Chereads / BOSSY BOSS / Chapter 27 - Chapter 27

Chapter 27 - Chapter 27

Satu jam terasa lama bagi Zen. Menunggu di luar sementara calon istrinya di dalam bersama anak sambung Papa-nya membunuhnya perlahan. Tapi pada akhirnya Devan keluar sebelum satu jam berlalu. Ia menatap Devan dengan tatapan tajam. Sementara itu Devan juga melakukan hal yang sama.

"Ck! Seniat itu lo bikin anak orang hamil lagi?" cibir Devan.

"Senggaknya Daisy mau menikah sama gue, ketimbang Kanya," balas Zen. Mengingat masa lalu membuat Zen merasa sakit. Sebab Kanya dulu lebih memilih Devan walah pada akhirnya mereka tidak jadi bersama. Di samping itu, Kanya hanya menginginkan uang Zen saja.

"Dengar ya, gue akan selalu ada buat dia," ujar Devan kemudian meninggalkan Zen begitu saja.

Setelah percakapan kecil yang di dasari kebencian, Zen masuk dengan kedua tangannya terkepal. Ia menatap Daisy yang masih yang masih terbaring lemah. Rasanya ia ingin sekali membuka rahasianya itu. Ya, Zen mendengar semuanya, tapi terlalu kaku baginya di saat seperti ini.

"Maaf, buat kamu khawatir," ucap Daisy membuka kalimat.

"Istirahat aja, Daisy."

"Aku tahu kamu marah, Zen. Yang terjadi hari ini, nggak akan aku ulangi lagi." Zen hanya diam, tak membalas ucapan Daisy. Ia memang marah, kesal dan ingin sekali mengurung Daisy. Tapi ia menahannya karena tahu saat ini Daisy sedang tidak dalam kondisi yang sangat baik.

Setelah sampai apartemen, Zen menyuruh Daisy istirahat. Namun Zen masih diam karena ia masih bergelut dengan perasaan amarahnya. Ada rasa cemburu dalam diri Zen mengetahui orang yang ditemui Daisy adalah Devan. Ingin marah tapi Zen menahan emosinya.

Melihat pergerakan Zen, tentu Daisy merasa aneh. Ia lantas berdiri dan mendekati Zen yang duduk termenung di kamarnya sendiri. Daisy membuka pintu Zen lebar-lebar yang setengah tertutup tadinya. Sampai Zen merasa terkejut melihat kedatangan Daisy.

"Zen..."

"Aku harus pergi," kata Zen kemudian. Ia meraih jaket kulitnya dsn kunci mobilnya.

"Ka-kamu mau ke mana?" tanya Daisy bergetar. Zen menghentikan langkahnya dan memandang Daisy.

"Kamu tidur lebih awal aja. Kayaknya aku pulang pagi."

Setelah itu Zen langsung menutup apartemennya dan menguncinya. Daisy langsung menangis melihat respons Zen dan tubuhnya bergetar hebat.

***

Memutuskan untuk menginap di rumah Dito adalah solusi terbaik. Zen butuh melepaskan emosinya di tempat lain dari pada di apartemen yang mana ada Daisy di dalamnya. Ia menenggak banyak bir untuk memulihkan pikirannya.

Dito sendiri tidak masalah dengan Zen yang menginap di rumahnya. Sebisa mungkin ia membantu sahabatnya itu. Tapi baginya, meninggalkan Daisy dalam keadaan kehamilan yang lemah adalah jalan terburuk.

"Sebaiknya lo pulang jangan terlalu pagi, Zen," kata Dito.

"Kenapa?"

"Lo nggak khawatir sama keadaan Daisy? Dia lagi lemah, Zen."

Zen hanya diam dan memandang kaleng birnya dengan nanar. Ia tahu apa yang ia lakukan. Tapi juga kesalahan bagi Daisy yang berani-beraninya bertemu dengan Devan di belakangnya.

Dito akhirnya meninggalkan Zen dan membiarkannya merenung di kamarnya seorang diri. Sementara itu Dito mencoba menghubungi Daisy untuk memastikan keadaan Daisy.

"Halo, Daisy?" sapa Dito memastikan.

"Halo, maaf siapa?" Dito mendengar suara Daisy bergetar. Seperti habis menangis.

"Ini Dito, Daisy," jawab Dito.

"Oh, Mas Dito... ada apa?"

"Aku cuma mau kasih tahu kamu, tapi sebaiknya kamu jangan beritahu Zen. Dia ada di rumahku. Mungkin kalian ada masalah, tapi dia aman di sini," jelasnya.

