"PLAK!" tangan wanita dewasa berambut coklat menampar pria jangkung di depannya. Napasnya naik turun setelah melampiaskan emosinya. Matanya berair, pelupuk mata wanita itu tak lagi kuat menahan air mata yang menggenang. Sekar menangis, hatinya bak teriris pisau.
Suasana mencekam terasa di ruangan luas itu. Udara mendadak dingin. Bukan, udara dingin tidak berasal dari AC maupun udara di luar. Hawa dingin ini berasal dari ketegangan dalam keluarga kecil Adikara. Mereka bertiga terdiam setelah Sekar menampar Adikara.
Namun entah berapa lama kesunyian ini bertahan. Sebab pria dewasa itu terlihat semakin marah. Dapat dilihat dari rahangnya yang mengeras dan tangannya yang terkepal. Ditambah mata bulatnya melotot ke arah Sekar.
"Kau berani menamparku?! Aku ini suamimu! Kepala rumah tangga! Kalian berdua tidak ada yang menghormatiku!" teriak Adikara. Emosinya semakin tersulut karena perlawanan Sekar. Suara gebrakan meja terdengar keras. Tangannya yang masih memegang gesper, memecut tangan Sekar.
"Ya! Teruslah pukul aku! Yang bisa kau lakukan memang hanya memukul wanita!" hardik Sekar sambil menahan perih. Terlihat tangannya memerah karena pecutan Adikara.
Pria putih itu sudah dikuasai emosi. Berkali kali ia memukul istrinya sampai si istri jatuh tersungkur. Sementara si istri menangis tersedu sedu. Anaknya, Nia, menjerit dan memohon agar ayahnya berhenti memukul ibu. Tapi Adikara tak peduli. Makian demi makian keluar dari bibir tebal Adikara.
"Dasar pelacur! Kau senang kan bersama penyanyi penyanyi muda? Bersama rekan kerjamu yang tampan semua?!" maki Adikara tanpa berhenti memukul punggung Sekar. Wanita kuning langsat itu menggigit bibirnya kuat menahan perih. Ia tak berdaya melawan suaminya. Hanya menangis yang bisa dilakukan.
"Aku tidak pernah menggoda mereka. Aku tidak punya hubungan apapun dengan mereka." Dengan sisa kekuatannya, ia mencoba membela diri. Tubuhnya bergetar kesakitan. Lebam memenuhi kulit kuning langsatnya, membuat kulitnya tak mulus lagi. Tenaganya bak tersedot, tubuhnya lemas tak bertenaga.
"Bohong! Aku tidak percaya!" murka Adikara. Tangannya melepas gesper lalu mencengkaram pipi istrinya. Ia memukul pipi istrinya hingga bibirnya berdarah. "Ayah! Berhenti!" pekik Nia yang kasihan ibunya ditampar. Ia beringsut memeluk ibunya. Tangisnya pecah. Gadis 17 tahun itu tak paham jalan pikiran ayahnya. Apakah ia sudah kehilangan akal? Atau hati nuraninya sudah mati?
"Cukup ayah! Cukup!" raung Nia ketika ayahnya tetap memukuli ibunya. Adikara berhenti dan menatap tajam dua wanita dibawahnya. Matanya semakin merah karena alkohol dan emosi. Ia memijat pelipisnya yang pusing lalu memukul tembok hingga terdengar suara pukulan yang keras. Nia semakin takut.
Ia mengambil kesempatan kabur dari ayahnya. Gadis berambut hitam sepinggang itu membopong ibunya ke kamarnya lalu mengunci pintu dan mengganjalnya dengan meja. Nia memeluk tubuh ibunya yang penuh lebam. Sakit melihat ibunya dipukuli. Dua perempuan di kamar pink saling memberi kekuatan lewat pelukan. Dan dengan ajaib, sakit yang dirasa berkurang.
Wanita itu mengobati luka Nia. Ia mengambil kota P3K di ruang keluarga saat memastikan Adikara sudah tidur. Dengan hati hati ia mengobati luka anaknya. Lebam dan memar terlihat jelas karena kulit Nia yang putih. Tanpa sadar air mata menetes. Nia yang melihat ibunya menangis merengkuh ibunya ke dalam pelukan.
"Ibu tak ada hubungan apapun dengan penyanyi itu kan?" tanya Nia. Sekar menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Ibu setia pada ayahmu. Meski sikapnya selalu kasar saat cemburu dan marah," lirih Sekar yang mengeratkan pelukannya.
