Chereads / BOSSY BOSS / Chapter 33 - Chapter 33

Chapter 33 - Chapter 33

"Daisy, ini Gery. Gery, ini Daisy istri gue." Zen memperkenalkan Daisy dan Gery secara bersamaan. Keduanya langsung akrab dan membahas mengenai dunia permodelan yang bahkan Daisy sama sekali tidak tahu seperti apa.

Awalnya dahi Daisy berkerut. Zen bisa melihat kerutan itu dan mendadak ia teringat akan Daisy yang dulu. Polos dan takut akan sesuatu yang baru atau hal yang tidak pernah disangkanya. Bibir Zen langsung menahan senyuman, hanya kedutan. Ia menyadari bahwa Daisy yang sekarang adalah Daisy yang ingin melupakan hal-hal menyakitkan yang telah dilewatinya.

"Jadi, kapan kamu siap untuk memulainya, Daisy?" tanya Gery seraya menatap Zen untuk meminta izin.

Daisy menoleh pada Zen dengan senyuman dan kepala miringnya. "Aku terserah pada suamiku, Gery."

"Lusa mungkin? Karena dia juga harus belajar beberapa hal, bukan?" jawab Zen. Gery mengangguk lalu ia mengeluarkan seberkas dokumen yang telah dijilid dan ia memberikannya pada Daisy.

"Mungkin bisa kamu pelajari jika butuh, dan sebagai tambahannya kamu bisa cari tahu di internet, Daisy. Satu yang perlu kamu tahu, jangan kaku. Oke?"

Daisy menerimanya dan mengangguk paham setelah Gery mengatakan itu. Keduanya pun akhirnya undur diri dari hadapan Gery setelah menyelesaikan beberapa hal.

Dalam perjalanan, Daisy hanya diam. Benar-benar diam seperti sedang memikirkan sesuatu. Zen tahu apa yang dipikirkan Daisy. Pekerjaan model bukanlah hal yang biasa, apalagi Daisy mendapat tawaran bagian di mana ia harus menjadi model majalah pria. Bayangan tentang pakaian yang begitu terbuka jelas mengerikan bagi Daisy.

"Apa yang kamu pikirkan, Daisy?" tanya Zen padanya untuk mengetahui secara jelas apa yang menjadi bebannya.

Daisy tersentak dan menatap Zen dengan pandangan ragu. "Aku pernah melihat-lihat majalah pria, Zen. Dan..."

"Ya, aku tahu apa yang kamu takuti," timpal Zen.

"Kenapa kamu nggak menolaknya? Menanyakan hal lain selain menjadi majalah pria?"

Zen memiringkan kepalanya seraya fokus pada jalanan. Ia mengembuskan nafasnya karena Daisy seolah menyalahkannya. "Bukannya kamu tadi kelihatan seperti nggak keberatan?"

Memang, sedari tadi Daisy hanya menunjukkan senyuman seolah ia senang mendapatkan peran menjadi model. Tapi jauh di lubuk hati Zen, ia tahu yang sebenarnya. Hanya saja Zen memang tidak menyinggung lebih awal.

Daisy hanya diam tak menjawab pertanyaan Zen. Ia lebih memilih menatap luar jendela mobil dan Zen pun tak ada niatan untuk meneruskan pembicaraan ini. Walau begitu, ia akan menghubungi Gery nanti untuk mendiskusikan mengenai hal yang membuat Daisy keberatan.

"Nanti aku jemput, aku harus ke kantor dulu," kata Zen seraya ia menurunkan Daisy di rumahnya.

"Apa ada hal darurat?"

"Ya... sangat darurat. Salam untuk Ibu, maaf aku nggak bisa mampir. Nanti saat jemput aku akan mampi. Oke?"

Daisy mengangguk dan Zen pun mengecup keningnya dengan lembut. Ia memperhatikan Daisy sampai masuk ke dalam rumah, baru setelah itu Zen menjalankan mobilnya meninggalkan halaman rumah Daisy.

"Halo, Gery?" sapa Zen melalui telepon.

"Ada apa, Zen?"

"Lo masih di kantor lo, kan?"

"Ya, gimana-gimana?"

"Gue mau ke sana. Ada yang harus kita bicarakan sebentar."

***

Daisy membantu Weiske menyiapkan makan malam dengan semangat membara. Ia sangat merindukan rumah dan Ibunya sehingga ia bisa menghabiskan beberapa jam ke depannya bersama Weiske sebelum Zen datang menjemput. Banyak hal yang ingin sekali ia bicarakan pada Weiske, sekali pun topik itu tidak penting.

