"Apa yang terjadi Kotoha?!" ibuku berlari mendekat dan terduduk disisiku. Mencengkram tangan ayahku yang sudah tak bernyawa "Bangun Takeshi!!! bangun!!" mengguncangnya seakan dengan begitu ayah akan bangun. aku menggeleng keras, suara tangis ibu yang menggema di ruangan ini menyakiti hatiku. kalau saja aku tidak bicara, ayah tidak akan mati.
Ibuku sudah menelpon rumah sakit sepaket dengan polisi yang datang dengan segala peralatan forensiknya. menelaah beberapa sudut tempat kejadian, lalu polisi menyimpulkan ini adalah murni bunuh diri. Aku diam.. dan semua orang tidak mau bertanya padaku. mereka tahu, aku tidak akan menjawabnya.
Ibuku terus menangis. Di hari upacara penghormatan terakhir ayah, di hari kremasi, di hari pemakaman.. hingga hari ini. hingga detik ini. dia terus menangis dan menyalahkan dirinya atas kematian ayah.
"Aku yang telah membuatnya berpikir untuk bunuh diri, Kotoha! aku yang jahat ini telah membunuh suamiku sendiri!"
Tidak benar, aku yang membunuhnya..
Akulah yang membunuhnya!
"Jika saja aku tidak mengatakan hal-hal kejam saat itu" ibuku kembali menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Tidak..
Aku meraih buku yang tergeletak di meja sudut ruangan televisi, dan menulis sesuatu disana. Ibuku tidak boleh terus menyalahkan dirinya. Ibuku tidak salah.
Lalu siapa yang salah?
Aku menyodorkan buku di hadapan ibuku, dia membacanya "Aku yang membuat ayah meraih pisau dapur dan bunuh diri. Ibu tidak salah. aku yang membuat ayah bunuh diri" aku menangis. Ini adalah kenyataannya. Akulah pembunuhnya. aku menundukkan kepalaku, air mata membasahi tanganku yang mengepal diatas lutut. aku mengangguk keras untuk meyakinkan ibuku.
Ibuku memeluk tubuhku dengan erat, tangisnya berat. Seakan menahan semua beban berat itu sendirian serta.. menyadari dia telah sendirian.
"Aku tidak bisa melihatmu terus menderita Kotoha" dia masih memelukku "Tapi keadaanmu bisa saja membahayakan banyak orang"
aku tidak mengerti.
"Dengarkan aku" ibuku melepas pelukannya dan menatapku "Apa kau membenci ayahmu dan aku?" pertanyaan itu.. sangat jujur, maka aku juga harus menjawab jujur.
Aku mengangguk.
Ibuku kembali menangis. "Tidak apa-apa Kotoha, semua ini juga begitu menyiksa kami. apa kau ingin tahu apa alasanmu tidak boleh bicara?"
Aku kembali mengangguk
"Lidah terkutukmu itu, bisa membawa bencana. Semua yang kau katakan seperti mantra. Apapun akan terjadi selama kau yang mengatakannya"
Apa yang ibuku bicarakan ini?
Mereka berdua mencoba menyegelnya dengan tidak membolehkan aku bicara. Sungguh.. aku tidak bisa mempercayainya.
"Aku tidak bisa membiarkan kau melakukan banyak hal buruk hanya dengan bicara, tapi.. kau jadi begitu menderita. maafkan kami Kotoha" ibuku kembali memelukku.
Mengetahui hal ini.. aku lebih baik bisu.
Sungguh, jika kemampuan ini bisa aku tukar dengan kehidupan seseorang yang bisu aku akan dengan senang hati menerimanya.
Apa untungnya? aku tidak tahu. Aku tidak mau tahu!! Hal ini yang membuatku dan orang tuaku menderita.
"Setelah kau tahu hal ini, apakah kau masih membenci kami Kotoha?"
Benar, Ayah dan ibuku adalah pihak yang paling menderita. mereka tetap merawatku hingga saat ini, mereka menelan bulat-bulat kesedihan yang mereka terima, yang mereka lihat, yang mereka rasakan melalui diriku.
Suara-suara teriakan ayahku yang begitu frustasi Kembali terdengar menggema di ruang kepalaku. Dia.. sedih dan marah bukan karena keadaan tidak adil padaku. melainkan karena dia yang telah memaksakan sebuah ketidakadilan menjadi wajar dimataku.
