"Gimana, lo udah bercinta belum sama Daisy?" tanya Dito, sahabat Zen yang muncul setelah lama tidak singgah ke kantor Zen sejak terakhir bertemu.
Zen hanya mendengus kesal mendengar pertanyaan Dito. Pasalnya, Dito bertanya seolah ia memang sudah tahu bahwa Zen dan Daisy telah bercinta kemarin malam. Membuat Zen sedikit bergidik ngeri karena Dito seperti peramal.
"Gue tebak, lo udah merawanin dia, ya? Gimana rasanya?" goda Dito.
"Dari mana lo tahu kalau Daisy masih perawan?" tanya Zen. Sebenarnya ia sendiri pun tahu seperti apa wanita yang masih dan tidak perawan. Hanya saja melihay sahabatnya membahas tentang keperawanan membuatnya cukup penasaran.
Dito menjentikkan jarinya di hadapan Zen. "Gampang men... Daisy itu kan seger, dilihat itu bener-bener fresh dan enak aja lihatnya, masa lo nggak paham?"
Semua benar, pikir Zen. Sejak awal Daisy memang terlihat segar layaknya daging yang baru fresh. Bahkan setelah bercinta pun, Daisy tetap enak dipandang.
"Gue cuma penasaran lo belajar dari mana. Setahu gue lo cukup sial soal wanita," ujar Zen mengejeknya.
"Sialan lo!" Dan mereka pun tertawa bersama. "Taoi gimana, udah kan?" tanya Dito balik lagi ke pertanyaan awal. Zen pun berdiri dan meraih dokumen yang akan ia bawa ke ruang meeting. Lalu ia menatap Dito dengan wajah tahan tawanya.
"Coba lo tebak," dan Zen segera lenyap dari pandangan Dito.
***
Membaca novel dan diganti dengan film membuat Daisy cukup bosan. Ia menghabiskan waktunya di apartemen tanpa seorang teman. Kuliah juga sedang kosong sehingga membuatnya belajar di apartemen. Daisy bahkan tidak bisa berbohong karena ia tahu mata kuliah Daisy yang dikosongkan mau pun tidak.
Mendadak Daisy melamun. Mengingat semalaman yang telah terjadi di antara dirinya dan Zen. Dan tak bisa dipercaya juga bahwa sekarang ia sudah tidak perawan.
Buru-buru Daisy ke kamar mandi tamu, menatap wajahnya dengan jeli. Memeriksa apa yang berbeda ketika ia masih dan tidak perawan. Sayangnya Daisy tidak bisa menyamakannya.
"Masih cantik, mempesona dan menawan," ujar suara yang begitu Daisy kenal.
Daisy menoleh terkejut. Ia benar-benar sering sekali dikejutkan Zen seperti saat ini. Merasa gugup karena Zen tahu apa yang Daisy pikirkan.
"Kenapa sih, kamu jadi lebih sering kagetin aku?" tanya Daisy kesal sekaligus mencoba mengalihkan topik. Ia pun keluar dari kamar mandi dan kembali ke tempat duduknya.
"Memangnya kamu nggak bosan di sini? Aku justru mau mengajak kamu pergi. Karena kelihatannya kamu bosan."
"Mau ke mana kita?"
"Kamu mau ke mana?"
"Berenang!" seru Daisy dengan wajah ceria.
Zen menggeleng dengan wajah muramnya. "Aku nggak mau tubuh kamu dilihat para cowok-cowok di sana."
Percuma, pikir Daisy. Untuk apa menanyakan ke mana jika keinginan Daisy saja tidak diizinkannya. Daisy pun hanya diam dan menatap kembali televisi yang masih memutar film.
"Ke mana, Daisy?" tanya Zen kemudian.
"Pikir sendiri ajalah. Kalau aku bilang juga kamu selalu nggak setuju."
Zen menghela nafasnya. Ia hanya menatap Daisy kemudian menuju kamarnya untuk mengganti pakaian. Sejujurnya Zen juga bingung mau ke mana. Alasan mengajak Daisy keluar demi mengatasi kebosanan adalah agar Zen bisa menghabiskan waktu bersama Daisy lebih banyak.
"Ayo, kita keluar," ajak Zen kemudian yang sudah rapi dengan pakaian kasualnya.
"Jadi, mau ke mana?"
"Keluar aja. Ke mananya nanti gampang, kita pikirin di jalan," jawab Zen akhirnya.
"Aku nggak mau buang waktu, Zen!"
"Daisy... cepat. Ganti. Baju!" perintah Zen sedikit agak keras. Ia tidak suka mendengar cara Daisy mengatakan hal seperti tadi. Seolah bersamanya memanglah membuang waktu. Tapi Zen tidak akan menyerah. Daisy sudah sedikit lebih luluh di bawahnya. Akan lebih mudah membuatnya jatuh cinta pada Zen.