"Zen baik sama kamu, kan?" tanya Weiske ketika mereka masih sibuk berada di dapur.

"Baik, Bu. Memangnya ada alasan dia nggak baik sama aku?"

"Cuma memastikan, Daisy. Kamu tahu kan, dulu kamu diculik dia. Dan yah, sampai seperti ini," kata Weiske. Daisy tersenyum mengingat hal dulu. Awal yang tidak menyenangkan baginya, namun akhirnya ia menyukainya. Mendadak pikirannya menjadi liar mengingat belakangan ini ia bercinta dengan Zen.

"Jadi... apa anak Ibu udah mencintainya? Kayaknya udah nih, kalau dilihat dari cara kamu tersenyum," tanya dan goda Weiske.

"Ibu! Kok nanyanya gitu, sih?" Daisy menjadi gugup dan menahan senyumnya.

"Ayo, cerita. Ini kan, cuma antara kita aja, Nak."

Daisy ragu untuk mengatakan hal yang ingin ia sampaikan pada Weiske. Ia sendiri belum terlalu yakin apakah ini cinta atau sekadar rasa nyaman dan suka pada Zen. Tapi setiap kali ia berada di dekat Zen, jantungnya berdegup kencang, seakan memberikan nyawa yang lebih banyak padanya.

"Aku nggak tahu, Bu," jawab Daisy lemah.

"Kenapa? Bagian mana yang kamu nggak tahu, Sayang?"

Daisy mengedikkan bahunya. "Cinta atau suka? Aku nggak tahu. Tapi berada di sisi Zen rasanya nyaman. Aku harus akui itu. Sementara jauh dari dia, seperti sekarang, rasanya kosong. Aku... kangen Zen."

Weiske tersenyum menatap raut wajah Daisy. Ia memegang tangan Daisy yang mana jemarinya sudah tersemat cincin pernikahan dengan Zen. Diusapnya tangan Daisy dan Weiske menengadahkan dagu Daisy agar menatapnya.

"Itu cinta, Daisy. Kamu mencintainya," kata Weiske dengan lembut.

***

Zen tersenyum mendengar pembicaraan Daisy dengan Weiske. Wajahnya berseri dan ia tak bisa berhenti tersenyum. Bahkan ia tak bisa langsung beranjak dari mobilnya padahal ia sudah satu jam penuh di parkiran halaman rumah Daisy.

"Aku mencintainya?" tanya Daisy tak percaya.

"Dan kamu belum memberitahu perasaan kamu seperti apa sama Zen, kan?" tanya Weiske.

Daisy menggelengkan kepalanya dengan lesu dan menundukkan kepalanya setelahnya. Ia sendiri tidak tahu harus menyatakan apa dan bagaimana kepada Zen.

Zen mendengarkan dengan serius sampai topik tentang perasaan Daisy berkurang.

"Sampai kapan, Nak?" tanya Weiske kemudian.

"Nggak tahu, Bu. Aku suka seperti ini dulu. Menikmatinya. Jadi yah... ayo, kita tunggu Zen datang!" kata Daisy dengan akhiran mengalihkan topik.

Zen langsung melepas sabuk pengamannya dan ia mengatur nafasnya agar terasa seperti normal lagi. Ia tidak ingin Daisy melihat wajahnya seperti berbunga-bunga. Tidak akan dibiarkannya sampai Daisy mengatakan perasaannya pada Zen.

Ketukan pintu Zen membuat Weiske membukanya. Ia tersenyum melihat Zen dan menerima Zen yang mencium tangannya sebagai tanda menghormati. "Terima kasih, Bu," kata Zen lirih.

"Sudah tugas Ibu, Nak. Kamu tinggal membuatnya menyatakan perasaannya padamu." Dianggukkannya kepala Zen dan kemudian ia pun masuk bersama Weiske.

***

Sampai apartemen, Daisy langsung melucuti pakaiannya di hadapan Zen tanpa rasa malu. Alasannya ia merasa kepanasan dan ingin melepas semuanya begitu saja. Zen terkesima. Ia tidak bisa membohongi dirinya bahwa Daisy memang cocok untuk menjadi model pria.

Tiba-tiba ponsel Daisy berdering. Dengan wajah heran, ia menatap layar ponselnya dan berganti melihat Zen. "Ini Gery!" desisnga tak percaya. Zen mengedikkan bahunya dan membiarkan Daisy menerimanya.

"Halo?" sapa Daisy.

"..."

"Ya, ada apa Gery?"

"..."

"Ap-apa? Sungguh?" teriak Daisy tersenyum senang dan menatap Zen dengam wajah ceria.