Cemoohan yang aku terima dan yang mereka terima, bullying yang aku rasakan, diskriminasi yang aku rasakan.. Ayahku benci karena itu semua tidak bisa aku lawan. Ayahku menyalahkan semua itu terhadap dirinya sendiri yang memaksakan aku untuk 'diam'. Seakan menerima. Seakan pasrah..
Itulah kenapa ia muak. bukan pada diriku juga bukan pada keadaan. tapi muak dengan rasa bersalahnya..
"Aku tidak benci" aku bersuara, ibuku terkejut dan memelukku.
Ibuku ingin aku menjadi normal, tapi ayah tidak bisa menerimanya. Sekali aku mengatakan hal buruk dan itu terjadi maka merekalah penyebabnya. Maka dari itu, lebih baik aku diam dan tak bicara apapun. Ayahku begitu pengecut.
Karena dia sudah tidak ada..
Hukum apapun yang ia buat.. tidak lagi berguna.
***
Hampir 1 minggu berlalu, aku sudah harus kembali ke sekolah Senin besok. skorsing ku telah usai.. aku harus kembali ke neraka kecil yang mereka sebut Sekolah.
Aku lupa menceritakan, dalam satu Minggu ini Aki-sensei sudah 3 kali ke rumahku. Saat upacara penghormatan ayah, lalu saat pemakaman dan kemarin. Dia bicara banyak dengan ibuku, dia bilang masalah klub seni sudah diluruskan, Saeki dan kawan-kawan nya mengakui kesalahannya dan mendapat hukuman. hukuman yang sama denganku bedanya dia tidak boleh datang ke sekolah selama 2 Minggu.
Ah.. leganya. Akuu tidak harus takut dengan ancama para iblis itu sementara waktu.
***
Senin tiba, biasanya saat pagi hari ibuku akan memasak bersama ayah. Kami sarapan bersama lalu setelahnya ayah pergi ke kantor dan aku ke sekolah. Aku tidak bisa bergabung dalam obrolan gemas mereka, aku hanya ikut tertawa, mengangguk atau menggeleng. aku.. serasa menonton sebuah film dokumenter.
Tapi sekarang sudah tidak lagi. Tidak ada suara nyanyian sumbang dari ayah, tidak ada lagi kehebohan di kamar mandi ketika ayah melupakan handuknya, tidak ada lagi gurauan-gurauan ayah pada ibu yang membuatku geli dan tertawa. Tidak ada lagi ayah yang sering marah padaku tanpa sebab. Tidak ada lagi..
Aku harus terbiasa. Ibuku juga sama, raut wajah kehilangannya masih terlukis jelas. Sarapan hari ini.. kami lalui dengan sunyi. Hanya denting piring dan suara penyiar berita yang membacakan prakiraan cuaca hari ini dari televisi.
Pagi hari ini turun hujan. seharusnya aku dengar tadi di televisi, entahlah. Karena aku tidak membawa payung, aku basah kuyup sampai di sekolah. Semua melihatku dengan tatapan penuh perhatian. Mungkin 'Kasihan' yang mereka pikirkan.
Dari gerbang depan sekolah, bukannya langsung masuk menuju gedung utama, dan mengganti sepatu di loker, aku malah berlari kecil menuju belakang gedung lapangan basket. Disana tidak ada orang. aku mencari tempat aman dan berdiri di depan pintu gedung lapangan basket merupakan pilihanku, aku memastikan sekali lagi bahwa tidak ada orang.
Mungkin saat ini aku bisa membuktikan kalau kemampuanku itu ada gunanya. Aku berdeham, seakan ingin bernyanyi. Sedetik kemudian aku menertawai diri sendiri. Lucunya, aku gugup hanya kerena ingin bicara.
"Keringlah.." tiba-tiba sesuatu seperti angin mengitari tubuhku, seketika bajuku, tas, sepatu semuanya kering.
Aku bersiul. ini menarik.. MENARIK! aku melompat-lompat saking girangnya. aku tarik kembali keinginanku untuk menukar kemampuan ini kemarin-kemarin. Kurasa, aku menyukainya.
"Sedang apa kau disini?" tiba-tiba suara seseorang membuatku melompat kaget, dan menoleh cepat. disana Urei bersama seseorang dari kelas kami melihatku dengan bingung. aku menggeleng cepat lalu berlari menuju kelas.
Apakah dia melihatnya?! aku harap tidak!
***