Hubungan keduanya masih saja kaku. Padahal keduanya juga sudah bercinta. Zen masih merasakan aneh untuk pertama kalinya pada Daisy. Biasanya, wanita yang ia tiduri lantas terus menginginkan diringa. Tapi Daisy berbeda. Sedikit pun tatapan ingin tidak Zen dapatkan.
Seakan terbesit ide, Zen pun ingin sekali membawa ke makanan pinggir jalan yang tidak pernah ia sentuh kecuali bakso yang dekat kampus Daisy. Yang Zen tahu, Daisy lebih menyukai makanan pinggir jalan ketimbang berada di restoran. Sampai ketika mereka tiba di pinggiran jalan, Daisy terenyak.
Alisnya terangkat satu dan selama beberapa detik secara bergantian, Daisy menatap makanan pinggir jalan dan wajah Zen. "Ke sini?" tanya Daisy tak mengira.
"Ayo, tawarkan aku makanan yang kamu suka," tantang Zen.
"Yakin?"
Zen mengangguk penuh dan mereka pun turun.
Kenyataannya ternyata tak seindah yang Zen pikirkan. Entah ini kerjaan Daisy atau beginilah rasanya ketika dimakan, tapi menyantap sekaligus menghabisi sate ayam membuat Zen tak kuat. Bukan rasanya, melainkan Zen tidak begitu suka dengan sate atau makanan yang bersumber kacang-kacangan.
Sesekali Zen bersusah payah menahan air liurnya yang membuatnya mual akibat bumbu sate. Sementara Daisy tetap menyuruhnya menghabisi sate ayam yang sudah dipesan itu.
"Enak, kan? Sate ayam termasuk salah satu makanan kesukaanku," tukas Daisy dengan ceria.
Melihat cara Daisy berbicara, Zen yakin bahwa Daisy sedang tidak mengerjainya. "Aku belum pernah makan sate seenak ini," timpal Zen yang berjuang menghabisi sisa dua tusuk.
"Tapi aku mulai kenyang," imbuhnya.
"Ya, habiskan itu dulu setelah itu nggak usah makan lagi. Aku juga mulai kenyang."
Butuh lima menit bagi Zen menghabisi dua tusuk sate yang bersisa. Setelah itu ia meneguk es teh manis sampai habis, menghilangkan sisa-sisa bumbu kacang yang ada di mulutnya. Barulah Zen merasa lega setelah itu.
"Bentar ya, aku ke toilet dulu," izin Daisy yang langsung menuju toilet dengan terburu-buru.
Saat berada di toilet umum yang memang tersedia di pinggir jalan, dengan bau tak enak yang cukup menyengat hidung, buru-buru Daisy menuntaskan urusannya dan keluar dari sana. Namun hal lain membuatnya berhenti. Daisy menabrak seseorang yang berasal dari toilet laki-laki.
"Daisy? Wow! Kita ketemu lagi!" Suara yang masih asing di telinga Daisy membuatnya terkejut ketika menoleh. Buru-buru Daisy melihat ke arah Zen yang beruntungnya Zen tidak melihatnya, lalu membawa jauh laki-laki itu dari mata yang bisa saja Zen lihat.
"Devan! Kamu ngikutin aku, ya?" tanya Daisy agak kesal. Sebab seringkali ia bertemu dengan Devan seperti suatu kesengajaan.
Devan tertawa kecil dan menghela nafasnya. Ia melirik ke arah Zen yang masih menunggu Daisy. "Bagaimana? Kamu udah tanya sama Zen soal dia punya anak?"
Pikiran tentang Zen yang memiliki anak terbayang lagi di kepala Daisy. Padahal ia tak ingin memperpanjangnya. Apalagi mengingat saat ini Zen berupaya membuatnya senang.
Daisy menggelengkan kepalanya. Membuat Devan muram dan tak suka. "Kenapa?"
"Devan, aku nggak tahu apa motif kamu bilang ini ke aku. Tapi yang jelas, Zen punya anak atau tidak, aku menghargai alasannya yang menyembunyikan itu dari aku. Jadi, aku nggak mau ramai," jelas Daisy dan hendak pergi.
Namun Devan meraih pergelangan tangan Daisy hingga tubuh mereka saling bersentuhan. Keduanya menatap satu sama lain, tapi Daisy segera sadar dan menjauh.
"A-aku, harus kembali," ujar Daisy gugup dan benar-benar meninggalkan Devan yang masih diam di tempatnya seraya menatap Daisy.
Devan yang menatap Daisy pergi menjauh darinya hanya tersenyum kecut. Pikirnya, Daisy memang sangat mempesona dibanding Kanya. Entah apa yang merasukinya, Daisy harus menjadi miliknya, setidaknya membuatnya jatuh cinta, atau bersaing dengan Zen untuk mendapatkan Daisy.