", katanya girang. aku bisa menebak dia belum pernah sekalipun pacaran, walau begitu aku akui dia pandai dalam memperlakukan gadis-gadis. "Kau mau beli apa?", dia bertanya dengan riang, posisi kami sejajar tapi dia selalu menempatkan aku disisi kiri, tujuannya tentu saja agar aku tetap aman dan berada dalam jangkauannya. Benarkan? dia pandai memperlakukan dengan baik teman perempuannya.
Kami berhenti di sebuah stand takoyaki, Urei ingin membelinya untuk ibuku. Lalu tiba-tiba suara bariton yang tidak asing menyapaku. "Oto?" Aki-sensei dengan pakaian kasualnya menyapaku heran. Mungkin baginya orang sepertiku tidak mungkin pergi berjalan-jalan di tempat ramai. Baginya orang sepertiku hanya akan mengurung diri di rumah. Ya, sebenarnya iya. Kalau saja aku tidak kenal Urei.
"Sedang apa kau disini?", dia bertanya masih dengan wajah heran. Tangan kanannya menenteng sebuah paper bag, dia hanya memakai kaos hitam dengan celana jeans berwarna gelap. penampilannya benar-benar bertolak belakang saat di sekolah. Aku seakan melihat orang yang berbeda. "Oto?" suaranya kembali membuatku fokus dengan pertanyaannya.
Aku menunjuk Urei, yang sejak tadi mengobrol dengan si pemilik stand. Suara ributnya yang entah kenapa tidak sedikitpun disadari oleh Aki-sensei bahkan bisa aku dengar. Aki-sensei menoleh kearah Urei yang sama tidak sadarnya dengan kehadiran Aki-sensei. "Satou" merasa namanya disebut barulah ia menyadari hal sekitar selain tema obrolannya.
"Eh? senseii. sedang apa disini?" suara riangnya menyapa Aki-sensei yang tampak masih bingung dengan situasi kami berdua.
"Aku membeli camilan, merasa bosan di apartemenku jadi sekalian cari udara segar" jawabnya, sesekali ia melirik padaku yang masih setia dengan senyum basa basi "Kalian?"
"Aku belajar bersama seminggu ini di rumah Kotoha, ibunya yang mengajariku. Sensei tahukan nilai matematikaku benar-benar buruk, karena ibu Kotoha baru akan pulang pukul 6 lebih jadi kami memilih jalan-jalan keluar rumah untuk mengisi waktu"
"Oh begitu, kalau begitu hati-hati saat pulang nanti ya" katanya ramah, menepuk pundakku dengan pelan sebelum akhirnya ia pamit untuk pergi.
Aku tidak menyangka sama sekali setelah pertemuan ini, masalah besar akan menghampiri kami selangkah demi selangkah.
***
Hari ini Saeki dan kawanannya sudah kembali masuk sekolah. Aku sudah menyiapkan diri, hati dan mental, takut-takut dia akan membalas hukuman yang ia terima kepadaku dengan cara paling licik yang ia tahu. Karena.. sejak kemarin, aku memiliki firasat yang tidak enak.
Langkahku pelan memasuki gerbang sekolah, lebih tepat disebut tidak semangat. Lalu tiba-tiba suara Urei menyapaku "Kotohaaaa" dia melambai dengan ceria kearahku.
Ah!.. terimakasih, semangatku telah kembali.
Dia sudah ada disisiku, dan terus berceloteh riang tentang hari minggunya yang menyenangkan. Lebih banyak menceritakan anime baru yang ia rekomendasi padaku. Sebenarnya aku tidak tertarik dengan anime atau manga, tapi jika ceritanya bagus aku tidak keberatan menontonnya.
Kami sudah memasuki pintu utama dan menuju loker kami masing-masing, mengganti sepatu dan berjalan bersama menenuju kelas kami. Saeki sedang berdiri di dekat jendela depan lorong kelas 2A, kelas kami. Pandangannya sunyi menatap keluar jendela, pemandangan lapangan sepak bola dari lantai 4 tidak mungkin menarik bagi Saeki si gadis glamor yang suka berlebihan. Kecuali ada siswa dari klub sepak bola yang sedang ia incar, tapi lapangan saat itu kosong.
Tak lama kemudian dia menyadari kehadiran kami, matanya langsung memancarkan kebencian padaku yang tidak pernah aku mengerti apa penyebabnya. dia berdecak lalu masuk ke dalam kelas. Urei mendorong pelan punggungku, menyadarkanku dari lamunan yang hanya hitungan detik itu, otakku sedang merekam, bagaimana kesepiannya mata Saeki saat menatap kosong lapangan sepak bola.
Aku sempat bersimpati.
Jam pelajaran terus bergulir, tidak ada kejahilan dari Saeki dan kawan-kawannya sampai detik ini. Hanya mungkin beberapa sindiran-sindiran pedas terdengar di telingaku yang sudah cukup kebal akan semua itu.
Jam istirahat akhirnya tiba, seperti biasa Urei dan aku akan makan diatap gedung. Tapi, dari ambang pintu Aki-sensei memanggiku. Aku mengangguk, ia mengerti. Ku raih kertas dan menulis sesuatu untuk Urei baca "Kau pergilah duluan ya, aku akan menyusul setelah bicara dengan Aki-sensei"
"Oke kalau begitu, jangan lama yaa" dia berlalu
Aku keluar kelas dan melihat Aki-sensei masih menunggu disisi pintu. Dia menoleh padaku dan tersenyum "Maaf mengganggu waktumu Oto, tapi bisa kita bicara di ruang konseling?" aku mengangguk meski tidak tahu apa yang ingin ia bicarakan. seakan mengerti apa yang menjadi pertanyaanku, dia melanjutkan "Ini tentang rencana karirmu, kau belum mengisi formulir nya kan?"