Dua perempuan itu kembali berpelukan sampai tertidur. Wajah mereka terlihat tenang. Berbeda dari ekspresi mereka beberapa jam lalu. Ketenangan seperti ini yang didambakan mereka. Tenang tanpa harus ribut, teriak, menangis. Tenang seperti keluarga lain yang harmonis.
#
.
.
Surya mulai menyebarkan rasa hangat, beriringan dengan angin yang bertiup dari ventilasi. Secercah cahaya menelusup masuk melalui tirai dan sinarnya mengenai netra gadis seputih salju. Manik coklatnya terbuka. Ia mengerjap beberapa kali membiasakan netranya dengan cahaya yang menerpa.
Arloji menunjukkan pukul 06.30. Sebentar lagi gerbang sekolah ditutup. Nia cepat cepat mandi dan memakai seragam. Tak lupa memakai lipgloss agar bibirnya tak pucat. Ia membangunkan ibunya dan berpamitan ke sekolah. Nia memanggil Pak Rama untuk mengantarnya. Tapi kakinya terhenti saat sudah di depan garasi. "Aku kan di skors 2 hari," kata Nia menepuk jidatnya.
Gadis yang rambutnya dibiarkan menjuntai terdiam sesaat, berpikir apa yang harus dilakukan. Ia lalu mengatakan berangkat ke sekolah naik bus pada Pak Rama lalu jalan ke halte. Sejujurnya Nia jarang naik bus. Ia lebih sering diantar Pak Rama dengan mobil atau naik taksi.
Nia duduk di kursi halte menunggu bus. Ada satu tempat yang ingin dia kunjungi. Gadis pucat itu menyipitkan matanya karena cahaya mentari yang menyilaukan. Kedua bibirnya terangkat membentuk senyum saat bus tiba. Kaki jenjangnya memasuki bus lalu duduk di kursi kosong.
Bus cukup ramai mengingat ini masih pagi dan banyak pelajar maupun karyawan yang naik bus. Ia duduk di kursi favoritnya, samping jendela lalu menyandarkan kepalanya ke jendela. Manik coklatnya mengedar ke seisi bus. Beberapa pelajar naik bus. Ada yang mendengarkan lagu lewat earphone di telinganya, ada pelajar yang membaca buku. Ada pula pria yang sepertinya seorang karyawan berkali kali melirik jam tangannya. Lalu ada nenek tua duduk tenang di kursinya. Dan ada anak kecil yang merengek minta dibelikan mainan ke ibunya. Nia sendiri hanya melihat pemandangan dari jendela bus.
#
.
.
Lampu merah menyala pertanda bus harus berhenti. Disamping bus ada seorang laki laki yang menaiki motor sport. Netra lelaki itu memperhatikan seorang gadis yang terasa tidak asing. Gadis itu duduk di dekat jendela. Manik hitam sipitnya menyipit memastikan sosok yang ia perhatikan. Dan ternyata gadis itu memang gadis yang dia kenal.
Lampu hijau menyala. Lelaki itu mengikuti bus yang dinaiki gadis yang dikenalnya. Ia terus mengikuti sampai gadis itu turun di halte dekat pertokoan. Dengan cepat lelaki itu melajukan motornya mendekat, tak mau kehilangan jejak.
"Nia, apa yang kau lakukan disini?" panggil Kevin ketika Nia sampai di halte tujuannya. Gadis berponi itu terperanjat. Ia heran kenapa ada Kevin? Ini kan bukan jalan menuju sekolah. Pemuda sipit itu menatap heran Nia sedangkan Nia memasang wajah datar sambil merutuki nasibnya pagi ini.
Dua insan itu saling bertatapan cukup lama. Gadis yang menggerai rambutnya dan memakai seragam dengan rok selutut nampak gugup. Ia kira pagi ini akan mendapatkan keberuntungan tapi sepertinya hanya kesialan yang terjadi di hidupnya. Ia bertemu pemuda yang paling tak ingin ia temui. Tak bisakah ia tenang sehari saja? Jika tak bisa mendapat ketenangan di rumah, setidaknya biarkan ia tenang di luar. Biarkan ia memiliki waktu untuk menyendiri. Waktu untuk merenungkan segalanya dan mendapat energi baru. Ia sungguh tak ingin bertemu pemuda ini hari ini.