Kafe yang Daisy datangi rupanya tidak seramai biasanya. Ia cukup senang karena tidak akan merasa mual di kerumunan banyak orang. Apalagi saat matanya mendapati Devan yang melambai padanya, memberitahukan keberadaannya yang berada di pojok, tempat di mana Daisy sukai.
Duduk di hadapan Devan sudah menjadi kebiasaan bagi Daisy jika bertemu dengannya. Ketampanannya sedikit menurun jika dibanding Zen. Atau memang dirinyalah yang sudah jatuh cinta pada Zen, sehingga melihat fisik laki-laki lain selain Zen, membuatnya hanya memuja Zen seorang.
"Wah, wah... lihat siapa yang berani nemuin aku, ha ha ha," kata Devan bersuara.
"Aku cuma lagi bosan aja, kok. Lagian Zen nggak ada di apartemen."
"Udah pasti, makanya kamu berani nemuin aku, kan?"
"Jangan ge-er gitu, biasanya habis ketemuan sama kamu, aku laporan, kok," ujar Daisy tenang.
Wajah Devan langsung berubah dengan ekspresi tidak sukanya. Daisy tahu ekspresi-ekspresi seperti itu, tapi ia hanya diam dan tak ingin membahas soal perasaan.
Keduanya menikmati kopi mereka secara bersamaan. Tiba-tiba wajah Devan tercengang, Daisy memesan Americano Milk Ice. Pikirnya, Daisy tengah mengandung, tidak seharusnya ia mengonsumsi minuman berkafein.
Diambilnya minuman Daisy hingga Daisy terkejut. "Apaan sih, Van? Balikin, nggak?!"
Devan menggeleng. "Kamu lagi hamil, ngapain kamu minum kafein?"
"Aku suka kafein. Nggak masalah, kok," jawab Daisy tenang.
"Pilih yang lain!" perintah Devan.
Daisy menghela nafasnya. Ia melipat kedua tangannya di dada dan memandang Devan dengan skeptis. "Kembalikan, atau aku kembali pulang?" ancamnya.
Herannya, Devan tidak langsung mengembalikan minuman Daisy. Ia malah mendekatkan wajahnya walau terhalang meja. "Sebenarnya, kamu masih hamil atau nggak?"
Raut wajah Daisy langsung berubah menjadi datar. Ia pun meraih tas slempangnya dan berdiri. "Aku rasa aku harus kembali. Aku lupa belum matiin kompor saat lagi masak. Dah, Devan!"
Kepergian Daisy yang tanpa dicegah Devan membuatnya sadar bahwa Daisy sudah tidak hamil. Pikirnya, bagaimana bisa ia tidak tahu tentang keadaan Daisy?
Sampai apartemen, nafas Daisy memburu. Padahal ia tidak sedang berlari. Entah mengapa saat Devan menanyakannya seperti itu membuatnya sangat ketakutan. Bahkan jantungnya berpacu lebih cepat.
Ia meraih air mineral dan menenggaknya sampai habis. Lalu secara refleks Daisy duduk di lantai dapur. Menyebutkan kehamilan saat ia sudah tidak hamil membuatnya benar-benar bergetar. Keinginan memiliki anak tentu awalnya ia tidak ingin, tapi ternyata lambat laun ia bisa menerimanya. Lalu kehilangan membutanya benar-benar frustrasi.
"Daisy... aku pulang," suara Zen menyambut, walau Daisy tidak bergerak sedikit pun dari tempatnya berada. Lalu perlahan langkah sepatu Zen semakin dekat, ia terkejut melihat Daisy duduk di lantai dapur.
"Daisy, ada apa?" tanyanya. Tentu Zen merasa cemas, tapi ia tidak bisa begitu menunjukkan ekspresinya.
Hanya gelengan kepalanya sebagai jawaban. Tapi Zen tahu apa yang menyebabkannya demikian. "Ayo, kita keluar. Oke? Aku udah reservasi tempat makan." Sebenarnya ada sedikit kebohongan dalam ajakan Zen. Ia belum sama sekali reservasi tempat makan itu, ia hanya ingin menghibur Daisy.
Dengan sabar Zen mengganti pakaian Daisy. Ia sudah tidak peduli dengan rasa malu pada diri Daisy saat mengganti pakaiannya. Sebab memang terkadang seseorang harus melakukan suatu hal saat pasangannya tidak bisa melakukannya.
"Daisy... aku mencintaimu. Nggak akan aku biarin sesuatu membuatmu sedih," ungkap Zen seraya memeluk Daisy sebelum mereka pergi.
