"Halo, Daisy." Panggilan Devan membuat Daisy terkejut karena memang Daisy tidak melihat siapa yang menghubunginya. Hanya saja Daisy sudah mengenali suara Devan.
"Ha-hai. Ada apa?" Daisy terdengar gugup. Zen pun melirik sekilas kegugupan di wajah Daisy. Ia juga penasaran dengan siapa Daisy berbicara. Daisy pun melihat Zen memandanginya dengan serius hingga ia tak bisa berkutik.
"Nanti jam satu bagaimana kalau kita jalan?" tanya Devan.
"Oke, nanti aku hubungi lagi. Dah!"
Sekarang, masalahnya ada di depan. Daisy harus meminta izin Zen. Mengatakan hal yang jujur dan sebisa mungkin tidak membuatnya merasa sakit hati.
"Aku nanti mau pergi sama Devan jam satu siang. Boleh, ya?" izin Daisy. Zen menghela nafasnya. Ia tidak ingin melarang Daisy sampai pernikahan mereka tiba. Jadi, mau tidak mau ia mengizinkannya walau hatinya terbakar cemburu.
"Oke. Sebelum jam tujuh udah pulang," Zen memperingatkan. Hanya anggukkan kepala Daisy-lah yang meresponsnya. Zen langsung mendatangi Tino yang berada di depan apartemen untuk mengikuti Daisy dan Devan nantinya ke mana pun mereka pergi. Meminta laporan jika terjadi sesuatu.
Rupanya Devan menjemput Daisy lebih awal, sehingga Daisy tidak perlu menunggu terlebih dahulu. Keduanya saling tersenyum seakan senang bertemu satu sama lain.
"Bagaimana kehamilanmu?" tanya Devan di saat mereka sudah berjalan.
"Baik... yah, walau aku sendiri masih merasa lemah."
"Oke, kita akan makan es krim. Kamu suka?"
"Suka banget!!!" seru Daisy terlihat gembira.
Zen yang mendengar percakapan Daisy dan Devan merasa kesakitan karena Daisy tidak pernah merasa sesenang itu bersamanya. Pikirnya, kenapa wanita yang ia kencani selalu berakhir dengan Devan? Buru-buru ia menggelengkan kepalanya karena tidak ingin nasib sial lagi-lagi menimpanya.
Ada yang beda saat Daisy bersama Devan. Walau terbilang baru kenal, tapi rasanya seakan sudah lama. Kenyamanan yang Devan berikan membuatnya sangat ingin berada terus di dekat Devan. Tapi di satu sisi, dengan perasaan aneh, Daisy tidak merasakan detakan jantungnya yang menggebu-gebu seperti saat bersama Zen.
Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya berdenyut. Apalagi di saat kondisinya masih lemah seperti ini. Bahkan Daisy mendadak mengirimi pesan pada Zen bahwa nanti malam ia ingin makan pizza bersamanya.
Melihat pesan dari Daisy, Zen tersenyum. Ia tak habis pikir di sela waktunya Daisy mengiriminya pesan, sesuatu yang ssngat jarang terjadi. Zen tahu bahwa Daisy mulai mencintainya, hanya saja Daisy masih malu untuk menyatakannya.
"Pesan dari siapa?" tanya Devan tiba-tiba.
"Oh, ini Zen. Aku habis kirim dia pesan dan di balas," jawab Daisy jujur.
Tentu sama hal seperti Zen, Devan merasakan luar biasa lebih sakit karena saat bersamanya, Daisy masih sibuk dengan pesan yang dituju untuk Zen.
"Kamu mencintainya, ya?" tanya Devan yang membuat Daisy terkejut. Di sisi lain, Zen menunggu jawaban dari Daisy. Bersyukur Devan melontarkan pertanyaan itu, yang artinya ia memang cemburu dengan Zen.
"Atau kamu belum bisa mengakuinya karena dilema?" tanya Devan lagi.
"Dilema dari apa?" kali ini Daisy bertanya balik.
"Dilema dari aku atau Zen yang kamu cintai."
Daisy hanya diam. Ia memang merasa dilem. Tapi mencintai... ia hanya merasakan pada satu laki-laki.
Belum sempat Daisy menjawab, Devan sudah membuka bibirnya lagi untuk berbicara. "Daisy, dengar... kalau kamu belum bisa menjawabnya, atau menentukan hatimu sendiri, aku bisa membuat kamu jatuh cinta."
