Tangan Kevin terulur mengelap peluh di dahi Nia menggunakan tisu yang ia pinta dari gadis di kelas itu. Nia terkesiap. Ia menatap Kevin yang sedang tersenyum dengan lembut. Pemuda itu menopang dagunya saat selesai membersihkan keringat di dahi Nia. "Kamu cantik," puji Kevin.
"Kevin~ aku juga cantik kan?" tanya Mela yang tiba tiba duduk di meja. Ia senyum manis sambil merapihkan rambut gelap sedadanya. "Iya kamu cantik Mela," jawab Kevin. Nia memutar bola matanya jengah ketika Mela sengaja melembutkan tawanya. Apalagi Kevin memuji Mela setelah sebelumnya memuji Nia. Hatinya kembali panas. Ada rasa tak suka saat Kevin memuji Mela.
"Kevin, sepulang sekolah kamu mau menemaniku belanja kan?" Mela mencondongkan tubuhnya, mendekatkan jaraknya dengan Kevin. Gadis hitam manis itu menyilangkan kakinya, memperlihatkan paha mulusnya. Senyum masih terpatri di bibir Mela. Sontak Kevin menutupi paha Mela dengan tas Nia. "Aku gak bisa," balasnya sambil melirik Nia. Seolah takut Nia marah.
"Kenapa? Temani aku yah. Mamah bilang kalo mau pergi ajak Kevin atau aku gak boleh main," mohon Mela dengan wajah yang dibuat imut. Perut Nia seperti dikocok, ia ingin memuntahkan isi perutnya sekarang juga. "Iya deh aku ikut," kata Kevin. Senyum Mela mengembang mendengar jawaban Kevin.
"Sudah pacarannya?" sindir Nia kesal dengan kedekatan mereka. Mela tersenyum menang mengetahui Nia marah. Ia memindahkan tubuhnya duduk di samping Kevin. Gadis yang memakai riasan tipis itu memeluk lengan Kevin. Pemuda oriental itu terkejut. Ia menjauhkan tangan Mela tapi gadis itu semakin mengeratkan tangannya.
"Kevin. Sebentar lagi bel loh. Kamu gak takut terlambat? Lagipula sebentar lagi guru masuk," ketus Nia mendorong tubuh Mela dari Kevin. Ia lalu menarik tangan Kevin dan mendorongnya keluar kelas. "Sampai ketemu di kantin Nia," pamit Kevin melambaikan tangannya yang dibalas dengan tatapan datar.
#
.
.
Kantin ramai seperti biasa, tak ada yang berubah. Gadis seputih salju mencari kursi kosong, tangannya membawa piring berisi spageti. Ia melihat kursi yang hanya di isi dua orang siswi. Saat ingin duduk, mereka berdua langsung berdiri, pindah ke kursi lain. Nia tak ambil pusing. Gadis bibir tipis pink itu bersyukur ia bisa makan dengan leluasa.
Tak jauh darinya, tiga pemuda dan tiga gadis tengah memperhatikannya. Mereka berbisik sambil melirik wajah Nia. "Kevin, itu Nia," kata Angga menunjuk Nia dengan telunjuknya. Kevin menoleh ke arah yang ditunjuk Angga. Ia tersenyum menatap wajah Nia yang bercahaya di matanya. Bibir tipisnya terlihat imut sekaligus menggoda saat tengah makan. Rangga menyenggol bahu Kevin sambil berkata, "Samperin gih. Dia kan duduk sendirian."
"Oke. Perhatikan cara memikat perempuan ala Kevin," ucap Kevin menyombongkan diri. Ia berjalan mendekati Nia. Tapi baru beberapa langkah, ia melihat seorang gadis akan menumpahkan es jeruk ke seragam Nia.
Bersyukurlah jika kalian punya kaki panjang, berkat kakinya, Kevin sampai tepat waktu. Ia berdiri di belakang Nia, kedua tangannya ia gunakan untuk melindungi tubuh Nia, berakhir dengan es itu mengotori seragam bagian belakangnya. "Kevin!" pekik gadis itu terkejut melihat es yang seharusnya tumpah di tubuh Nia, malah tumpah di punggung Kevin.
Mela dan kedua temannya duduk tak jauh dari Nia. Mereka menatap sinis Nia terutama Mela. Gadis cantik dengan kulit eksotis itu mengepalkan tangannya mengingat Kevin yang menggoda Nia di kelas. "Mela, kamu harus hati hati sama Nia. Dia bisa jadi penghalang mendapatkan Kevin," celetuk Sani, teman Mela. Sarah yang duduk disamping Sani menganggukkan kepalanya. "Aku setuju. Kevin sepertinya suka sama Nia," katanya dengan mulut penuh.
