Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 30 - Anak sulung

Chapter 30 - Anak sulung

Angin berhembus pelan dari jendela yang terbuka menerpa kulit kedua anak adam yang sedang bersitegang. Mendinginkan ruangan kendati tak mempan mendinginkan hati kedua manusia itu. Mereka terdiam cukup lama dengan pikiran masing masing. Entah apa yang mereka pikirkan hingga sunyi melanda malam di kamar remaja laki laki itu. Sepi baru pecah saat wanita paruh baya membuka suara.

Raras Ayundhani. Wanita berusia 33 tahun, kulit putih pucat, mata sipit dengan bola mata berwarna hitam dan rambut hitam sebahu. Rambut bergelombangnya bergerak karena terpaan angin. Ia yang merupakan ibunya Kevin melipat tangannya di dada. Netranya menatap lurus anaknya. Ia memijat keningnya kemudian berkata, "Jadi itu yang kamu rasakan?" Pemuda berambut cepak yang disisir ke belakang menganggukkan kepalanya. "Iya itu yang ku rasakan," jawab Kevin yang masih terengah.

Raras melangkah mendekati Kevin. Tangannya memegang kedua bahu Kevin. Ia menatap lurus anaknya. "Mamah minta maaf tapi seharusnya kamu paham posisimu sebagai anak sulung. Kamu memang harus menjaga adikmu," kata ibunya Kevin.

Kevin menarik sudut bibirnya ke samping. Merasa aneh dengan permintaan maaf yang ditambahi kalimat pembelaan. Kentara sekali ibunya tidak merasa salah. "Ya aku tau aku anak pertama tapi aku juga anak Mamah," ucap Kevin tegas. Ia menekankan kata juga. Seolah mengingatkan ibunya bahwa anak Raras bukan hanya Rendi. Pemuda mancung itu menatap tajam ibunya.

"Siapa yang bilang kamu bukan anak Mamah? Kamu anak Mamah," jawab ibunya. "Dan karena itu Mamah memberimu tanggung jawab menjaga Adikmu," imbuh wanita yang memakai piyama bergambar bunga. Tangannya berpindah ke telapak tangan Kevin, mengenggam erat tangan anaknya.

"Tanggung jawab? Oh tanggung jawab sampai kalo Rendi salah, Kevin yang dimarahi. Tanggung jawab sampai kalo Rendi sakit, Kevin yang salah? Wow berat sekali tanggung jawabku," sindir Kevin sambil menyeringai. Rahang Kevin kian mengeras karena perkataan ibunya tentang tanggung jawab. Persetan dengan tanggung jawab. Ia merasa diperlakukan tidak adil.

"Kamu merasa bebanmu berat? Lalu bagaimana dengan Mamah? Bebanmu gak ada apa apanya," balas Raras yang merasa aneh dengan keluhan anaknya. Ia merasa tak seharusnya Kevin mengeluh. Wanita itu masih menatap anaknya. Mencoba memberi pengertian lewat tatapannya.

"Iya iya beban Mamah terberat. Bebanku mah ringan. Hahaha anak pertama kan yah. Anak yang kata Mamah pengganti orang tua. Anak yang kalo Adiknya salah eh Kakaknya ikut salah. Karena gak bisa nasihatin. Karena gak bisa kasih contoh yang baik. Karena apa la-"

"Plak!"

Ucapan Kevin terhenti saat tiba tiba wanita berbibir merah muda melayangkan tamparan ke pipi seputih susu Kevin. Iris hitamnya menajam. Menusuk hati anak pertamanya yang kini terdiam. Entah kenapa justru hati Kevin yang sakit bukan pipinya. Padahal yang terkena pukulan pipi, bukan dada. Manik sehitam arang pemuda itu terkulai. Ia benar benar kecewa dengan sikap ibunya. Kini ia tahu ternyata memang ibunya tidak sesayang itu padanya. Apa karena sekarang dia sudah besar? Atau karena ia sehat tidak seperti Rendi yang sakit sakitan? Apakah ia harus menyakiti dirinya sendiri agar ibunya juga memperhatikannya?

Manik hitam Raras membulat ketika sadar apa yang baru saja dilakukannya. Penyesalan menelusup kedalam hatinya. Ia dengan cepat menurunkan tangannya. Wanita rambut sebahu itu memijat pelipisnya yang sakit. Suasana semakin canggung dan lidahnya kelu ketika ingin mengucap maaf. "Mamah ke kamar dulu. Mamah ngantuk," pamit Raras yang pergi ke kamarnya.

