Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 27 - Studio musik

Chapter 27 - Studio musik

Gadis yang namanya memiliki arti perempuan cantik yang menarik, murah hati, setia dan ambisius itu sedang berada di sebuah ruangan yang dindingnya dicat putih. Terdapat rug pad di lantai untuk meredam suara. Tentu saja rug pad dilapisi karpet coklat untuk memperindah ruangan. Ruangan yang cukup luas ini mempunyai dua AC. Dinding terbuat dari beton kecuali bagian belakang yang terbuat dari kaca. Gorden yang juga kedap suara berwarna biru laut menutupi kaca. Jika gorden dibuka, kita dapat melihat halaman belakang yang ditumbuhi rumput hijau, beberapa tanaman hias, dan pohon rindang. Kita juga dapat melihat taman bermain kecil yang mempunya permainan seperti ayunan, perosotan dan jungkat-jungkit. Taman yang dibuat saat Nia masih kecil.

Ruangan luas ini memiliki satu piano, gitar, microfon, biola, dan dua pengeras suara. Peralatan yang biasa digunakan Nia dan Sekar saat berlatih nyanyi dan memainkan alat musik. Terdapat dua soffa panjang empuk yang menghadap langsung ke halaman belakang. Di pojok kanan ada meja yang diatasnya ada kompor listrik, teko kecil, cangkir keramik dan berbagai jenis teh. Di sebelahnya terdapat dispenser air. Sengaja dispenser dan kompor listrik ditaruh disini agar tidak perlu keluar ruangan jika haus.

Nia masih mengenakan seragam putih abu abu. Sepulang dari mall ia langsung masuk ke studio musik lantai satu rumahnya. Tanpa istirahat terlebih dahulu, ia langsung mendudukkan tubuhnya di kursi dekat piano. Jemarinya bergerak cepat menekan tuts hitam putih itu tanpa perasaan. Suara yang dihasilkan sangat kencang mencerminkan emosi yang dimiliki sang pianis. Ia mengeluarkan semua emosinya lewat nada yang keluar dari piano.

Suara yang keluar sekilas terdengar indah namun terdapat banyak salah nada. Nia sendiri sadar tapi ia tak peduli. Gadis rambut lurus sepinggang itu hanya ingin meluapkan emosinya. Entah kenapa suara Kevin terngiang ngiang di pikirannya. Tiap kali ia terbayang wajah oriental pemuda itu, atau terbayang suaranya yang mengajaknya pacaran, ia semakin menekan tuts dengan cepat.

Nia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi karena Kevin selalu berada diotaknya. Nada sumbang terdengar di akhir permainan. Nia langsung menghantukkan kepalanya ke tuts menimbulkan suara yang memekakkan telinga.

"Arghhh pemuda itu! Bisakah dia berhenti menggangguku?"

"Kenapa aku terus menerus mengingatnya?! Sialan! Ucapannya tadi benar benar membuatku kesal!" maki Nia dengan wajah yang memerah dan napas tak beraturan.

Nia lalu menegakkan tubuhnya. Matanya berkeliling ke seluruh ruangan. Ia tiba tiba teringat kenangan saat ibunya mengajari cara bermain piano. Kira kira saat itu usianya 6 tahun. Proyeksi ibunya muncul seperti hologram disampingnya. Ia bisa melihat ibunya yang tersenyum ceria mengarahkan tangan Nia kecil ke tuts tuts piano. Ibunya mengajari Nia kecil dengan sabar dan tepuk tangan tiap kali Nia bermain dengan benar.

Senyum terukir di bibir tipisnya. Tenggorokan yang kering menyadarkannya dari lamunan. Ia menuangkan air ke teko lalu memasaknya di kompor listrik. Sambil menunggu air matang, ia membuka akun instagramnya.

Nia iri pada artis yang ia ikuti. Gadis rambut gelap itu ingin dikenal banyak orang. Bukan hanya dikenal tapi juga disukai. Namun ia saja harus hidup dalam persembunyian. Jika disandingkan dengan Putri Disney, ia mirip Rapunzel di film Tangled. Hidup dalam menara di hutan bersama ibunya.

Setiap hari Rapunzel hanya melukis, membaca buku dan membersihkan menara. Ia tak punya teman manusia, hanya bunglon yang menemaninya. Ibunyapun sering pergi. Ibunya yang ternyata penyihir jahat selalu memberikan apapun yang Rapunzel inginkan tapi melarang ia keluar. Tak ada seorangpun yang boleh mengetahui Rapunzel ada di dunia ini.