Mela semakin mengepalkan tangannya hingga kukunya memutih. "Nia memang dari dulu mengesalkan," umpatnya. Mela meyeringai, ia mendapat ide untuk mengerjai Nia. Ia berbisik pada Sani dan Sarah yang diangguki dengan semangat oleh temannya. Mereka bertiga terkikik geli membayangkan reaksi Nia. Lalu Sani menggenggam gelas bening yang terbuat dari kaca berisi es jeruk.
Ia berjalan dengan santai mendekati Nia. Dengan senyum lebar ia menumpahkan es nya ke arah Nia. Namun ia harus menelan kekecewaan. Es itu memang tumpah tapi bukan di bahu Nia melainkan di punggung seorang pemuda jangkung keturunan Tionghoa.
"Apa apaan kamu? Kamu teman Mela kan? Kamu disuruh Mela?" hardik Kevin pada Sani. Sani menggelengkan kepalanya cepat. "A-aku gak sengaja. Tadi lantainya licin," sangkal Sani.
"Cih aku tahu kamu bohong," cerca Kevin lalu menatap khawatir wajah Nia. "Kamu gak apa apa?" Nia menjawab dengan anggukan pelan. Ia tertegun atas tindakan Kevin tadi. Bahkan Nia menurut ketika diajak duduk bersama Kevin dan teman temannya. Rangga dan Angga menyambut Nia dengan hangat. Mereka membelikan cemilan untuk Nia bawa ke kelas. Mereka juga menceritakan hal konyol yang membuat tawa Nia lepas seolah tak ada beban dibahunya.
Tepat setelah bel pulang berbunyi, guru mengakhiri pembelajaran. Setelah berdoa, guru keluar ruangan disusul semua siswa yang sudah siap keluar dari tempat yang memaksa otak mereka bekerja keras. Nia merapihkan bukunya ke ranselnya lalu keluar dari kelas.
Ia berjalan melewati lapangan outdoor yang biasa digunakan latihan futsal dan basket. Ia berjalan pelan sambil melihat bagaimana anak lelaki saling berebut bola untuk memasukkannya ke ring. Netranya memperhatikan bagaimana lihainya mereka bermain basket terutama seorang pemuda yang dikenalnya. Pemuda berkulit putih itu terlihat sexy saat melompat dengan tinggi sampai tangannya menyentuh ring. Ia memasukkan bola dengan cara slam dunk.
Nia menggelengkan kepalanya saat takjub sesaat. Ia lalu melanjutkan perjalannya yang sempat terhenti. Naas, sebuah bola melesat cepat ke arahnya ketika berada dekat ring. Nia menutup manik karamelnya erat. Refleks saat sesuatu yang menakutkan terjadi.
Gadis seputih salju itu heran tak merasa sakit pada bagian tubuhnya. Perlahan ia membuka netranya. Iris coklatnya melebar saat seorang pemuda berdiri di depannya. Tangannya mengukung tubuh Nia. Rupanya Kevin melindungi Nia dengan punggungnya. Pemuda bermata sipit itu tersenyum hingga matanya hanya segaris. "Kamu gak apa apa?" tanya Kevin khawatir.
Nia tergegap, otak pintarnya mendadak mati saat diperlakukan seperti itu oleh Kevin. Kemana Nia yang pintar? Yang selalu juara satu dan mendapat berbagai penghargaan? Ia tak bisa menjawab dan hanya diam seperti orang bodoh. Rambut kelam sepingganggnya bergelayut diterpa angin. Tangan Kevin terulur merapihkan rambut Nia masih dengan senyum manisnya. Nia masih termenung sampai suara teman setim Kevin menyadarkannya. Ia melangkah mundur, berdeham pelan untuk mengembalikan kesadarannya.
"Aku baik baik aja. M-makasih," ujar Nia gugup. "Kamu gak apa apa? Maaf," sesal orang yang tak sengaja melempar bola ke arah Nia membungkukkan tubuhnya.
"Kamu ini! Lain kali hati hati," geram Kevin dibalas permohonan maaf berkali kali dari teman setimmya. "Tak apa lagipula gak kena. Malah Kevin yang kena. Aku pulang dulu. Sekali lagi terimakasih Kevin," pamit Nia berlari meninggalkan Kevin.
Ia memukul kepalanya sendiri, merutuki kecerobohannya. Pipinya merona malu teringat Kevin yang menolongnya. Mau ditaruh dimana mukanya jika bertemu Kevin? Hari ini sudah dua kali Kevin menolongnya. Pasti pemuda itu akan besar kepala dan selalu mengungkitnya. "Nia bodoh!"