Chereads / BOSSY BOSS / Chapter 26 - Chapter 26

Chapter 26 - Chapter 26

Daisy's POV

***

Rasanya aneh mengenakan gaun ini setelah menjadi mimpi terbesarku karena ingin merasakan menjadi pengantin. Sayangnya, bukan begini caranya. Menikah karena kehamilan. Apa-apaan? Baru sekali bercinta langsung terjadi? Sangat... ah, entahlah, aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa terjadi.

Sejak mengetahui masa kehamilanku, aku sedikit berjarak pada Zen. Aku bukan membencinya, hanya saja sebagian besar diriku sangat tidak ingin berada di dekatnya. Ah, tidak! Aku membencinya karena masih berusaha menyimpan rahasianya sendiri.

Pernikahanku akan berlangsung dua minggu lagi. Tapi entah kenapa rasanya sangat begitu aneh. Aku memikirkan untuk membatalkan pernikahan ini. Tapi aku merasa tidak enak pada semuanya. Hanya saja aku merasa belum siap dengan pernikahan. Benar-benar hidupku sudah bergantung pada Zen rupanya.

"Zen," panggilku saat kami berada di dalam mobil. Aku harus meminta kelonggaran sampai pernikahan kami dimulai.

"Ya?"

"Aku mau minta sesuatu. Apa kamu mau mengabulkannya?"

"Tergantung, Daisy." Lihat, kan? Belum kuajukan saja, aku mulai bergetar karena takut. Tapi tidak, aku harus bisa setidaknya bebas sedikit sebelum pernikahan yang sakral itu.

"Apa yang kamu mau?" tanyanya akhirnya setelah aku hanya diam, bergelut pada diriku sendiri.

"Selama pernikahan belum berlangsung, biarkan aku senggaknya bebas. Bertemu siapa pun, berinteraksi kepada siapa pun," kataku akhirnya. Cara bicaraku sangat lancar, padahal jauh di lubuk hatiku, aku merasa terancam.

Zen hanya diam. Ia sama sekali tidak menatapku. Tapi aku bisa melihat rahangnya mengeras dan cengkraman di kemudinya sangat... kuat? Aku pun hanya bisa menunggu jawabannya tanpa mendesaknya.

"Siapa pun?" tanya Zen mengulangi permintaanku.

"Siapa pun," aku membeo menganggukkan kepalaku.

"Oke. Tapi aku punya batas waktu juga buat kamu berinteraksi dengan siapa pun," katanya seraya mengajukan syarat. Aku menghela nafas. Tentu saja berdebat tentang sebuah permintaan padanya akan menghasilkan sebuah persyaratan juga.

"Katakan." Aku menyerah. Memang untuk sebuah hal, ada konsekuensi yang harus diambil.

"Hanya ketika dimulai pukul dua belas siang sampai jam tujuh malam. Take it or leave it," katanya.

"Deal!" balasku tanpa berpikir panjang. Zen tahu aku bukan tipe wanita yang berlama-lama di luar. Syarat waktunya sangat kecil memang, tapi ia tahu seperti apa aku ini. Jadi, aku mengambil risiko itu dari pada tidak sama sekali.

"Kalau jam tujuh lewat satu menit aja aku nggak melihat kamu di apartemen, aku yang akan menyusul," katanya dengan nada mengancam. Kuputar mataku karena memang begitulah Zen. Ia akan selalu tahu ke mana pun aku pergi, tentu aku nggak meragukan hal itu darinya. Jadi aku memang pasrah dan sedikit tidak sabar untuk menemui seseorang.

***

Setelah memastikan Zen berangkat kerja. Aku langsung meraih ponselku dan juga sebuah kartu nama yang seseorang pernah memberikannya padaku jika aku butuh sesuatu untuk ditanya. Aku memikirkan apakah harus sekarang atau tidak.

Aku mondar-mandir seraya melihat penampilanku di cermin yang sedikit berantakan memikirkan apalah harus menghubunginya sekarang? Tapi aku butuh sebuah kebenaran. Kebenaran yang bukan setengah-setengah tentunya. Sayangnya sebagian diriku merasa sedikit takut. Mungkin ini sebabnya begitu sering dilarang Zen hingga akhirnya menimbulkan rasa ketakutan pada diriku.

"Halo?" sapaku. Akhirnya aku memang berniat menghubunginya.

"Daisy... akhirnya kamu meneleponku. Ada apa?"

"Apa bisa bertemu sekitat jam satu siang? Di kedai kopi yang nggak jauh dari apartemen?" tanyaku langsung pada inti.

Suara tawa renyahnya terdengar jelas. Ia menghembuskan nafasnya dan kemudian berhenti tertawa. "Well, oke Cantik. Aku bakalan nunggu kamu di sana. See you."

Aduh, jantungku rasanya melengos begitu saja ketika dibilang 'Cantik' olehnya. Apakah karena ketampanannya yang hampir mendekati sempurna seperti Zen? Atau karakternyalah yang sama gelapnya seperti Zen?

Tidak! Saat ini bukan waktunya merasa dilambung tinggi oleh kata-kata. Aku tahu ini mungkin sedikitnya cobaan atau godaan sebelum menikah. Karena memang aku pernah membaca beberapa kali bahwa ada saja cobaan dan godaan sebelum pernikahan dimulai.