Terdengar suara desahan Daisy seakan lega mendengar pemberitahuan Dito. "Terima kasih, Mas untuk infonya."

"Kamu... baik-baik aja, kan?"

Daisy hanya mengangguk walau Dito tak melihatnya. "Iya, Mas. Aku... baik-baik aja."

"Oke, kalau gitu aku tutup, selamat malam Daisy."

Zen pulang ke apartemennya pukul tiga dini hari. Ia terkejut melihat Daisy tertidur di kasurnya. Dipandangnya wajah Daisy yang memucat karena masih sakit, membuat Zen merasa kesakitan. Ia sebenarnya tidak tega mendiamkan Daisy, tapi Zen terlanjur emosi hingga membuatnya mau tidak mau pergi meninggalkan Daisy sebentar demi melepaskan emosinya.

Setelah memastikan Daisy benar-benar tidak terbangun atas kepulangannya, Zen pun akhirnya duduk di sofa ruang tamu hingga ia tertidur di atasnya.

Seperti biasa, bau masakan masuk ke rongga hidung Zen hingga membuatnya terbangun. Ia sedikit terkejut karena tubuhnya sudah dibaluti selimut tidur. Ia berpikir pasti Daisy yang memakaikannya. Ditatapnya arah dapur dan melihat Daisy sedang masak sesuatu.

"Hai," sapa Daisy yang sibuk menaruh hasil masakannya di meja makan. Zen menatap cara bicara Daisy yang terdengar begitu ceria. Sementara dirinya sedang merasa pusing karena terlalu banyak bir yang masuk ke perutnya.

"Air jahe hangat udah aku buatkan, diminum ya?" ucap Daisy lagi. Zen melihat Daisy sudah begitu cantik dengan riasan tipis. Terlihat menawan dan seksi. Seketika jantung Zen berdetak cepat. Ia pun langsung berdiri dan mengikuti pergerakan Daisy sampai ia benar-benar terkunci.

"Ada apa ini? Kenapa kamu kelihatan ceria?" tanya Zen dengan suara beratnya.

Daisy gugup. Ekspresinya langsung hilang, diganti dengan ketakutan yang biasanya ia tampilkan pada Zen.

"Kamu harus minum air jahe, Zen. Aku juga lapar dan harus... makan," ujar Daisy yang lalu berhasil melepaskan diri dari Zen.

Zen duduk di meja makan, mengikuti Daisy yang juga mulai menyiapkan nasi beserta lauk pauk di piring Zen. Sejenak Zen merasa aneh pada diri Daisy. Ia sampai harus memperhatikan Daisy begitu dalam. Entah apa yang sedang Daisy rencanakan, membuat Zen kepikiran.

Daisy hanya makan dua sendok makan. Setelahnya ia merasa mual dan bergegas ke kamar mandi. Otomatis Zen langsung sigap mengikutinya dan sedikit panik.

"Apa kamu nggak apa-apa?" tanya Zen memegangi punggung Daisy.

Daisy menggeleng lemah. "Aku pikir aku baik-baik aja setelah mualnya hilang. Tapi... muncul lagi. Rasanya... nggak enak."

Tiba-tiba Zen membopong Daisy setelah mendengar itu. Membuat Daisy terkejut dan sedikit berteriak kaget. Zen akhirnya membawa Daisy menuju sofa agar berbaring santai di sana. Di raihnya selimut dan menutupi tubuh Daisy. "Aku nggak apa-apa, Zen," ucap Daisy.

Zen hanya menggelengkan kepalanya dan ia mencoba menghubungi seseorang di hadapan Daisy. Rupanya Zen menghubungi seseorang untuk mencarikan seorang wanita untuk menemani Daisy.

"Zen!" seru Daisy kesal. Ia melihat kepanikan Zen hingga membuat Daisy sangat kesal melihatnya bersikap berlebihan. Zen langsung menatap Daisy setelah nada suara Daisy meninggi seperti itu.

"Aku.baik.baik.aja, Zen," ucap Daisy kemudian.

Zen langsung terduduk dan menundukkan kepalanya. Ia memang panik dan berlebihan, tapi itu semua karena ia tidak ingin melihat Daisy lemah lagi di depan matanya. "Maaf... aku cuma merasa khawatir banget," kata Zen kemudian. Mata Daisy langsung meredup, ia kemudian meraih pipi Zen dan menyentuhnya dengan lembut.

"Aku nggak apa-apa. Kamu nggak perlu khawatir gitu. Oke? Aku nggak perlu teman wanita yang kamu bilang tadi, aku cuma butuh... kamu."