Sama seperti Nia yang mendapatkan fasilitas mewah, harta berlimpah, sekolah di SMA elit. Tapi ia harus bersembunyi. Jangan sampai ada yang tahu ia anak Adikara dan Sekar Putri. Tak ada yang boleh tahu seorang Nia Anggraini hidup. Ini salah satu alasan Nia dirundung di sekolah. Karena asal usulnya tak jelas. Untungnya ia diperbolehkan mengikuti olimpiade, malah wajib.

Kedua orang tua Nia mengharuskan Nia memenangkan olimpiade, menjadi juara kelas. Turun satu peringkat saja, sudah pasti mereka akan mencercanya. Tapi satu hal yang tak boleh Nia ikuti, ikut agensi. Nia tak boleh menjadi penyanyi. Karena jika itu terjadi, masa lalu Nia pasti dikorek paparazzi haus gosip. Dan hal itu akan membuat identitas Nia ketahuan. Padahal impian Nia adalah menjadi penyanyi terkenal seperti ibunya.

Uap yang mengepul menyadarkan Nia. Ia mematikan kompor setelah itu menuangkan air panas ke dalam cangkir keramik. Ia memasukkan teh hijau dan sedikit gula lalu mengaduknya dengan rata. Gadis kulit bak porselen itu mendudukkan tubuhnya di soffa panjang.

Tangannya mengambil remot diatas soffa hitam. Seketika gorden terbuka sendiri saat ia menekan salah satu tombol. Kini netra berbentuk bulan sabit dapat melihat pemandangan diluar. Berbagai jenis bunga dan tanaman hias lain menyapa penglihatannya.

Bunga yang paling menarik netranya ialah Bunga Hortensia berwarna biru. Bunga yang warnanya terbentuk sesuai kondisi tanah itu memiliki makna berbeda tergantung warnanya. Bunga Hortensia biru melambangkan hati yang dingin, permintaan maaf, penolakan lamaran dan penyesalan. Mungkin melambangkan penyesalan orang tuanya? Entahlah.

Bibirnya menyeruput teh perlahan. Uap panas keluar dari cangkir keramik. Harum yang dihasilkan memanjakan penciuman Nia. Manik coklatnya memperhatikan kupu kupu yang hinggap di bunga. Jarang sekali ia melihat kupu kupu di Jakarta. Sayapnya berwarna hitam dengan garis putih disayap atas dan kuning dengan garis hitam disayap bawah. Cantik sekali.

Nia teringat filosofi tentang kupu kupu. Serangga bersayap indah ini melambangkan perjalanan hidup yang penuh perjuangan hingga mencapai puncak keindahan hidup. Serangga yang dulunya hanyalah ulat, makhluk jelek dan menjijikan, terkadang mati dimakan burung. Lalu berubah menjadi kepompong yang harus tetap diam saat diterpa angin, terkena hujan, hingga akhirnya menjadi kupu kupu dengan sayap yang cantik. Sungguh perjuangan yang tak mudah.

Mendadak air mata jatuh dari manik coklatnya. Ia sadar dirinya yang manusia kalah dari kupu kupu. Ia harus lebih tegar lagi dan berjuang untuk melebarkan sayapnya.

Nia menaruh cangkir di meja lalu beralih ke biola. Tangannya memegang neck biola lalu menempelkan dagunya pada chinrest, menahan biola dengan dagu dan rahang. Ia memejamkan matanya sambil menggesek senar biola dengan bow, alat penggesek biola.

Kali ini ia bermain dengan lembut tanpa emosi yang meledak ledak. Suara lembut yang menenangkan keluar. Ia menikmati permainan musiknya. Untungnya ruangan ini kedap suara jadi ia bisa bermain musik dengan tenang.

Ya, saking tenangnya sampai tidak sadar ada seorang wanita membuka pintu kaca. Wanita itu bersandar pada dinding dengan senyum yang menawan. Kaki jenjangnya melangkah ke piano lalu jemari lentiknya menekan tuts mengiringi permainan biola Nia. Sontak gadis itu membuka matanya. Manik coklatnya melebar melihat ibunya duduk di kursi piano.

"Ibu," sapa Nia riang.