Chereads / BOSSY BOSS / Chapter 25 - Chapter 25

Chapter 25 - Chapter 25

"Aku hamil? Nggak... nggak mungkin!" Daisy terkejut ketika mengetahui dirinya hamil. Ia terlihat sangat tidak siap dengan kehamilannya yang ia sama sekali tidak tahu. Zen sendiri sedikit kebingungan saat memberitahukannya. Bahkan Zen lebih terkejut dengan respons Daisy.

"Daisy, kita harus segera menikah," ungkap Zen kemudian.

"Nggak! Zen aku masih kuliah! Aku... aku nggak mau hamil! Nggak, nggak bisa!" Kali ini suara Daisy lebih histeris. Ia menangis dan menarik-narik rambutnya frustrasi.

Zen menghentikan aksi Daisy itu seraya menekan tombol untuk memanggil perawat atau dokter yang memang tersedia di sebelah kasur pasien. Tak lama dokter dan perawat itu datang sekaligus bertanya apa yang terjadi, setelah Zen mengatakan apa yang terjadi mereka pun langsung menindaklanjuti Daisy dengan membiusnya agar lebih tenang dan tertidur.

Melihat Daisy yang sudah terkulai lemas akibat biusan membuat Zen jauh lebih frustrasi. Kehamilan ternyata bukanlah keinginan Daisy saat ini. Jauh berbeda ketika bersama Kanya yang lebih menginginkan anak ketimbang hidup bersama Zen.

"Tolong jaga dia, jangan biarkan dia keluar atau apa pun. Kalau sesuatu terjadi, kalian tahu harus apa," perintah Zen pada anak buahnya.

"Baik, Bos."

Zen pun segera menuju rumah Weiske lalu akan baru ke rumahnya setelah itu.

Weiske syok dan menangis mendengar kabar tentang Daisy. Ia sama terkejutnya dengan kehamilan Daisy. Tidak begitu menyalahkan Zen karena tahu Zen pasti bertanggung jawab. Namun yang membuat Weiske lebih terkejut adalah dengan respons tolakan Daisy tentang kehamilan yang tak diinginkan.

"Kita akan mencari cara agar dia mau menerima kehamilannya, Nak Zen. Ibu yang akan membujuknya," ujar Weiske dengan lembut.

"Terima kasih, Bu. Saya sangat berhutang budi pada Ibu," ucap Zen.

"Ibu akan ke rumah sakit sendiri, sebaiknya kamu segera hubungi Mamamu dulu, Nak."

Zen mengangguk penuh dan ia pun segera mencium tangan Weiske untuk menuju rumah Neva.

***

Neva dan Weiske juga Zen berkumpul di ruang inap Daisy. Menunggu Daisy sadar seraya memperhatikannya dengan diam. Semuanya terlibat pada pikiran masing-masing.

Lenguhan Daisy membuat semuanya bergerak. Zen salah satu yang sigap menuju sisi Daisy. Sementara itu Daisy masih terkulai lemas dengan mengerjapkan matanya berulang kali. Setelah itu, matanya mengeluarkan tangisan yang terjatuh di kedua sudur matanya. Ia memandang Zen dengan tatapan nanarnya.

"Aku... nggak mau hamil, Zen. Aku... belum siap," isaknya.

Entah apa yang harus Zen lakukan. Ia tidak mungkin marah mendengar penolakan Daisy di saat seperti ini. Zen hanya menatap Weiske dan Neva, memberi isyarat pada mereka untuk mendekat, sementara Zen berdiri dan mengecup kening Daisy lalu meninggalkan mereka keluar.

Zen menunggu di luar. Ia sibuk dengan pikirannya, mencari jalan keluar lalu ia teringat akan kerjaan kantor. Ia pun memerika ponselnya karena memang sedari tadi ia tidak menyentuhnya.

"Halo Ita, tolong batalkan meeting yang tidak terlalu penting. Kamu filter yang sangat penting dan jadwalkan hari ini dan tempatnya," perintah Zen.

"Baik, Pak. Apa Bapak nggak ke kantor?"

"Nggak, Daisy sakit. Sekarang di rumah sakit, jadi tolong usahakan atur pertemuan di daerah dekat rumah sakit."

"Ah, ya Pak. Daisy sakit apa, Pak?" tanya Ita.

Zen tahu kalau sekarang Ita dan Daisy berteman. Maka Zen pun memberitahukan perihal Daisy dan meminta tolong pada Ita untuk membujuknya seperti yang sedang Neva dan Weiske lakukan.

"Mungkin usai jam kerja, saya akan ke sana, Pak."

"Oke. Terima kasih, Ita."

***

Setelah beberapa hari di rumah sakit, Daisy menjadi lebih diam. Ia tidak menyangka akan hamil di usianya saat ini. Bukan maksud tidak menginginkan janinnya, melainkan ia tidak bisa hamil di saat ia belum selesai kuliah. Memang kampusnya tidak mempermasalahkan akan kehamilan seseorang, tapi bagi Daisy kehamilannya adalah musibah baginya.

