Daisy langsung memeluk Zen dengan kegirangan setelah berbicara dengan Gery melalui telepon. Ia memandang Zen dengan bahagia dan senyuman yang melebar.
"Ada apa?" tanya Zen berpura-pura.
"Ternyata aku nggak jadi jadi model majalah laki-laki, cukup jadi majalah wanita aja dengan busana ala kantor modern! Wow!" katanya girang.
"Baguslah kalau gitu," respons Zen.
"Kamu senang?"
"Ya, aku senang. Sana, ganti pakaianmu dengan pakaian tidur," kata Zen mengalihkan topik.
Daisy langsung menuju kamar mereka dengan perasaan senangnya dan bahkan Zen bisa mendengar Daisy bersenandung bahagia.
Akhirnya Zen bisa tersenyum setelah Daisy tidak di hadapannya. Setidaknya ia berhasil membuat Daisy bahagia dengan caranya yang diam-diam itu.
***
Keadaan yang ramai dan menyesakkan sejenak membuat Daisy merasa terperangkap. Kepalanya pusing, bahkan wajahnya memucat walau sudah di tutupi dengan riasan sekali pun. Pegangannya pada Zen semakin erat, membuat Zen berhenti dan menoleh sebentar ke arahnya.
"Kamu kenapa, Daisy?"
"Se...sak. Bawa aku ke tempat yang cukup longgar, Zen!" jawab Daisy lemah. Zen lalu menoleh ke kanan dan kirinya, setelah itu ia melihat ruangan yang cukup sepi dan membawa Daisy ke sana.
Daisy duduk di kursi yang tersedia, sementara Zen mengambil air mineral dengan kemasan gelas yang tersedia gratis di sana. Diminumnya air itu dan barulah Daisy bisa bernafas dengan lega.
Ia masih memandang keramaian di hadapannya dengan sangat bingung. Kenapa sangat ramai? Pikirnya. Lalu tiba-tiba Zen membungkuk di hadapannya, hingga kini mata mereka bertemu secara bersamaan.
"Sekarang baik-baik aja?" tanya Zen. Hal ini jelas membuat Zen teringat pada pesta reunian teman sekolahnya saat membawa Daisy, lalu Daisy menghilang dikerumunan dan ternyata sedang merasa ketakutan di tengah-tengah keramaian.
Daisy mengangguk lemah. "Maaf, aku menyusahkanmu. Aku pikir aku bakalan baik-baik aja di tempat ramai seperti ini."
"Daisy, tempat pemotretan khusus majalah wanita memang lebih padat ketimbang khusus laki-laki, ini risikonya," jelas Zen mengembuskan nafasnya.
"Beri aku waktu sebentar buat merasa baik-baik aja, Zen." Zen hanya mengangguk dan ia langsung meraih ponselnya untuk menghubungi Gery. Tak lama, Gery muncul dengan setelan ala kantor namun kasual dengan sepatu kats ketimbang fantofel sebagai penyempurnaan yang semestinya.
"Hei, Daisy. Maaf, aku nggak tahu kalau kamu punya rasa kecemasan yang berlebihan dengan keramaian," kata Gery seraya menatap Zen karena Zen juga lupa memberitahu mengenai hal ini pada Gery.
Dikebaskannya tangan Daisy dengan senyuman memaksa. Ia sadar, ia cukup membuat dua orang laki-laki di hadapannya ini seakan merasa bersalah. "Jangan salahin diri sendiri. Aku juga nggak tahu kan, kalau keadaan seperti ini."
"Apa kamu mampu ke kantorku?"
Daisy mengangguk, Gery pun memberi aba-aba pada Zen agar berjalan di belakangnya. Didekapnya Daisy hingga mereka sampai di kantor Gery.
Sekelebat pikiran Daisy terpicu pada beberapa model wanita yang kelihatan lebih kurus darinya, sangat menarik perhatiannya. Ia sendiri jadi membandingkan dirinya yang sangat jauh dari kata seksi.
"Tenang, Daisy. Kamu juga pasti bakal disuruh untuk melakukan diet agar sama seperti para senior itu," kata Gery seolah tahu apa yang dipikirkan Gery.
"Eh, diet? Jadi, harus diet?" tanya Daisy tak percaya.
"Untuk menghasilkan sesuatu yang bagus, perlu ada sebuah pengorbanan, Daisy."
"Tapi jangan membuatnya sampai sakit, Ger. Gue nggak bisa lihat dia sakit," timpal Zen kurang setuju.
"Aman, Zen. Lo nggak perlu khawatir."
