Chereads / Die inside (Hopeless) / Chapter 28 - Ceroboh

Chapter 28 - Ceroboh

"Dimana sih bukunya?" kesal seorang wanita dewasa yang mengacak meja kerjanya. Wanita berambut coklat terlihat mencari sesuatu di kamarnya. Sekar meninggalkan buku yang harusnya ia bawa ke studio rekaman dan sekarang ia mencari di tiap sudut kamarnya tapi tak menemukan apapun. Lalu Sekar turun ke lantai satu, ke studio musik miliknya.

Netra wanita bibir ranum itu tersenyum saat melihat anaknya tengah memainkan biola. Gadis itu tak sadar Sekar memperhatikannya. Kemudian Sekar mendudukkan tubuhnya di kursi dan menggerakkan jemarinya menekan tuts. Sontak gadis berambut kelam membuka matanya. Seketika wajahnya berseri.

"Ibu," panggil Nia riang berhambur memeluk ibunya. "Iya nak," sahut Sekar membalas pelukan anaknya.

"Ibu gak kerja? Atau sudah pulang?" tanya Nia. Mereka berdua duduk bersampingan di soffa panjang sambil menyeruput teh hijau. Netra Sekar menatap Nia dan berkata, "Ibu kerja. Buku lirik ibu tertinggal. Kamu lihat gak? Buku tulis panjang. Sampulnya warna biru dan ada tulisan kumpulan lirik?" tanya Sekar.

Alis Nia bertautan kemudian bibirnya tersenyum lebar. Gadis rambut sepinggang itu mengambil buku dari rak buku. "Ini bukan?" tanya Nia memastikan. Bibir semerah darah wanita itu terangkat membentuk senyuman. "Benar. Terimakasih Nia. Ibu lupa pernah menaruhnya di rak itu. Kalo gitu ibu pergi dulu ya," kata Sekar.

Bibir Nia mengerucut. "Sekarang? Ku kira masih lama." Sekar mengelus surai Nia. "Ibu buru buru nak. Ibu harus menunjukkan lagu yang ibu buat. Sebentar lagi perilisan album ibu dan ibu mau ada lagu ibu yang dimasukkan ke album," jelas Sekar mencoba memberi pengertian pada Nia.

Nia membuka mulutnya, terkejut. Tangan kecil gadis itu memeluk erat ibunya. "Wah selamat. Kalo gitu Nia doakan semoga perilisan album ibu lancar dan banyak yang membeli album ibu," ujarnya mendoakan Sekar. "Aku ingin ikut ibu ke studio. Tapi gak boleh kan?" Manik coklat Nia terkulai tapi ia memaksakan senyumnya. Kemudian menggenggam lembut tangan ibunya. "Semoga berhasil."

Sekar tersenyum simpul setelah itu keluar dari studio musik yang ia buat. Nia menatap punggung ibunya nanar. Ia senang dengan perilisan album baru ibunya. Tapi ia juga sedih karena tidak bisa ikut ke tempat ibunya kerja atau membanggakan karya ibunya pada orang orang. Ia ingin sekali mengatakan ke orang orang penyanyi bertalenta itu adalah ibunya. Seperti anak anak lain yang memamerkan kehebatan orang tuanya.

#

.

.

Suara motor menyapa penghuni rumah bergaya minimalis. Pemuda berseragam SMA memarkirkan motornya lalu memasuki rumah yang didominasi warna putih dan coklat itu. Setelah mencuci tangannya ia salim pada ibunya lalu ke dapur. Pemuda tampan itu membawa 2 mangkok dari lemari makan lalu memindahkan bakso dari plastik ke mangkok.

Kevin melangkahkan kakinya ke kamar adiknya. Bibirnya tersenyum tipis melihat adiknya bermain robot robotan. "Rendi, mau bakso gak?" tawar Kevin. Bocah lelaki berambut mangkok berbinar. Ia menggeletakkan mainannya begitu saja. Kaki kecilnya berlari ke kakaknya. Ia mendongakkan kepalanya, menatap laki laki yang lebih tinggi darinya. "Mauuu~" jawabnya.

Rendi menggoyangkan tangan kakaknya. Kevin kekeh pelan melihat tingkah lucu adiknya. Kevin bernjongkok. "Ayo ke dapur. Kakak beli bakso untuk Kevin," katanya lalu menggandeng adiknya ke dapur. Rendi melompat kegirangan melihat bakso di meja. Ia suka makanan berkuah itu. Rendi berjinjit untuk naik ke kursi. Kevin sebagai kakak yang baik membantu Rendi duduk setelah itu duduk di depannya.

