"Jadilah pacarku."
"Apa?!"
Manik karamel Nia membulat saat Kevin mengajaknya pacaran. Ia tercengang dengan alis bertaut. Pikiran Nia berkecamuk atas ucapan yang tak pernah Nia kira akan keluar dari bibir Kevin. Apakah orang ini sudah gila? Atau Nia yang salah dengar?
Gadis berambut lurus sepinggang itu membeku tak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia lalu mengorek kupingnya memeriksa apakah ia sudah tuli atau Kevin memang baru saja memintanya menjadi kekasih Kevin? Sementara pemuda yang mengajak Nia menjalin cinta tertawa geli atas sikap terkejut Nia.
"Aku memintamu jadi pacarku. Maukan?" ucap Kevin mengulang perkataannya.
"Kau gila? Aku tidak mau!" teriak Nia kesal. Ia mengangkat bahunya sambil memasang ekspresi jijik. Bagi Nia, berpacaran dengan Kevin sama saja merendahkan dirinya. Ia tak mau punya hubungan spesial dengan Kevin. Ia tahu Kevin hanya ingin main main dengannya. Dan Nia tak akan menjadi orang bodoh yang terbuai mulut buaya Kevin.
"Aku masih waras. Kenapa tidak mau? Aku kan tampan," kata Kevin dengan pedenya. Ia melebarkan senyumnya dan berpose seolah laki laki tertampan. Sikap Kevin membuat Nia beringsut menjauh. Ia tak mau tertular menjadi tidak waras sepertinya.
"Kau mau kemana?" tanya Kevin menahan tangan Nia. Si gadis langsung menyentak tangan Kevin. Tatapannya berubah tajam. "Bukan urusanmu," jawab Nia ketus. Gadis berponi depan itu terlihat sekali dalam susana hati yang buruk. Mirip seperti macan yang lapar. Atau macan betina yang anaknya diganggu. Menyeramkan.
"Kau belum jawab pertanyaanku," ucap Kevin. Pemuda itu berdiri di depan Nia. Ia menatap penuh tanya sekaligus harap. Ia berharap Nia mau menerimanya. Memang tindakan Kevin termasuk ceroboh tapi ia sudah tak bisa menahannya lagi. Ia tak mau Nia direbut orang lain. Meski pemuda bermata sipit tahu Nia kurang populer di sekolah, tapi bagaimana jika ada tetangganya atau orang di jalan yang menyukainya? Lalu akhirnya Nia pacaran dengan orang lain itu. Membayangkannya saja sudah membuat hatinya sakit seperti ditusuk kaktus. Apalagi jika benar terjadi.
Nia menghela napas berat. Sepertinya yang tuli itu Kevin bukan Nia. Gadis yang ujung rambutnya di curly itu sudah menjawab. Tapi kenapa ia bertanya lagi? Apa jawaban Nia kurang jelas? Mungkin Nia harus teriak di depan telinga Kevin agar pemuda yang celananya semata kaki itu paham. "Aku kan sudah bilang tidak mau," jawab Nia.
"Ya kenapa?" tanya Kevin lagi. Ia masih tidak paham dengan jawaban Nia. Memang apa salahnya pacaran dengannya? Kevin bukan orang jahat. Ia bahkan akan menjaga Nia sepenuh hati. Ia berjanji tidak akan menyakiti Nia. Mengenai janji, sebaiknya tidak menjanjikan suatu hal yang tidak bisa ditepati. Sebab perihal menyakiti dan disakiti tak bisa dihindari.
"Kenapa katamu? Karena aku tidak mau. Tidak suka. Tidak tertarik. Minggir sana!" tolak Nia sambil mendorong tubuh Kevin kesamping lalu berjalan mendahuluinya.
"Tidak suka?" tanya Kevin dengan suara yang lirih. Ia terdiam sesaat lalu berkata, "Aku akan membuatmu menyukaiku!" Kevin berteriak kencang membuat Nia menghentikan langkahnya. Gadis porselen itu menghela napas berat. Sudah berapa kali dia menghela napas selama bersama Kevin? Pemuda itu selalu membuatnya emosi. Dan ia harus menahan emosinya agar tidak meledak.
Nia membalikkan tubuhnya. Bibirnya tertarik ke samping, menyeringai. Ia menatap Kevin dari bawah sampai atas dengan tatapan intimidasi. Ia tertawa pelan dengan seringai yang masih terpasang diwajahnya. "Kau tak kan berhasil," ujar Nia remeh.
"Siapa yang tahu hati manusia?"