"Zen... aku nggak apa-apa, kok," kata Daisy padanya.
Pemotretan awal berjalan sesuai dugaan. Awalanya Daisy kaku, bahkan sangat kaku. Tapi pengarah gaya cukup sabar mengajari Daisy bagaimana cara bergaya yang elegan. Lalu, beberapa jam ke depan, semua terasa sempurna dan Daisy mampu mengikutinya.
"Hai, ganteng. Boleh kenalan?" Seorang wanita yang merupakan model juga menghampiri Zen. Wajahnya cantik, tapi tak cukup berhasil menggoda Zen.
"Saya punya istri, maaf," kata Zen lalu kembali fokus pada Daisy yang ternyata sesekali melirik ke arah dirinya dan wanita di sisinya.
"Memangnya kenapa? Aku rasa laki-laki sepertimu nggak masalah kalau punya cewek lagi," goda wanita di sebelahnya. Zen tetap diam dan tenang demi memperhatikan Daisy. Baginya, ia sudah terbiasa digoda oleh beberapa wanita yang kurang lebih sama karakternya seperti wanita di sebelahnya ini.
"Apa aku kurang cantik?" Kini wanita itu ada di hadapannya. Menutupi pandangan Zen yang menatap Daisy dengan serius. Zen sampai harus menghela nafasnya.
"Sebaiknya jangan mencoba-coba, oke? Istri saya akan-"
"Pergi dari sini." Tiba-tiba suara tegas Daisy muncul di balik tubuh wanita yang ada di hadapan Zen. Zen hanya diam karena ia tahu Daisy akan mendatanginya sebab sedari tadi memang meliriknya.
"Oh... junior berani mencoba mengusir senior?" tantang wanita itu.
"Kamu nggak mau kan, wajahmu itu terluka sama kuku tajamku?" Daisy menampilkan kuku terbarunya yang memakai kuku palsu dengan kikiran sangat tajam.
Melihat cara Daisy berbicara dan mengancam, wanita itu rupanya cukup merasa ketakutan, sehingga ia pun langsung enyah dari Daisy.
Zen tersenyum menatap Daisy yang memiliki sisi garang. Mungkin juga rasa cemburunya yang membuat Zen merasa senang.
"Kamu nggak tergoda, kan?" tanya Daisy curiga.
"Aku lebih tergoda sama pandanganku sekarang," goda Zen.
Daisy menghela nafas lega. Ia memperhatikan wanita tadi yang kembali ke tempatnya dengan ekspresi benci. "Dasar, jalang!" lirihnga tapi cukup terdengar jelas di telinga Zen.
***
Sampai apartemen, Daisy langsung merasa lega saat duduk di sofa. Tubuhnya merasa lelah karena banyaknya gaya yang harus ia lakukan tadi. Sayangnya Zen tidak ikut pulang ke apartemen, ia harus ke kantor karena ada sesuatu yang darurat.
Pandangan Daisy tertuju pada kamar. Ada satu tempat rahasia yang Zen tutupi dari Daisy. Sebuah tempat kecil entah menyimpan apa. Daisy dari dulu ingin membukanya, tapi ia selalu lua hingga saat ini.
Daisy pun menuju almari pakaian Zen, mengendap cepat mencari barang itu hingga ia menemukannya. Kotak yang berasal dari kayu jati, dan tergembok. Sial! Batin Daisy. Percuma, ia tak akan bisa membukanya. Akhirnya ia mengurungkan niatnya dan terbaring lemas di kasur.
Tiba-tiba ponselnya berdering tepat di sisinya. Nama yang tertera di kontak menunjukkan nama Devan. Alisnya bertautan karena akhir-akhir ini entah kenapa ia selalu berhubungan dengan Devan.
"Halo?" sapa Daisy menjawabnya.
"Hai, Cantik. Aku di kedai dekat apartemenmu. Mau ketemuan?" tawar Devan.
Daisy menatap arlojinya. Zen baru pergi beberapa menit yang lalu, tak mengapa jika ia juga pergi sebentar. Toh, nanti ia pasti akan melapor pada Zen.
"Oke. Aku juga mau ngopi," jawab Daisy akhirnya.
"Aku tunggu."
Panggilan Daisy matikan semena-mena. Pikirannya kalau sudah begini merasa dilema. Devan dan Zen, sama-sama membuatnya nyaman, tapi hanya Zen yang mampu membuatnya berdebar dan dua kali lebih hidup.
"Semoga ini bukan tanda perselingkuhan," katanya pada cermin. Padahal sebenarnya Daisy tahu jawabannya.