"Tadi kakak lihat ada tukang bakso rame banget. Kakak penasaran terus ingat Rendi suka bakso. Bakso ini juga beda dari bakso pada umumnya," cerita Kevin yang diangguki Rendi. Kevin memotong bakso untuk memudahkan Rendi lalu mulai makan bakso miliknya. Pemuda tampan itu terdiam. Matanya melebar kala daging bakso menyapa indra pengecapnya. Rasa yang belum pernah ia rasakan. Lezat saja tak cukup untuk menggambarkan betapa enaknya bakso ini.

Bukan hanya Kevin yang suka rasanya, Rendi juga suka. Ia makan dengan lahap sebelum tragedi itu datang. Tiba tiba saja pernapasannya terganggu. Paru parunya seperti dijepit sehingga berhenti bekerja. Anak kecil itu terbatuk berkali kali. Ia meremas dadanya yang sakit. Kepalanya seperti berputar. Pusing dan sakit bercampur jadi satu.

"Rendi!" teriak Kevin panik. Ia memberikan minum pada Rendi yang langsung diminum sampai habis. Tapi sesak pada dadanya tak kunjung hilang justru bertambah. Kevin heran. Apakah makanan ini beracun? Tapi ia baik baik saja. Dengan panik ia lari ke kamar ibunya. Tangannya menggedor pintu kayu itu tak sabaran. Jantungnya berpacu dengan cepat. Otaknya beku bingung pada apa yang terjadi.

"Ada apa sih?" tanya ibunya kesal. Wanita paruh baya itu mengeringkan rambutnya yang masih basah. Ia memakai piyama. Wanita itu menatap Kevin jengah saat pemuda rambut hitam itu hanya diam. "Ada apa Kevin?" tanya ibunya lagi.

Kevin mengeluarkan seluruh keberaniannya. Ia menghela napas berat sebelum mengatakan, "Rendi sesak napas setelah makan bakso udang yang ku beli". Netra ibunya mendadak membulat seperti hampir keluar. Raut wajahnya yang tadi tenang berubah panik campur takut. "Udang katamu? Kau mau membunuh adikmu? Dasar bodoh!" hardik ibunya lalu lari ke dapur secepat mungkin. Ia menangis melihat anaknya yang masih kecil lemas. Bibirnya putih seperti tak ada darah yang mengalir. Ia dengan cepat membawa anaknya ke mobil.

"Kenapa diam saja? Cepat ikut. Kamu kemudikan mobil ke Rumah sakit terdekat!" perintah ibunya. Kevin yang tadi mematung langsung lari. Ia mengunci pintu rumahnya lalu masuk ke mobil. Ia melirik adik dan ibunya yang duduk di kursi belakang. Keringat sebesar biji jagung mengalir dari pelipisnya. Tangannya keringat dingin. Ia melajukan mobilnya secepat dan seaman yang ia bisa.

"Bertahan Rendi. Kamu kuat," bisik ibunya lirih.

Ia mengelus surai hitam anaknya dengan lembut. Matanya basah karena air mata. Dadanya sesak melihat anak yang ia sayangi kesakitan. Manik gelapnya menatap Kevin tajam.

"Kau bodoh! Kamu gak tahu adikmu alergi udang?!" maki wanita rambut sebahu itu. Ia melampiaskan amarah pada anak pertamanya. "Gak tahu Mah. Mamah gak pernah memberitahuku," jawab Kevin.

"Cih. Gak tahu? Seharusnya kamu tanya mamah," cerca ibunya sambil berdecih. Kevin diam. Ia meremas kemudi mobil.

Sesampainya di rumah sakit Kevin dan ibunya membawa Rendi ke UGD. Untungnya dokter dan para suster bergerak cepat. Mereka langsung memberikan pertolongan. Sementara Kevin dan ibunya menunggu di luar. Ibunya mengatupkan kedua tangannya dan menyandarkannya pada dahinya. Matanya terpejam. Bibirnya tak henti mengucap doa.

Begitupula dengan Kevin yang berdoa sambil menatap cemas kamar UGD. Ia merutuki kecerobohannya. Seharusnya ia tidak memberikan bakso itu pada Kevin. Seharusnya ia tak membelinya. Seharusnya dan seharusnya. Penyesalan terjadi belakangan. Remaja laki laki itu merasa semua ini salahnya. Gara gara dia adiknya sakit. Kalo bisa, ia tak masalah dirinya sakit mengantikan Rendi. Ia menyayangi adiknya. Jika Rendi semakin memburuk, ia tak akan memaafkan dirinya sendiri.