Chereads / BOSSY BOSS / Chapter 39 - Chapter 39

Chapter 39 - Chapter 39

"Kamu yakin nggak apa-apa aku tinggal selama tiga hari?" tanya Zen pada Daisy saat malam setelah Zen mengatakan bahwa ia harus keluar kota untuk sebuah pekerjaan.

Daisy mengerutkan keningnya dan tertawa kecil. "Seharusnya aku yang tanya begitu, biasanya kamu yang lebih protektif sama aku, Zen."

"Sebenarnya aku nggak mau ninggalin kamu. Tapi aku percaya kamu nggak akan macam-macam, kan?"

Daisy mengangguk penuh. Untuk apa dia macam-macam sementara ia tahu sifat dan karakter Zen seperti apa. Lagi pula, Daisy tidak berniat bermain-main di belakang Zen. Malahan, Daisy yang mengingatkan Zen untuk bermain nakal di belakangnya.

"Aku janji aku nggak akan mengkhianati kamu," kata Zen.

Biar begitu, entah kenapa hati Daisy mengatakan sebaliknya. Sesuatu akan terjadi, tapi Daisy tidak tahu. Namun ia lebih memilih menyimpan rasa khawatirnya itu.

Paginya setelah kepergian Zen yang sangat pagi-pagi sekali, Daisy memilih bermalas-malasan di kasur. Ia menonton, membaca, atau mengemil sesuatu untuk di makan. Sebab memang harinya sedang santai-santainya, tidak ada pemotretan, tapi nanti saat siang akan ada pertemuan membahas produk iklan yang akan ia kerjakan minggu depan.

Ia menerima pemberitahuan bahwa Zen sudah mendarat di kota yang ia kunjungi sebagai bisnis itu. Perasaannya tak keruan, tapi Daisy mencoba berpikir positif.

Pergi tanpa Daisy ternyata membuat Zen cukup kepikiran. Walau hanya tiga hari tanpanya, tapi raganya merasa terus menginginkan Daisy di sisi. Zen memilih tidak memaksa Daisy karena sekarang Daisy sudah mulai menurut dan membuatnya percaya bahwa ia tidak akan macam-macam.

Sekarang hanya dirinyalah yang merasa janggal. Memang, pekerjaan di luar kotanya menuntut beberapa karyawan yang mewakili berbagai divisi harus ikut. Sayangnya, Zen tidak berpikir bahwa Dera akan ikut. Sebab masalahnya Dera terhitung junior di divisi bendahara, namun di divisi bendahara tidak ada yang bisa ikut kecuali Dera.

Permainan kecil dan nakal bersama Dera dulu pernah terjadi, Zen sangat mengingatnya dan kini ia benar-benar khawatir hal itu akan terjadi.

"Satu jam lagi kita ketemu. Langsung ke ball room, oke?" perintah Zen pada karyawannya. Mereka semua mengangguk dan menuju kamar masing-masing saat sudah melakukan check in.

Zen perlahan melangkah menuju kamarnya seraya memainkan ponselnya untuk menghubungi Daisy. Namun ternyata ia tidak sendiri. Langkah sepatu di belakangnya seakan mengekorinya. Dilihatnya ke belakang dan Dera di sana, berjalan mengikutinya dengan koper yang ia bawa.

Diabaikannya Dera dengan perasaan berharap bahwa tidak akan ada yang terjadi lagi di antara mereka. Zen mempercepat langkahnya hingga sampai menuju pintu kamarnya berada.

Tak di sangka, ternyata kamar Dera tepat di hadapan kamarnya. Zen berdecak kecil seraya membuka pintu kamar hotel dengan kartu.

"Nggak ada permainan? Yakin?" tanya Dera menghadap Zen.

Zen sekali lagi mengabaikan Dera dan memilih menutup pintu kamarnya tanpa menjawab pertanyaan Dera. Terlihat sekilas wajah Dera kesal saat tahu Zen mengabaikannys bagai sampah.

Mendengar suara Daisy di saat dirinya merasa khawatir membuat Zen cukup lega. Ia mengatakan beberapa karyawannya ikut, tapi jelas Zen tidak mengatakan bahwa ada Dera di dalamnya. Sayangnya percakapan harus berakhir di saat Zen sudah mendekati ball room dan akan bertemu kolega lainnya.

