Tubuh Daisy langsung menegang dan melepaskan dirinya dari Zen. Entah kenapa sampai sekarang ia belum siap jika harus menerima bahwa dirinya ternyata jatuh cinta pada Zen. Bahkan Zen bisa merasakan ketegangan yang Daisy rasakan usai Gery mengatakan apa yang dipikirkannya.
Mereka pun pulang dalam keheningan saat berada di dalam mobil. Bagaimana pun, Daisy tidak ingin terjadi kekakuan dalam hubungan mereka. Ia memilih mencairkan suasana dari pada merasakan dingin yang merasuki pikiran masing-masing.
"Bagaimana kantor?" tanya Daisy.
"Tumben nanya? Biasanya kamu nggak pernah nanya," balas Zen merasa aneh.
"Yah... aku hanya ingin tahu."
"Lebih baik kamu cerita sama aku, apa yang bikin kamu semanja tadi?" tanya Zen mengalihkan topik.
Daisy tidak ingin membahas Clara, tapi memang sebaiknya ia mengatakan pada Zen seperti apa Clara itu. Wanita yang tidak tahu malu dan tempat itu seharusnya dimusnahkan saja, pikir Daisy.
Zen tertawa kecil setelah mendengar alasan Daisy. "Kalau dia nggak begitu, apa kamu juga nggak akan semanja tadi sama aku? Menebarkan rasa cemburu pada orang lain?" tanya Zen memancing.
"Berhenti!" teriak Daisy tiba-tiba. Zen terkejut dengan teriakan Daisy yang tak disangka. Tapi pada akhirnya Zen berhenti dan menepi di tempat yang cukup sepi.
Tiba-tiba Daisy melepaskan sabuk pengamannya dan ia beralih pindah ke pangkuan Zen. Dengan garang Daisy mencium Zen. Melepaskan kaitan kancing kemeja Zen dengan buas dan tentu saja Zen meresponsnya dengan nafsu.
"Di sini?" tanya Zen memburu.
Daisy mengangguk seolah ia tak bisa berbicara. Lalu keduanya hanyut dalam percintaan yang singkat, berkeringat dengan debaran jantung bagai dipacu kuda.
Setelah selesai, mereka beristirahat. Daisy masih dalam pangkuan Zen, belum berpindah. Ia menempatkan kepalanya di leher Zen, membenamkannya seraya mengatur nafasnya. Entah kenapa ia merasa sangat bergairah sekali saat berada di sisi Zen.
"Apa yang membuatmu begini, Daisy?" tanya Zen.
"Bukannya kamu senang?"
"Aku senang, cuma rasanya bukan seperti kamu yang dulu."
Daisy tak memiliki alasan untuk menjawab. Ia hanya sangat bernafsu ketika ada di sisi Zen. Sehari tak bercinta dengannya membuatnya seakan sakau.
"Kamu seperti morfin yang buat aku kecanduan, Zen. Aku... aku nggak tahu kenapa," kata Daisy.
Dikecupnya berulang kali tubuh Daisy yang bebas oleh bibir Zen. Kemudian keduanya merapikan pakaian masing-masing. Zen juga tidak memiliki alasan untuk membahasnya lebih dalam. Jadi ia hanya membiarkannya dengan perasaan senangnya.
***
Sebuah undangan terlihat di mata Daisy saat ia meraih ponsepnya di nakas kamar. Ia memegangnya dan membolak-balikkan undangan itu untuk melihat apa isinya. Di undangan tersebut tertera nama "Zen dan Istri (Daisy)". Dahinya berkerut karena Daisy tidak mengenal si pengirim yang di sebutkan di sana juga. Undangan pernikahan Alea dan Ardi.
"Siapa mereka? Zen nggak menyinggung ini... hmm, atau belum," katanya pada diri sendiri seraya menatap kamar mandi yang mana Zen sedang membersihkan diri di sana.
Setelah Zen selesai mandi, ia melihat Daisy sudah duduk di kasur sambil memegang undangan dan menatap undangan itu. "Kita diundang ke pernikahan mereka," kata Zen bersuara.
"Siapa mereka? Apa aku kenal mereka?"
"Belum, lebih tepatnya. Mereka memang nggak hadir di pernikahan kita karena saat itu ada di luar negeri. Alea itu sahabat aku kedua setelah Dito, yah, kita bertiga maksudnya. Sementara Ardi adalah rekan kerjaku, dulu. Dan baik," jelas Zen.
