Seorang gadis berkulit putih pucat tengah duduk di meja belajar. Rambut gelap sepinggangnya ia biarkan terurai. Bobby pin berwarna pink menghiasi rambutnya. Manik coklat mudanya tertuju pada buku Bahasa Inggris di meja. Ia membaca dengan seksama dan membuka kamus elektronik ketika tidak mengetahui arti kosa kata yang ia baca.
"Tring."
"Tring."
"Ck." Gadis itu berdecak sebal karena terganggu dengan suara notifikasi yang ternyata berasal dari roomchat kelasnya. Jarinya terulur menggulir pesan dari atas sampai terbaru. Netranya melihat sebuah foto seorang gadis menyandarkan bahunya pada seorang pemuda. Bola matanya memutar karena mengetahui penyebab kehebohan teman temannya. "Cih sudah ku duga Kevin playboy," cibir Nia kemudian menghapus foto itu. Ekspresinya berubah masam. Entah kenapa hatinya panas seperti ada sesuatu yang membakarnya. Ia tiba tiba saja kesal ketika melihat foto Mela dan Kevin. Perasaan aneh yang tak pernah ia rasakan. Perasaan cemburu.
"Fokus Nia, fokus!" Nia berkali kali menggelengkan kepalanya saat teringat foto Mela dan Kevin. Hatinya masih saja terasa panas. Ada perasaan kesal, kecewa dan takut yang membuat kepala Nia pusing. Gadis yang bibirnya mungil itu membenamkan wajahnya ke meja belajar. Ia menghela napas berat.
"Gak mungkin!" teriaknya kala otaknya mengatakan ia cemburu. Ia berdalih bahwa rasa kesalnya muncul karena kesal Mela dipuji teman sekelasnya. Mereka memuji Mela terlihat cantik dan serasi bersama Kevin. Ya, dia hanya kesal Mela dipuji bukan kesal karena Mela dekat dengan Kevin atau karena ucapan temannya yang mengatakan Mela dan Kevin serasi.
Gadis yang memakai kaos dengan lengan seperempat berwarna biru dan celana pendek tersentak ketika ponselnya berdering.
"Halo, ada apa Tiara?" tanya Nia.
"Kamu benar mendapat skorsing?"
Ada jeda sebentar sebelum Nia menjawab, "Ah... Iya Aku di Skors 2 hari."
"Ya ampun. Kenapa kamu di skors?"
"Aku gak bisa cerita. Kamu cuman mau nanya itu?"
"Ah, engga. Aku mau mengajakmu ke caffe langgananku malam ini. Disana ada menu baru."
"Nanti ku kabari kalo bisa."
"Oke."
Nia langsung memeriksa catatan di ponselnya. Melihat hal apa saja yang harus dia lakukan hari ini. Mencari jam kosong agar bisa pergi dengan Tiara. Bibirnya bergumam pelan membaca satu persatu jadwal yang sudan ia buat. Sudah menjadi kebiasaan membuat jadwal harian. Ini dilakukan agar gadis berambut sekelam malam itu selalu tepat waktu. Meski terkadang meleset dari jadwal yang ia buat. Gadis itu tersenyum karena dia punya waktu santai dari jam 8 sampai 11 malam. Beruntung dia mengerjakan semua tugasnya dari subuh sampai siang hari. Tinggal tidur siang, membersihkan rumah dan ia bisa main.
#
.
.
Siang berganti malam. Surya yang sedari tadi menghiasi langit, memberikan cahaya dan panasnya pada bumi, sudah turun ke tempat peristirahatannya. Kini waktunya bulan bekerja menggantikan sang surya. Meski sinarnya tak seterang mentari, cahayanya sangat indah. Ditambah ia ditemani bintang yang ikut menghiasi cakrawala.
Seorang gadis di dalam kamar memakai turtleneck warna putih dibalut jaket jeans berwarna denim dan celana jins hitam sedang duduk di depan meja rias. Ia memoles bibirnya dengan lipstick warna pink yang diombre dengan liptint merah. Setelah dirasa cukup ia menghubungi Tiara kemudian berangkat ke caffe yang dituju.
Nia menatap bangunan yang dihiasi lampu kelap kelip. Ketika memasuki caffe, telinganya disambut nyanyian seorang pria bersuara merdu. Refleks ia mengucap wah atas kekagumannya pada suara sang penyanyi. Kemudian ia mencari keberadaaan temannya. Ia tersenyum saat menemukan temannya yang duduk dekat panggung. Nia menghampiri Tiara yang memakai kaos putih dibalut cardigan coklat.
