Siang itu, tepatnya hari jumat. Ketika para lelaki pulang dari mesjid. Nayna berangkat ke pasar membawa serta putrinya menggunakan becak mesin.
Tabungannya sudah ada 800.000 dan ia pikir cukup untuk membeli sebuah mixer dan pemanggang. Dari toko ke toko ia mampir mencari peralatan tersebut. Setelah mendapatkannya Nayna mampir ke sebuah warung bakso yang berada tidak jauh dari pangkalan becak.
Mie ayam, itu yang dicari Nayna. Nayna meminta penjualnya untuk membungkus pesanannya lantas ibu muda tersebut memanggil tukang becak.
Namun baru saja Nayna menyerahkan dua kantong plastik yang lumayan berat tersebut apalagi menggendong putrinya, sebuah panggilan membuat wanita cantik itu menoleh ke belakang.
"Benar kamu, yuk bareng aku."
Nayna tersenyum ramah, ia menolak ajakan tunangan putra bu Wati dengan sopan karena tidak ingin merepotkan, juga tidak enak dengan pemilik becak.
Laras menarik lengan Nayna dan membuka pintu belakang. Wanita itu juga menyuruh tukang becak membawa barang belanjaan Nayna ke mobil setelah itu memberikan selembar uang seratusan.
"Kuat Nay kamu bawa barang-barang itu?." tanya Karas begitu ia sudah masuk ke mobil.
Nayna hanya tersenyum tidak enak, merasa mengganggu suasana Laras dan Arkan.
"Itu, anakmu anteng banget ya Nay?"
Nayna mengangguk, putrinya tidak pernah membebani. Justru kehadirannya adalah anugerah terindah yang dititipkan Tuhan padanya.
"Anak kita nanti bakalan seperti itu nggak, sayang?"
Arkan mengusap sayang kepala Laras dengan kepala mengangguk dan senyum manis. Khayalannya juga sama dengan Laras, apakah mereka akan punya anak semanis Ica, nantinya.
Ketika mobil Arkan berhenti di depan rumah Nayna, pria tersebut keluar untuk membantu menurunkan barang belanjaan Nayna.
"Kamu beli ini semua?"
Nayna mengangguk tanpa melihat wajah Arkan. "Letakkan di situ saja, nanti aku yang bawa masuk."
Tidak ada jawaban. karena plastik berisikan kotak mixer dan open sudah diletakkan Arkan di teras warung Nayna.
"Kami pamit ya Nay." Laras melambaikan tangan dari dalam mobil ketika Arkan sudah duduk di belakang kemudi. Anggukan Nayna menutup pertemuan kebetulan ketiganya sore ini.
Uji coba kue pertama gagal karena Ica yang datang ke dapur tiba-tiba saat Nayna sedang mengambil mentega untuk olesan di loyang. Wadah berisi adonan kue jatuh dan berserakan di lantai karena Ica menyenggolnya dengan sapu. Padahal ketika ditinggal tadi, anaknya itu sedang bermain lego.
Karena semangat seorang ibu yang sudah diwarisi Nayna semenjak mengandung Ica juga sejal ditinggal sang suami, Nayna kembali membuat adonan baru. Tentu setelah menidurkan anaknya.
Setelah adzan maghrib, fla cake buatan Nayna sudah jadi. Wanita itu puas melihat hasil karyanya. Rasanya tak kalah nikmat dengan buatan chef ternama. Ketika ia sedang menonton sambil menikmati kue, terdengar salam dari luar.
"Mas Arkan?." wajah kaget Nayna kentara melihat pria di depannya. Lebam di wajah, sudut bibit berdarah dan pakaian yang tidak layak untuk dipakai lagi.
"Jangan tanyakan apapun, biarkan saya masuk."
Nayna menggeser tubuhnya ke samping, memberi ruang untuk Arkan.
"Ica sudah tidur?"
Nayna mengangguk, matanya tidak lepas memperhatikan pria yang datang dengan keadaan yang mengagetkannya.
"Tutup pintu Nay, apa kamu mau warga memergoki kita?"
Masih di bawah sadar, karena keterkejutannya, Nayna menuruti perintah Arkan.
Pria itu sudah berbaring di sofa, dengan tangan menutup wajah. Lidah Nayna terasa kelu hanya untuk bertanya.
"Maaf mengganggu lagi, saya tidak mungkin pulang dalam keadaan seperti ini, kan Nay?"
Tidak ada jawaban dari ibu satu anak tersebut. Posisinya masih sama seperti semula.
"Kalau kamu mau tidurlah, saya akan tidur di sini."
Seolah baru bangun dari tidurnya, Nayna pergi ke dapur. Dia tidak punya kotak P3K seperti kebanyakan orang. Hanya Betadine dan kapas pembersih wajah yang ada di rumahnya.
Satu baskom kecil air hangat dan handuk kecil milik Nayna ia bawa ke depan. "Pindahkan tangan, biar aku bersihin darahnya."
Arkan menurut walau mata terpejam. Netra Nayna menangkap ada butir basah di sudut mata anak bu Wati tersebut. Ada apa dengan pria ini, batinnya.
Tidak ambil pusing, wanita itu mulai membersihkan darah yang mulai mengering di pelipis dan sudut bibir pria itu. Luka lebam tidak luput dari sapuan lembut handuk yang sudah dibasahi air hangat.
Sesekali, Arkan meringis menahan sakit ketika tangan Nayna menekan lembut wajahnya. Terakhir, dengan bantuan kapas pembersih wajahnya yang ia beli dengan harga 7.000 mengolesi Betadine di luka lebam.
Nayna tahu pria itu belum tidur tapi ia tidak mau ikut campur masalah orang lain. Dan memilih masuk ke kamar mengambil selimut dan bantal kemudian mekatakkan di sofa single tanpa memberitahu Arkan.
Setelah itu, ia tidak melanjutkan acara menontonnya. Lebih baik sholat Isya dan bergegas tidur. Seharusnya, Nayna tidak keluar lagi setelah masuk ke kamar. Tapi kandung kemihnya memaksa. Dan berakhirlah ia di ruang tamu mendengarkan curahan isi hati pria yang tengah patah hati tersebut.
"Apa saya harus mundur Nay, setelah semua ini?." Arkan menatap datar dinding kontrakan Nayna yang banyak coretan semu tak beratur.
"Apa Laras akan baik-baik saja? Bagaimana kalau Laras bunuh diri?"
Nayna menghela nafas berat. ia sedang tidak ingin menampung kisah hidup orang. Cukup memorinya menyimpan kisahnya dan Ica, tidak ada yang lain.
"Nggaklah, memangnya pikiran mba Laras sedangkal itu?"
Arkan mengangguk lantas ia menggeleng. "Tapi kalau dia kepikiran, bisa saja kan Nay?."
"Bisa." jengah, namun Nay tetap menjawab. Apa diusir saja anak bu Wati itu?
Arkan menatap tajam netra coklat milik Nayna, mata yang sangat mirip dengan Ica, ketika mendengar jawaban wanita tersebut.
"Kenapa kamu berpikiran seperti itu?."
"Aku hanya menjawab."
Arkan mengusap wajah frustrasi, bukannya mendapat solusi. Ibu satu anak tersebut malah mengacaukan pikirannya.
"Seandainya kakaknya belum pulang, pasti kejadian ini tidak akan terulang." Gumaman Arkan menimbulkan satu kekesalan yang memuncak sedari tadi. Sepertinya, Nayna harus segera pergi dari hadapan pria tersebut. Kalau tidak ingin Arkan menjadikan dirinya tumbal patah hati.
***