Kevin tiba tiba tertawa saat ibunya sudah pergi. Ia menertawakan dirinya sendiri yang menyedihkan. Dia benci bertengkar dengan ibunya. Benci dengan tanggung jawab yang ibunya katakan. Tidak, ia bukannya tidak mau menjaga adiknya. Ia hanya benci dengan beban yang diberikan ibunya. Ia benci selalu salah dimata ibunya. Apakah menjadi kakak berarti harus siap disalahkan? Kepala Kevin serasa mau pecah. Ia menatap cangkirnya yang kosong. Pemuda tinggi itu merutuki keputusannya beberapa saat yang lalu. Seharusnya ia tidak minum kopi. Kini netra Kevin tidak bisa terpejam. Manik hitamnya terlalu segar untuk disuruh tidur.

"Hari ini aku melakukan banyak tindakan bodoh," sesal Kevin.

#

.

.

Matahari mulai merangkak naik menunjukkan jati dirinya. Terlihat kegelapan telah berganti menjadi cahaya. Sinar keemasannya menembus atmosfer. Memberi kehangatan pada setiap makhluk di bumi. Seorang manusia berjenis kelamin laki laki sudah rapih dengan seragamnya. Rambutnya tertata rapih dan diberi pomade agar tak berantakan. Tak lupa memakai sedikit parfum agar tubuhnya semakin wangi.

Kevin lalu keluar dari kamarnya. Hendak berjalan ke garasi mengambil motornya. Namun baru saja beberapa langkah dari kamarnya, ia dikejutkan suara ibunya yang memanggilnya. "Kevin, jangan berangkat sebelum sarapan. Mamah gak mau repot kalo kamu sakit," ancam ibunya kemudian berjalan ke dapur. Kevin berdecak pelan. Mau tak mau ia mengekori ibunya.

Kevin duduk disamping Rendi. Sementara Raras di depan Kevin. Ia mengambil piring dan mengisinya dengan nasi juga ayam goreng lalu memberinya pada Kevin. Kevin tertegun melihat ibunya. Apalagi ketika ia memberi susu pada Kevin. Seingatnya terakhir kali Kevin diambilkan makanan saat kelas 1 SMP. Setelah itu ia selalu mengambil makanan sendiri. "Makan yang banyak. Jangan lupa habiskan susunya," kata Raras. "Soal semalam, lupakan saja," lanjut Raras sambil mengambil makanan untuk Rendi. Kevin tersenyum tipis. Kini ia paham kenapa ibunya memanjakan Kevin pagi ini.

"Kalo mau minta maaf bilang saja. Dasar gengsian," cibir Kevin yang memakan ayamnya. Sang ibu diam tak mengatakan apapun. Mereka bertiga lalu makan dengan tenang.

#

.

.

"Hati hati di jalan," kata Raras melambaikan tangan pada Kevin. Ia kemudian bersiap mengantarkan anak bungsunya ke TK.

Sekolah sangat ramai. Halaman sekolah dipadati siswa SMA 1 Jakarta. Netranya melihat penjaga sekolah yang sedang menyapu. "Pagi Pak," sapa Kevin yang dibalas dengan senyum oleh penjaga sekolah. Kevin melihat guru yang berdiri dekat gerbang. Memeriksa kelengkapan atribut sekolah dan kerapihan siswanya. Buru buru ia memasukkan bajunya ke celana sebelum disemprot guru.

"Pagi Pak, Buk," panggil Kevin. "Pagi Nak. Nah ini baru pelajar teladan. Pakaian rapih, atribut lengkap," sahut guru sambil memuji Kevin. Pemuda sipit itu menyengir kemudian pamit.

"Kevin!" panggil Rangga. "Eh Rangga," sahutnya.

"Pipimu kenapa Kevin?" tanya Rangga ketika menyadari pipi temannya merah. Kevin menyentuh pipinya yang masih berdenyut. "Oh ditampar Mamah. Berantem karena Mamah bahas tanggung jawab anak sulung," jawab Kevin santai.

"Ya ampun. Pasti sakit. Ceritakan detailnya pas istirahat yah."

"Siap Bos Rangga," ledek Kevin yang dibalas dengan tawa oleh Rangga kemudian mereka ke kelas dengan tangan saling merangkul.

Anak sulung memang memiliki beban yang berbeda dari anak lainnya. Mereka dituntut sempurna. Harus menjaga adiknya seperti penjaga pribadi. Menjadi orang yang disalahkan ketika adiknya berbuat kesalahan. Sayangnya tidak semua anak sulung siap dengan semua itu. Tentu saja. Siapa juga yang siap mempunyai beban seperti itu. Iyakan?