"Niaaaa. Kamu sampai juga," kata Tiara semangat setelah Nia duduk di depannya. "Sebenarnya aku mau mengenalkanmu pada temanku. Dia penasaran setelah melihat video kita pas lomba paduan suara," tutur Tiara dengan mata berbinar. Sontak Nia berdiri ketika mengetahui tujuan Tiara. Rahang Nia terkatup, menutup rapat bibirnya menahan segala umpatan yang ingin ia lontarkan pada Tiara.
"Nia, mau kemana?" tanya Tiara heran karena tiba tiba saja Nia berdiri. "Aku mau pulang," sahut Nia ketus. Ia membalikkan tubuhnya lalu jalan dengan cepat tanpa mempedulikan sekitar hingga ia menabrak seseorang dan hampir jatuh.
"Kamu tidak apa apa nona manis?" Nia mendongakkan kepalanya. Seorang pria hidung mancung dan dagu belah dua menatap khawatir gadis di depannya. Tangan kekarnya memegang bahu Nia, menahan Nia yang hampir jatuh. Gadis yang rambutnya di curly itu terperanjat. Ia berdiri tegap sambil mengucap maaf. Lalu Tiara dengan napas tak beraturan mengajak Nia kembali duduk dan diekori pria asing itu.
"Ini Rio, lelaki yang tadi ku bicarakan," terang Tiara mengenalkan pria itu. "Aku Rio, kamu Nia kan? Senang bertemu denganmu," sapa Rio sambil mengulurkan tangannya. Nia senyum palsu sambil menjabat tangan Rio. Mereka lalu berbincang seputar musik. Sesekali Rio melirik Nia. Rio selalu tersenyum tiap menatap manik caramel Nia. Gadis yang dilirik menggerakkan kakinya gelisah. Jemarinya memainkan kukunya sendiri. Netra Nia berkali kali berkeliling ke seisi caffe. Terkadang ia membuka ponselnya untuk mengecek jam. Waktu terasa lambat padahal ia sudah tak betah.
"Kamu kenapa Nia?" tanya Rio dan Tiara bersamaan. Nia menggigit bibir bawahnya. Ragu ragu ia menjawab, "Aku mau pulang."
"Kenapa? Ini masih jam 22.30," protes Tiara. Rio menelisik wajah Nia setelah itu tersenyum tipis. "Jangan pulang dulu. Ada lagu yang mau ku nyanyikan," pinta Rio. Ia duduk di kursi yang ada diatas panggung dan mulai menyanyikan lagu Bentuk cinta. Lagu yang memberikan kesan romantis dan hangat. Ditambah iringan gitar dan drum yang selaras dengan suara Rio. Nia akui Rio memiliki suara yang bagus.
Selesai bernyanyi, Rio memegang mikrofon dan berkata, "Lagu ini ku persembahkan untuk gadis berjaket denim disana." Nia tercengang atas ucapan Rio yang frontal. Kepalanya menunduk saat semua pengunjung menatapnya sambil berbisik.
"Aku pulang. Terimakasih sudah mengajakku main," pamit Nia pada Tiara. Gadis sawo matang itu teriak memanggil Nia tapi ia tidak menghiraukannya. Gadis kulit pucat itu keluar caffe dengan tangan mengepal dan wajah merah. Menahan marah juga malu karena perbuatan Rio.
"Apa apaan sih Tiara? Seenaknya mengenalkanku pada pria itu," gerutu Nia saat sudah sampai di rumah.
Ia terlonjak ketika ibunya duduk di soffa sambil menatapnya tajam. Nia menelan ludahnya susah saat ibunya berjalan mendekat.
"I-ibu? Ku kira ibu gak pulang." Nia tampak gugup sementara Sekar semakin mendekat hingga kini berdiri di depan Nia. "Kemana saja kamu jam 12 baru pulang?" Lidah Nia kelu tak tahu harus menjawab apa. Ibunya itu terlihat menyeramkan saat mengintrogasinya.
"Aku-" Belum sempat Nia menjawab, ibunya melempar selembar kertas ke wajahnya. Nia memungut kertas itu kemudian membulatkan matanya. Tangannya gemetar. Lidahnya menjilat bibirnya sendiri yang kering. Suaranya tercekat. "Kenapa kau diskors? Kau mau jadi anak nakal?!" hardik Sekar pada anaknya. Napas wanita berambut coklat tak beraturan. Dan urat dilehernya muncul. Nia mematung saat Sekar meneriakinya. Kakinya terasa lemas. Kenapa surat yang sudah ia sembunyikan ada di tangan ibunya? Apakah ayahnya juga tahu? Jika iya...
"Mati aku," ucap Nia dalam hati.