"Pokoknya aku tidak mau. Dan jangan pernah coba coba mendekatiku. Atau ku buat rontok rambutmu," ancam Nia.
"Baiklah. Kalo gitu aku ganti permintaanya. Datanglah ke pertandingan basketku minggu depan," kata Kevin. Nia terdiam sesaat. Bagaimanapun ia harus menepati janji karena kalah taruhan. Nia akan menuruti permintaan apapun kecuali permintaan Kevin yang ingin menjadikan Nia kekasihnya. Nia mengangguk pelan. "Hm baiklah."
"Yes!" Kevin sumringah. Kedua tangannya mengayun sampai siku ketika mengatakan yes. Kemudian ia bertanya, "Oh ya kita mau kemana lagi?"
"Pulang." Nia menjawab dengan nada datar seperti jalan aspal. Tubuhnya lelah. Daritadi ia banyak jalan. Kakinya seperti mau copot. Ia takut akan pingsan jika terus memaksakan dirinya. Lagipula otaknya penat. Perkataan Kevin beberapa saat lalu membuat emosinya kembali naik. Pacaran? Berteman dengannyapun Nia tak mau. Gadis yang menjepit rambutnya tak mau terlalu dekat dengan lelaki. Terlebih lelaki itu Kevin, pemuda yang pasti hanya ingin mempermainkannya.
"Eh pulang? Gak mau main lagi?" tanya Kevin kecewa. Kelopak mata pemuda itu terkulai. Senyum lebarnya berubah menjadi tertekuk kebawah. Kevin masih mau bersama Nia. Ia ingin menghabiskan waktu lebih lama lagi bersamanya. Ia merasa baru sebentar bersama Nia. Padahal mereka sudah bersama dari pagi hingga menjelang sore. Waktu memang berlalu lebih cepat jika bersama orang yang disuka.
"Tidak. Aku capek," jawab Nia. Netranya terlihat sayu. Sesekali ia menguap. Tubuh Nia terlihat letih tak bertenaga. Kevin baru sadar gadis rambut kelam itu butuh istirahat. Ia akhirnya mengalah. Lagipula lusa mereka akan bertemu di sekolah.
Kevin senyum tipis. "Yaudah. Aku anter yah?" tawar pemuda mancung itu. Tapi Nia menggelengkan kepalanya cepat. "Gak usah. Aku naik taksi."
"Kenapa? Lebih cepat naik motor," ujar Kevin. Nia menggelengkan kepalanya lagi. Ia bersikukuh pada pendiriannya. Kali ini ekspresi wajahnya mengeras. Ia hampir meledak jika tidak ingat sedang di mall. "Gak mau. Argh bicara denganmu tak pernah cepat selesai. Aku pergi!" geram Nia yang dibarengi teriakan di akhir kata. Ia berjalan dengan kaki yang dihentak hentakan ke lantai. Gadis bermanik coklat itu sudah pergi jauh meninggalkan Kevin yang hanya bisa menatap punggungnya.
"Oke. Hati hati," kata Kevin yang sudah pasti tak akan terdengar Nia. Pemuda yang tingginya 175 cm itu tersenyum kecil. Ia harus ekstra sabar menghadapi Nia. Ia juga harus punya strategi khusus. Sebab Nia gadis yang unik. Ia tak mudah luluh. Bahkan jijik jika Kevin merayunya.
#
.
.
Jari jemari gadis yang memakai seragam putih abu abu bergerak lincah di atas tuts hitam putih piano. Ia menekan tuts dengan cepat menghasilkan nada tinggi yang melengking. Meski terdengar indah namun untuk orang yang paham musik, pasti tahu gadis itu membuat banyak kesalahan.
Nia menekan tuts cepat dan kencang. Melampiaskan seluruh emosinya. Tersirat nada emosi dari suara yang keluar. Suara Kevin terdengar terus menerus ditelinganya. Tiap kali ia terbayang wajah oriental pemuda itu, atau terbayang suaranya yang mengajaknya pacaran, ia semakin menekan tuts dengan cepat. Salah nada terjadi dimana mana. Ia tak bisa berkonsentrasi karena Kevin selalu berada diotaknya. Nada sumbang terdengar di akhir permainan. Nia langsung menghantukkan kepalanya ke tuts menimbulkan suara yang memekakkan telinga.
"Arghhh kevin! Bisakah dia berhenti menggangguku?"
"Kenapa aku terus menerus mengingatnya?! Sialan! Ucapannya tadi benar benar membuatku kesal!" maki Nia dengan wajah yang memerah dan napas tak beraturan.