***
Pemotretan berjalan lancar sampai Daisy beristirahat sebentar untuk menikmati salad sayur yang dipesan managernya. Dengan perlahan ia menyuapi mulutnya sebab Daisy tidak begitu sayur.
"Bagaimana perasaanmu jadi model baru?" tanya Adel, teman modelnya juga yang ia kenal pertama baik.
Adel, bertubuh tinggi dan leher jenjang. Tubuhnya benar-benar sempurna dan rambutnya hitam legam dengan perawatan yang mahal.
"Menyenangkan, Adel. Kamu sendiri gimana selama ini?"
"Sama sih, cuma ya kadang ada hal yang nggak enakan. Misalnya si Clara itu... cewek bengal dan nakal," ujar Adel seraya menunjukkan wajah tidak sukanya pada Clara.
Daisy mengikuti arah mata Adel dan ia baru sadar bahwa wanita yang kemarin menggoda Zen ternyata namanya Clara. "Oh, jadi itu Clara. Alasanmu apa, Del?"
"Yah, penggoda laki orang. Hati-hati aja deh, jangan sampai su-"
"Dia udah menggoda suamiku kemarin, Del. Dan aku tegur dia. Jadi yah..."
"Serius?" tanya Adel tak percaya. Daisy menganggukkan kepalanya sembari tetap menyantap saladnya.
"Yah, semoga aja nggak keterusan begitu," harap Daisy.
"Tapi omong-omong, suamimu setia banget ya, sampai nemenin terus."
Daisy memperhatikan Zen yang sedang berbincang-bincang dengan Gery di kantornnya. Adel hanya belum tahu sifat Zen. Semua Zen lakukan atas dasar ia tidak ingin Daisy terjatuh ke hati yang lain.
"Yah, dia memang setia, Del. Terima kasih. Bagaimana denganmu?" Gantian Daisy yang bertanya pada Adel.
Adel tertawa kecil seraya mengibaskan tangannya di tengah-tengah wajah mereka. "By the way, bukan atau belum jadi suami, sih. Cuma yah, dia sibuk sama pekerjaannya."
Terdengar nada sedih dalam suara Adel. Sayangnya Daisy tidak ingin bertanya lebih jauh atau terlalu ikut campur urusan Adel.
"Kadang nemenin kamu?" tanya Daisy.
"Iya. Ah, kayaknya aku harus pulang. Pemotretan kan, juga sudah selesai. Kamu pulang kapan?"
"Hmm, aku nunggu suamiku selesai mengobrol," jawab Daisy.
"Oke. Kalau gitu, aku duluan, ya!" Adel berpamitan sekaligus mencium pipi kanan kiri Daisy dan berlalu dari hadapannya.
Daisy mengembuskan nafasnya lega dan kemudian ia membuang salad sayurnya yang tak habis ke tempat sampah secara sembunyi-sembunyi. Ia sudah cukup berakting di hadapan Adel mengenai dietnya. Atau, di hadapan para orang yang berhubungan dengan pekerjaannya sekarang.
"Kalau kamu sedih, nggak akan ada ampun sama orang yang membuatmu sedih." Tiba-tiba Daisy teringat akan ucapan Zen kemarin malam saat mereka di restoran.
Dan begitu tahu Zen mengatakan itu, Daisy langsung menghilangkan rasa syoknya akibat Devan. Ia tidak ingin ada perkelahian.
"Iya, aku nggak sedih, kok."
"Kalau gitu, makan makananmu."
Daisy tersenyum mengingat semalam. Selepas pembicaraan kecil di restoran lalu kembali pulang untuk bercinta, merupakan sesuatu yang dahysat baginya.
Dihampirinya Zen dengan langkah kaki jenjangnya hingga langkahnya berhenti ketika Clara menghentikannya di depannya.
"Hei, kita belum sempat kenalan," kata Clara seraya mengulurkan tangannya. Gerakannya benar-benar bagai penggoda.
"Aku rasa nggak perlu kenalan," balas Daisy lalu meninggalkannga langsung tanpa menoleh ke belakang.
Daisy langsung masuk ke kantor Gery dan menggelayut manja sambil lirikannya menuju Clara yang masih memperhatikannya. Sunggingan senyum Daisy berikan padanya. Senyum kemenangan, sementara Clara pergi dengan kesal.
"Ada apa, Daisy? Gery ngelihatin, loh," bisik Zen. Daisy pun segera membenarkan posisinya dan menatap Gery dengan senyuman.
"Oh, maaf Gery. Nggak bermaksud, hihihi," katanya terkikik.
"Aku tahu kok, kalau dua pasangan lagi saling jatuh cinta seperti apa," balas Gery dengan kekehannya.