"Hei, Zen! Apa kabar? Akhirnya datang juga!" sapa suara yang tidak asing di telinga Zen. Raka, si pemilik hotel yang ia tempati, masuk dalam kategori klien yang sudah menjadi temannya.

Mereka berjabatan dan tersenyum satu samal lain. "Gue baik, lo sendiri gimana? Gue kira lo nggak bakal datang," timpal Zen.

"Yah, tadinya gue nggak bisa datang, cuma bisa sekretaris gue wakilin, tapi yah saat gue lihat lo masuk daftar undangan, gue milih ketemu lo aja, deh. Lo nggak sama istri?"

Keduanya berbicara sambil berjalan menuju kursi dan meja yang dikhususkan bagi direktir utama setiap perusahaan. "Istri gue nggak bisa ikut. Gue juga nggak bisa maksa untuk suatu hal yang nggak diinginkan," jawab Zen.

"Atau, karena ada bendahara cantik lo, makanya lo nggak bisa maksa istri lo?" tanya Raka memancing Zen seraya menatap Dera.

Zen berusaha tertawa kecil. Dera memang di kerumunan seperti ini terlihat sangat menonjol. Cantik putih yang alami, dengan otak yang tidak kalah pintarnya.

"Ah, itu... gue nggak tahu kalau dia bakal ikut, secara dia masih hitungam junior. Tapi yah, yang lain memang nggak bisa ikut, jadi dia wakilin divisinya," jelas Zen profesional.

Raka menggelengkan kepalanya seolah tak percaya pada Zen. Zen jadi penasaran apa yang dipikirkan Raka. "Kenapa lo?"

"Gue nggak percaya lo mengabaikan body yang menjadi nilai utama karyawan lo itu," lontar Raka.

"Jangan anggap remeh, Raka, jelas di kantor dia udah menjadi hal utama bagi karyawan yang lainnya. Ada yang iri, suka, dan yah sebagainya."

"Dan itu udah jadi makanan kebiasaan lo?"

Zen mengangguk penuh. "Hmm... jangan mentang-mentang lo single, lantas ngomongin cewek ya, Ka. Gue udah beristri," ujar Zen sarkas.

"Tapi ternyata lo setia juga ya, ha ha ha. Dan yah, orang single emang bebas berbicara, Bro!" Lalu keduanya pun tertawa bersamaan.

Setelah acara selesai, Zen berniat kembali ke kamarnya. Ia ingin sekali melakukan panggilan video dengan Daisy. Namun ia merasa suara isak tangis saat akan menuju lift. Dilihatnya sebelum ia mencapai belokan menuju lift, terlihat Dera duduk di bangku panjang yang memang tersedia di tengah-tengah sebagai tempat menunggu, sedang menangis menatap ponselnya.

"Aku nggak mau putus, Gilang! Yang benar aja kamu, hah! Kedua orang tua kita udah sama-sama tahu dan kenal!" bentak Dera. Zen yang semula akan berbalik mencari lift lainnya, mendadak berhenti saat mendengar sentakan Dera.

Sejak kapan Dera punya pacar? Pikirnya.

"Nggak! Nanti saat aku balik, nggak akan aku biarin kamu memutuskanku!" kata Dera dengan isakan yang ia tahan.

Pikiran ingin menghibur Dera terlintas dalam benaknya, namun ia tidak ingin memulai perkara, akhirnya Zen memutuskan beranjak dari tempat itu.

"Zen... apakah itu kamu?" Tiba-tiba suara Dera kembali menghentikannya.

"Aku tahu kamu sedari tadi di sana," katanya sekali lagi. Ternyata dari tadi Dera tahu ia sedang menguping pembicaraannya.

"Apa aku boleh ke kamarmu? Aku... butuh pelukan," pinta Dera. Zen yang tak menampakkan wajahmya mencoba mengatur nafasnya. Pikiran-pikiran liar akan Dera bersamanya membuatnya bergairah. TIDAK! AKU NGGAK BOLEH MENGKHIANATI, DAISY! batinnya dengan sungguh. Tapi bayangan Dera sangat jelas di pikirannya. Hal-hal berbau erotis sangat ia rindukan saat Daisy tak di sisi. Dan kebetulan... kebetulan sekali, Dera sama halnya dengan Daisy saat berada di ranjang.

"Ya... biar aku duluan yang berjalan dan pastikan nggak ada yang melihat kamu ke kamarku," kata Zen akhirnya, lepas kendali dan memilih mengizinkan Dera ke kamarnya.