Daisy mengangguk-angguk paham. Ia lalu meletakkan undangan itu dan menatap Zen. "Zen, aku nggak punya banyak gaun acara," kata Daisy.
"So, let's find another one."
Zen membawa Daisy ke mal. Ia membiarkan Daisy memilih gaun yang disukanya. Tadinya Zen ingin membawanya ke butik langganan yang harganya sangat mahal, tapi Daisy menolak. Ia menginginkan pilihannya sendiri. Walau murah, setidaknya terlihat berkelas, begitulah alasannya.
Sebenarnya Zen kurang suka untuk berkeliling ke mal, apalagi dengan wanita. Karena tentunya menguras tenaga cukup banyak dan tentunya wanita selalu memilih pilihan pertama. Entah kenapa setiap wanita begitu, Zen sama sekali tak menyangka. Sebab Daisy pun ternyata sama halnya.
"Kamu suka kan, sama gaun pilihanku tadi?" tanya Daisy ketika mereka akhirnya memutuskan untuk makan di food court mal tersebut.
"Aku lebih suka dengan pilihanku di butik, Daisy."
"Zen... ayolah, sekali-kali kamu nggak perlu menghamburkan uang untuk sesuatu yang bersifat klise!" ujar Daisy.
"Yah, terserah katamu, Daisy. Tapi gaun tadi juga cocok di tubuhmu."
Daisy tersenyum senang. Mereka pun lalu menyantap menu mereka dengan tenang dan sesekali Daisy melirik Zen yang merasa kurang tenang di kerumunan begini.
"Padahal seharusnya aku yang merasa cemas di kerumunan gini, tapi yah karena memang ada space di setiap meja, jadi nggak masalah buat aku. Tapi kamu... kenapa terlihat nggak tenang, Zen?"
"Bukan kebiasaanku makan di food court mal, Daisy."
"Dasar kuno!" cibir Daisy dengan senyuman.
Zen menatap Daisy dengan wajah terpana. Apa yang dilakukannya terhadap Zen sehingga ia merasa dirinya berubah secara perlahan-lahan? Bagian dari dalam Daisy benar-benar menyihirnya menjadi sosok yang tidak pernah diduga Zen.
"Apa? Kenapa? Apa di wajahku ada sesuatu?" tanya Daisy padanya seraya meraih kaca dari dalam tasnya. Namun Daisy tidak menemukan sesuatu yang aneh di wajahnya. Ia pun menatap Zen yang masih menatapnya.
"Aku tahu aku cantik. Berhenti melihatku gitu, Zen."
"Kamu memang cantik. Cantik banget," puji Zen. Ia meraih tangan Daisy dan mengusapnya lembut.
Daisy tercengang. Seperti tersengat listrik saat mendengar pujian dan sentuhan Zen, perutnya lalu merasa mulas. "Zen..."
"Apa kamu udah mencintaiku, Daisy?" tanya Zen tiba-tiba.
Dengan susah payah Daisy menelan ludahnya. Ia belum memiliki jawaban, dan tentu saja ia tahu bahwa Zen akan bertanya hal yang sama padanya sampai Daisy menjawabnya.
Perlahan tanpa ingin menimbulkan kesakitan, Daisy melepaskan genggaman Zen dan ia menyibukkan tangannya itu untuk melakukan sesuatu.
"Habiskan makananmu, Zen."
"Apa semua yang kulakukan sampai di pernikahan ini belum membuatmu mencintaiku? Atau mungkin kamu belum tahu perasaanmu?" Zen masih bertanya hal yang sama.
Lebih tepatnya adalah statement yang kedua. Daisy belum tahu perasaannya pada Zen. Bukan malu mengakuinya, hanya saja ia belum tahu cinta itu seperti apa. Pikirnya, cinta yang ia rasakan sama dengan mantannya yang dulu, yang pernah ia ketangkap basah oleh Zen. Nyatanya tidak. Berbeda. Zen berbeda, perasaannya dengan Zen sangat spesial. Saking spesialnya, ia tidak tahu harus menjelaskannya seperti apa dan bagaimana.
"Zen... kamu beda. Aku... aku cuma nggak, eh, maksudku belum... belum bisa menjawabnya," kata Daisy akhirnya.
"It's okay. Aku bisa menunggu. Bahkan aku bisa membuat kamu lebih mencintaiku saat nantinya akan tiba," kata Zen dengan yakin.