"Bagaimana respons Zen? Apakah ia senang dengan kehamilanku? Apakah kehamilanku mengingatkan akan mantan kekasihnya dulu?" tanya Daisy saat ia bercermin untuk melihat dirinya.

"Daisy..." panggil Zen membuka pintu kamar Daisy. Daisy tidak menoleh, tapi ia menatap Zen dari cermin hadapannya.

"Hmm?" Hanya gumaman yang ia berikan pada Zen.

"Ayo, kita harus fitting kostum pernikahan," ajak Zen yang jauh lebih dingin.

"Aku siap-siap dulu."

Zen hanya mengangguk dan menutup kembali pintu kamar Daisy. Pada akhirnya Daisy memang menerima tawaran Zen untuk segera menikah. Memindahkan jadwal kuliah menjadi daring agar Daisy jauh lebih konsentrasi juga pada kehamilannya. Bujukan Weiske, Neva dan Ita membuat Daisy kalah terhadap argumennya.

Saat dalam perjalanan menuju butik, baru sekaranglah Daisy merasakan mual. Ia mempertanyakan pada dirinya sendiri kenapa saat ia mulai hamil, ia tidak merasakan apa pun. Hanya stres dan kemudian pingsan itulah yang menunjukkan bahwa dirinya hamil.

"Buka jendela mobilnya, Zen. Aku mual banget," pinta Daisy. Zen langsung membuka kaca mobilnya dan menatap Daisy sesekali dengan serius dan sedikit cemas.

Selama ini Zen tidak tahu bagaimana kehamilan Kanya berproses. Tapi sekarang, ia melihat sendiri. "Kamu mau permen? Aku ada permen mint," tawar Zen. Daisy mengangguk dan Zen menyuruh Daisy membuka dashboard agar mengambilnya sendiri.

"Apa kehamilan rasanya seperti ini?" tanya Daisy entah pada siapa. Karena matanya memandang ke luar.

"Aku nggak tahu," jawab Zen. Daisy langsung menoleh ke arah Zen yang masih fokus pada kemudinya. Ia memandang Zen apakah itu suatu kebohongan atau bukan. Karena menurut Daisy, Zen memiliki anak dari mantan kekasihnya, pikirnya Zen tahu seperti apa kehamilan itu.

"Kamu nggak tahu?" tanya Daisy dengan pandangan dalam.

"Apa aku kelihatan seperti tahu, Daisy?" tanya Zen balik. Daisy langsung mengalihkan pandangannya. Zen memang tidak tahu, pikir Daisy sendiri. Rasa penasarannya semakin memuncak karena hal itu. Bagaimana Zen tidak tahu? Daisy ingin bertanya, tapi Zen tidak membuka rahasianya. Terpaksa Daisy menelan rasa penasarannya susah payah.

Sampai di butik, Zen dan Daisy memilih-milih gaun pengantin juga jas pengantin. Daisy jelas terperangah karena ini pertama kalinya memasuki butik pengantin. Dulu ia hanya bisa membayangkan gaun apa yang akan dikenakannya. Sekarang, sederet gaun juga manekin-manekin yang mengenakan gaun elegan terpampang jelas di depan matanya.

"Pilih yang kamu mau, Daisy," ujar Zen.

"Aku rasa semua ini terlalu mahal, Zen," balas Daisy.

"Pilih aja. Harga bukan masalah buat aku."

Sales penjual wanita mendampingi Daisy untuk memilih gaun. Sesekali Daisy meminta pendapatan sales wanita itu mana yang cocok untuknya, atau Daisy meminta sesuai gambarannya, setidaknya mendekati gambaran yang selama ini ia pikirkan.

Setelah cukup lama memilih, akhirnya Daisy tertarik pada satu gaun pengantin berwarna putih susu yang mana gaun itu menjuntai panjang dan indah. A-Line Dress gaun yang begitu elegan, mencetak tubuh Daisy yang masih ramping dengan bagian punggung yang telanjang, membuatnya terlihat lebih seksi. Daisy menyukainya.

"Saya mau yang ini," ujarnya pada sales wanita itu setelah Daisy mencobanya dan memandang dirinya di cermin.

"Baik, Bu. Akan kami proses."

Zen memandang Daisy terkesima. Ia bahkan tidak berkedip. Daisy tahu bahwa dirinya sedang diperhatikan Zen, tapi ia membiarkannya.

"Kenapa harus lebih terekspos begitu punggungnya, Daisy?" tanya Zen setelah beberapa menit tercengang.

Daisy tak menoleh ke arah Zen, tapi ia masih memperhatikan dirinya di depan cermin dengam calon gaunnya itu. "Kenapa memangnya? Sesekali aku ingin terlihat seksi dan elegan, Zen. Apalagi ini tentang pernikahan. Jadi aku mohon, jangan larang aku untuk hal ini. Pernikahan ini seumur hidup hanya sekali."