Ah benar, rencana karir! aku lupa.
Aku terus mengikuti langkahnya, pandanganku tertuju pada kaki Aki-sensei yang panjang. langkahnya lebar, aku hanya bisa menerka-nerka apakah klub yang ia geluti saat sekolah dulu, berapa ukuran sepatunya dan lain hal. Lalu tiba-tiba ia berhenti dan dengan sukses wajahku membentur punggung lebarnya. Dia seketika berbalik dan meminta maaf, karena tingginya yang jauh berbeda dengan ku dia sedikit membungkuk untuk bisa melihat wajahku.
Aku hanya memegangi hidungku sambil terus mengangguk untuk ganti kata maaf padanya. Hanya karena langkah kaki aku melamun dan memikirkan yang tidak penting!
Setelah beberapa kali aku terus menghindar dan mengibas-kibaskan tangan tanda bahwa aku tidak apa-apa, akhirnya ia menyerah dan menghela nafas. "Kalau begitu ayo" Aki-sensei membuka pintu ruang konseling dan mempersilahkan aku masuk lebih dulu, ruangan itu cukup luas dengan rak buku di sisi-sisi ruangannya, di bawah jendela ada sebuah lemari pendek yang pintunya terbuat dari kaca, banyak map yang tersusun disana. Di dekatnya ada kursi dengan meja yang tersusun banyak kertas di atasnya, di depannya sebuah kursi yang di letakkan berhadapan dengan meja yang aku yakin, aku harus duduk disana.
Aku masih berdiri, Aki-sensei sudah mendahului duduk. "Duduklah Oto" katanya sembari meraih ballpoint dan beberapa lembar kertas. Ia tahu betul tanya jawab ini akan sangat merepotkan tanpa adanya kertas yang bisa ku tulis. Guru yang pengertian.
Ia langsung memulai bertanya tentang kuliah atau bekerja setelah sekolah, jujur saja aku ingin melanjutkan pendidikanku hingga perguruan tinggi, tapi kondisiku dan keuangan ibuku tidak akan memungkinkan untuk itu. Karenanya aku menulis 'bekerja' sebagai jawaban. Ia tampak menulisnya di kertas formulir yang tidak aku isi kemarin-kemarin. Aki-sensei melanjutkan kali ini tentang jenis pekerjaan yang akan aku ambil. Aaaarg! aku tidak tahu. aku bahkan tidak tahu apa keahlianku selain menggambar.
Untuk pertanyaan itu, aku hanya diam. Aki-sensei menyadarinya, semua kegundahanku tentang masa depan. Apa yang bisa orang sepertiku raih untuk masa depan?
"Oto, apakah ada sesuatu yang bisa aku lakukan?" suaranya begitu lembut.
Aku menulis di kertas dan menggeser kehadapannya "Tentang apa?"
"Tentang kau, apakah kau dan Satou berpacaran?" aku terkejut, pertanyaan ini sangat jauh dari pembahasan yang seharusnya kan? aku menggelengkan kepala.
"Selama ini kau selalu terlihat murung, syukurlah setelah Satou datang kau jadi ceria. kau banyak tersenyum dan tertawa" ia tersenyum
"Terimakasih" untuk kali ini aku beranikan diri bersuara dihadapannya, dia sangat menghawatirkan aku. begitu memperhatikan aku. Setidaknya aku ingin berterimakasih secara langsung dari bibirku.
Aki-sensei terdiam, ia terkejut mendengarku bicara. mungkin juga ia terkejut karena suara ku begitu mengerikan di telinganya. Beberapa detik ia terdiam lalu tangannya meraih tanganku, aku benar-benar terkejut sampai tidak bisa memikirkan apapun bahkan untuk menarik tanganku darinya. Tangan hangat nya terus menggenggam kedua tanganku. Ia belum bicara apapun tapi jantungku sudah berdegup kencang.
Meja diantara kami seukuran dengan meja untuk belajar dikelas, jadi jarak kami tidak terlalu jauh saat ini. dia menunduk sembari terus menggenggam kedua tanganku, dan aku sibuk dengan jantungku yang tidak bisa aku kontrol. Terus terang saja, berada di dekat Aki-sensei membuatku tidak nyaman, berbeda saat aku bersama dengan Urei. Meski sebenarnya mereka memiliki banyak kesamaan. Bedanya, Aki-sensei adalah pria dewasa yang tidak aku mengerti bagaimana ia memandang siswa-siswi nya.
Perlahan ia melihatku, pandangannya sendu. Matanya yang gelap kecoklatan berkilauan tertimpa cahaya matahari yang menembus masuk dari jendela. Bibirnya tidak berucap apapun, aku seperti terhipnotis untuk terus menatap mata indahnya. Dan, sedetik kemudian kecupan itu mendarat di dahiku.
Bibirnya yang lembut dan hangat, menyentuh mesra dahiku. Aku hanya diam. Bukan pasrah. Jantungku seakan berhenti, dan karena itulah aku tidak tahu harus bagaimana. Ini baru pertama kalinya bagiku. Ini sangat ambigu!!
Aku tersadar dan beranjak bangun dengan tiba-tiba, Aki-sensei sama terkejutnya denganku. Wajahnya merah meski aku yakin tak Semerah wajahku. Aku membungkuk cepat lalu berlari keluar ruangan.
Yang bisa aku lakukan hanya diam.. perasaanku berkecamuk. Aku terlalu sibuk memikirkan kejadian tadi, hingga lupa bahwa Urei menungguku di atap untuk bisa makan siang bersama.
Aku tidak bisa mengingat janjiku, yang ku ingat hanya kecupan itu.. sensainya dan aroma parfum Aki-sensei.
***