Chereads / MILIK ORANG / Chapter 4 - Chapter 4

Chapter 4 - Chapter 4

4

Tiga hari sudah cukup dirasakan Nayna untuk istirahat. Ia kembali beraktifitas seperti biasanya. Memang Nayna jarang belanja sendiri, ia mempercayakan belanja bumbu masakannya pada uni Ina. Selesai mengajar, uni Ina biasanya akan singgah ke pasar. Membeli semua bumbu dan bahan yang diperlukan Nayna.

"Kamu itu ya Nay dibilangin." bu Wati menggelengkan kepalanya melihat Nayna sudah barada di dapur bersama uni Ina. Bahkan adzan subuh belum berkumandang Nayna sudah sibuk dengan peralatan tempurnya.

"Ibu sudah bangun?"

"Gimana nggak bangun, suara blender keras begitu."

Nayna tersenyum, "Maaf Bu."

"Biasanya juga habis subuh giling bumbunya, ini kenapa diburu?"

"Aku pukul enam sudah harus di sekolah Bu, makanya datang cepat. Kasihan Nayna nanti." Uni Ina yang menjawab.

Bu Wati mengangguk, kemudian beliau masuk ke kamar mandi yang juga berada di dapur untuk mengambil wudhu bersiap sholat subuh.

"Uni lagi halangan Nay, sana gih kamu siap-siap subuhan."

"Sama Uni," jawab Nayna nyengir, ia memang tidak menceritakan perihal penyebab ia masuk rumah sakit pada uni Ina.

Keduanya melanjutkan acara memasak, hingga ufuk sudah menampakkan cahaya putih uni Ina pamit. Nayna bergegas mandi sebelum melanjutkan kegiatannya.

"Sarapannya mau pakai apa, Bu?." Tanya Nayna ketika ia sudah di meja makan bersama bu Wati.

Bu Wati yang sedang memangku Ica menoleh. "Ikan kembung aja Nay, beningannya jangan banyak."

Nay menyendok sesuai keinginan bu Wati. Setelah itu ia mengambil untuk dirinya sendiri dan makan bersama. Nay melihat bagaimana bu Wati memperlakukan Ica, mulai dari menyuapi putrinya sampai membersihkan mulut Ica yang belepotan.

"Nggak usah dikasih Sun atau apalah itu Nay, lihat pakai beningan aja Ica lahap."

"Iya Bu."

Dari dulu Nayna sudah memberi makanan pendamping untuk anaknya, Itu karena ia harus berpisah sesaat dengan anaknya itu. Saat usia Ica satu tahun baru Nay menjemput putrinya ke Jogja, rumah orang tuanya.

Awal mulanya ke Jambi, Nayna menerima ajakan temannya, Sofia. Yang sudah lama menetap di Jogja karena menyelesaikan pendidikannya. Setelah lulus, wanita yang tiga tahun lebih tua dari Nayna itu mengajak Nayna untuk bekerja di tokonya.

Namun, baru beberapa bulan Nayna bekerja di toko tersebut Sofia mengatakan ingin menikah dan ikut suami yang dijodohkan orang tuanya ke Bali. Karena suaminya bertugas sebagai anggota kepolisian.

Akhirnya Nayna meminta bantuan Sofia agar wanita itu mau mencarikan orang tinggal untuknya. Nayna tidak mau tinggal di toko Sofia lagi karena sahabatnya itu akan pergi.

"Di pedalaman pun nggak apa-apa Mbak. Asalkan aku bisa buka usaha kecil-kecilan," kata Nayna waktu itu.

Sofia menyewa sebuah rumah kecil, namun layak huni untuk Nayna. Bagaimanapun dia lah yang mengajak Nayna ke Jambi.

Sofia sendiri sudah menyuruh Nayna pulang saja, karena ia tidak ingin terjadi apapun pada wanita itu. Karena Nayna ingin melupakan dan menentramkan kembali rasa sesak di hatinya, dia menolak mentah-mentah usulan Sofia.

Kembali ke Jogja sama saja menyibak luka. Karena di sanalah asal mula prahara itu terjadi. Dan wanita itu tidak ingin larut dalam luka itu.

"Kamu melamun Nay?"

Nayna tetsentak ketika bahunya di pukul pelan oleh bu Wati. Senyumnya merekah menampilkan kalau hatinya sedang baik-baik saja.

"Ibu mau pulang?." tanya Nayna ketika melihat bu Wati sudah menggendong Ica. Tas perlengkapan Ica yang sudah disiapkan Nayna sudah berada di tangan kanan bu Wati.

"Iya, Arkan sudah sampai dari tadi."

Nayna meringis,. sedalam itukah ia larut pada masa lalunya tadi ?.

Nayna mengantar bu Wati ke teras depan, di mana warungnya berada. Di sana ia melihat anak bu Wati sedang sibuk dengan ponselnya dan bersandar di pintu mobil.

"Habis ini langsung kerja? , Sudah sarapan?."

Kebiasaan bu Wati memang tidak bisa diubah. Dia hanya punya Arkan dalam hidupnya,, jadi mengurus Arkan masuk dalam daftar kegiatannya sehari-hari.

"Nanti di kantin saja."

Bu Wati berdecak. ia kembali ke tempat di mana Nayna berdiri dan menyuruh wanita itu membungkus nasi untuk Arkan.

Tentu Arkan kesal, bagaimana bisa ibunya memaksanya seperti itu.

"Saya makan di sini saja, tidak usah di bungkus."

Nayna mengangguk. Kemudian ia masuk menyiapkan sarapan untuk putra bu Wati. Tidak lama ia kembali dengan sepiring nasi, telur dadar dan sambel.

Bu Wati memperhatikan keduanya, tanpa di sadari Arkan dan Nayna tentunya.

Telur dadar?

Memang sederhana, tapi ...

"Bu, aku nanti pulangnya agak malam. Ada klien yang harus ku temui sebelum sidang lusa."

"Iya. Makan kamu itu dijaga. jangan terlalu sibuk, ujung-ujungnya ibu juga yang repot." Omel bu Wati seperti biasa.

Anaknya sedang memegang kasus perceraian seorang anggota dewan. Tentu Arkan akan mengerahkan segala tenaga dan pikirannya. Karena ia terkenal dengan tanggung jawab dalam mensukseskan setiap perkara yang ditanganinya. Tidak akan dibiarkan lawan menang. Segala cara ditempuh asal sesuai dengan perundang-undangan.

"Sebentar lagi kok repotnya, bulan depan juga udah ada Laras," canda Arkan tanpa ekpresi sama sekali.

Asal Arkan membahas Laras---calon menantunya, bu Wati pasti tidak akan menanggapi lebih. Hanya menjawab sekilas saja.

Belum menikah saja sudah membuat aturan sendiri. Pertama, wanita itu ingin lamaran resmi di rumahnya, tapi acara tukar cincin di rumah bu Wati. Kedua, setelah menikah Laras tidak mau tinggal dengan bu Wati. Dan yang ketiga, Arkan akan selalu mengikuti permintaan wanita itu dengan dalih sayang dan cinta.

Jadi, bu Wati bisa apa ???

"Nay, nanti sore ibu yang anterin Ica. Kamu tunggu aja di rumah."

Nayna mengangguk, dia tidak akan membantah. Kecuali memang harus dilakukannya.

***