Duduk di hadapan laki-laki ini ternyata tidak menimbulkan reaksi apa pun pada perasaanku. Atau mungkin belum? Hanya Zen-lah yang setiap hari membuat jantungku berdegup kencang ketika bersamanya.

Di kedai kopi ini, aku tidak meminum kopi. Tentu aku tahu risiko apa yang akan terjadi ketika Ibu hamil mengonsumsi kafein. Tapi aku ingin, dan ya... aku berhasil mencegah setengah diriku untuk tidak memesan kopi.

"Wajahmu agak pucat, ada apa?" tanyanya sebagai pembuka pembicaraan.

Dia memang belum tahu tentang kehamilanku. Tapi aku juga berharap Om Gerald memberitahunya. Tapi sepertinya di wajahnya tidak menunjukkan reaksi apa pun.

"Aku nggak enak badan," jawabku asal. Entah kenapa aku belum ingin memberitahunya sekarang.

"Seharusnya kamu menunda pertemuan ini, Daisy."

"Tapi aku butuh informasi dari kamu," sahutku.

Satu alisnya naik dan menatapku dengan intens. Benar-benar intens dan berhasil membuatku ingin meledak sekarang juga. Matanya lebih tajam dari mata Zen. Wajahnya... wajahnya hampir mirip seperti saat Zen bersikap serius padaku.

"Katakan," katanya.

"Siapa mantan kekasih Zen itu? Yang ia hamili?" tanyaku.

"Kanya."

Aku tahu instingku tidak pernah salah. Atau setidaknya mempertegas bahwa insting wanita tidak pernah bersalah terhadap pemikiran tentang kekasihnya. Ah, apa aku baru saja bilang kekasih? Lupakan, tapi memang begitulah.

Sesaat setelah mendengar jawabannya, tubuhku seperti hancur berkeping-keping. Rasa cemburuku menjalar ke setiap aliran darahku.

"Dan nama anaknya?" tanyaku seraya mengatur ritme nafasku.

"Vista. Seorang laki-laki," jawabnya lagi.

Aku menyentuh kepalaku. Rasanya pening sekali dan aku tak bisa berpikir jernih. "Aku ke toilet dulu," kataku seraya berdiri. Tapi tiba-tiba aku sedikit limbung, hingga ia menangkap tubuhku dengan gesit.

"Wow... wow, Daisy... kamu baik-baik aja?" tanyanya.

Kutatap kedua matanya bersamaan, hingga sesaat aku merasakan dia menyentuh rambutku dan membelakangi beberapa helai rambut ke belakang telingaku.

Aku hanya diam. Bukan karena terhipnotis wajahnya, tapi diriku sendiri merasa lemas seketika dan hal yang aku ingat adalah semua menjadi gelap.

***

Aku terbangun dengan keadaan yang sangat terang pencahayaannya. Telingaku mendengarkan sebuah suara yang sedikit tentang perdebatan. Aku masih mencerna apa yang suara itu katakan, tapi aku juga mencari tahu saat ini aku di mana.

"Lo macam-macam sama dia, gue nggak akan tinggal diam!" suara itu adalah suara laki-laki. Tidak asing, tapi aku masih belum tahu siapa dia. Astaga, kenapa rasanya kepalaku pusing sekali? Apakah ini bawaan kehamilanku?

"Well, lo tahu apa yang dia lakukan, Zen. Jangan seolah-olah gue yang salah di sini!" suara yang lainnya berbicara. Siapa?

Lenguhanku membuat dua suara itu kini ada di sisi kanan dan kiriku. Aku menatapnya sepersedikian detik itu juga. Mereka terlihat khawatir, sementara aku masih terpaku dengan rasa sakit dan kebingungan.

Zen dan Devan.

Kupandangi Zen yang hanya diam dengan wajah garangnya namun kekhawatiran tampak di matanya. Sementara aku melihat Devan yang sama halnya namun ia berkata, "kamu nggak bilang kalau kamu lagi hamil, Daisy."

Ouch! Mendengarnya berkata itu ternyata membuatku sedikit merasa terenyak. Memang salahku dari awal tidak mengatakannya. Dan ya, aku sudah ingat apa yang terjadi padaku sebelum ini sampai aku berakhir di tempat ini, di rumah sakit.

"Maaf," ujarku lirih.

Aku kembali melirik Zen. Menatap arlojinya untuk memberitahu pukul berapa sekarang ini. Sontak Zen pun menatap arlojinya seakan tahu maksudku.

"Jam enam, Daisy. Apa kamu masih merasa sakit?" tanyanya setelah akhirnya ia sadar dengam diamnya.

Aku hanya mengangguk lemah. "Beri aku waktu bentar dengan Devan. Satu jam," pintaku. Awalnya Zen berat, tapi ia juga teringat dengan permintaanku dan syarat waktu yang ia ajukan juga. Lalu akhirnya Zen keluar dan menunggu di luar.

Sekarang aku kembali fokus pada Devan. Matanya terlihat begitu menyedihkan sejak tahu aku hamil. Padahal di antara kami tidak terjadi suatu perasaan atau apa pun.

"Kamu bisa bilang aku kalau kamu hamil, Daisy," katanya.

"Lalu apa? Kamu nggak akan memberi informasi itu?"

Devan berdecak dengan kekesalannya. "Aku masih bisa kasih kamu informasi, tapi mendengar dokter dan Zen yang mengatakan kalau kehamilanmu lemah, buat aku merasa bersalah."