Seketika jantung Daisy seakan lepas. Mendengar pernyataan Devan, membuatnya salah tingkah. Ia tidak bisa merasakan cinta untuk dua orang. Bahkan berada di dekat Devan saja ia hanya bisa merasakan kenyamanan.
"Maaf, Devan... tapi apa yang kamu ucapkan terlalu jauh," kata Daisy.
"Aku bisa lihat kamu lagi bingung, Daisy."
"Nggak, aku nggak bingung. Kamu udah salah paham, Devan."
"Apa maksudmu salah paham?" tanya Devan yang mulai sedikit emosi.
Daisy menghela nafasnya. Ia menatap Devan dengan perasaan bersalahnya. Mungkin memang salahnya mengizinkan Devan untuk masuk ke dalam hidupnya, sementara jauh di lubuk hatinya, ia memilih Zen untuk menjadi takdirmya.
"Aku dan Zen adalah sesuatu, sesuatu yang nggak bisa dilepaskan. Sementara kamu dan aku... hanya teman. Ya, aku cuma anggap kamu teman," jelas Daisy gugup.
Devan hanya diam. Rasa sakit mendengar penjelasan Daisy menjalar ke setiap urat nadinya. Memberikan rasa ngilu ke setiap tulangnya hingga ia bisa melihat keseriusan Daisy berbicara.
"Apa Zen mengancanmu? Makanya kamu bilang begitu?" tanya Devan masih tidak percaya.
Daisy menggelengkan kepalanya. Ada rasa sakit karena ia harus menyakiti seseorang yang ia anggap teman, tapi ternyata teman yang ia anggap menganggapnya lebih dari sekadar ini.
"Zen bahkan tahu kita ketemuan, Devan. Aku meminta izinnya. Aku harus menyakitinya lebih dulu untuk bertemu dengan kamu."
Mendengar itu, wajah Zen berseri. Ada setidaknya kepakan kupu-kupu yang berterbangan di perutnya membuatnya gusar sekaligus bahagia. Ia bisa setidaknya tenang setelah mendengar pengakuan kecil Daisy.
"Kamu mencintainya," ujar Devan dengan nada dingin.
Daisy hanya diam. Ia tidak tahu apakah ia harus mengatakan 'ya aku mencintainya' atau memikirkan lagi apakah ia mencintai Zen atau tidak. Tapi rasanya tidak mungkin jika ia tidak mencintai Zen, sementara sejak pertama bertemu hingga sekarang, Zen memberikan apa yang ia mau walau laki-laki itu sangat arogan dan egois.
"Kamu sama seperti Kanya," ucap Devan dengan lirih. Suaranya bergetar. Daisy bisa mendengar sendiri bagaimana Devan bersusah payah mengatakan itu dan menahan isak tangisnya.
Daisy langsung membelalakan matanya. Ia tidak suka disamai oleh siapa pun, apalagi mantan kekasih calon suaminya. "Aku nggak sama seperti dia," koreksi Daisy masih dengan nada tenang.
"Ya, kamu seperti dia. Hamil anak Zen, lalu suatu saat kamu akan meninggalkan Zen dan-"
PLAKKK!!!
Tamparan Zen terdengar cukup keras di setiap sudut meja pengunjung yang menoleh ke arah mereka. Daisy sendiri tidak peduli dengan tatapan kejut dari mereka tapi ia sangat membenci apa yang dikatakan Devan.
"Berhenti menjelekkan siapa pun, Devan! Aku memang nggak tahu Kanya, tapi senggaknya aku bukan dia. Kamu pikir setiap ciptaan memiliki karakter yang sama? Bahkan kembar sekalipun nggak!" seru Daisy murka.
Devan menyentuh pipi bekas tamparan Daisy. Ia menengadahkan kepalanya, melihat Daisy yang mulai marah padanya. "Dan sekarang cukup membuktikan bahwa kamu memang mencintai Zen," ulang Devan kemudian.
"Kalau aku mencintainya, kenapa Devan? Apakah itu merugikan kamu?" tanya Daisy mulai berani.
"Ya! Kamu merugikan aku sejak pertama bertemu, Daisy! Perasaanku, hatiku, tubuhku... mereka ingin kamu! Dan sekarang, ketika aku tahu kamu miliknya, aku merasa rugi besar! Kenapa setiap wanita yang aku sukai, ternyata lebih dulu milik Zen? Kenapa?"