Pringsewu, salah satu kabupaten yang terletak di provinsi Lampung. Tempat diadakan acara aqiqah kerabat keluarga bu Wati. Setelah Adzan dzuhur, Nayna baru tiba di sana. Mereka digiring ke salah satu rumah kerabat tidak jauh dari rumah pemilik acara.
Rumah minimalis dengan ukuran teras kecil Namum padat dengan segala macam anggrek dan kaktus. Sepertinya Nayna harus menjaga ektra putri kecilnya jika tidak ingin duri cantik- cantik itu dijamah tangan mungil milik Ica.
Istirahat sebentar pilihan Nayna setelah membersihkan diri dan putrinya. Tubuhnya terasa pegal dan mata nyaris mengantuk. Samar, dari kamar ia mendengar suara Arkan.
Dan, sedikit ribut?
Harusnya, Arkan keluar dari kamar bukan berteriak seperti itu. Iya, Arkan sedang bertengkar. Nayna tidak ingin tahu dengan siapa dan ada apa. Yang diinginkannya sekarang tidur. Sehingga ia mengganjal telinganya dengan bantal.
"Ada apa?" bu Wati masuk ke kamar putranya yang berada di belakang, di samping kamar Nayna.
"Kalian bertengkar?" tanya bu Wati lagi, jarang melihat anaknya seperti itu. Selama ini ia mengenal putranya datar, minim ekspresi, namun tidak pernah melihatnya marah-marah.
"Tidak ada, Bu."
Bu Wati tahu, mungkin Arkan tidak ingin membicarakan dengannya. Oleh sebab itu, bu Wati masuk kembali ke kamarnya setelah berpesan jangan berbicara kasar. Apalagi, ini rumah orang.
Sore hari, Nayna dan bu Wati berada di rumah acara, mereka tidak melakukan apa-apa. Hanya berbincang dengan sanak saudara. Nayna merasa punya keluarga baru karena kerabat bu Wati ramah dan baik, padahal Nayna baru saja mengenal mereka.
Sedangkan Arkan tidak kelihatan, mungkin masih di rumah tempat mereka akan menginap nanti malam. Nayna juga tidak bertanya apapun dan tidak ingin tahu, tentunya.
Hingga malam menyapa, Nayna pamit pada bu Wati akan pulang ke rumah kerabat yang berjarak tiga rumah. Bukan tanpa alasan, sudah jam 21.40 dan Ica mulai merengek karena ngantuk.
Benar saja, setelah menghabiskan satu gelas susu putri kecilnya terlelap.
Rumah yang ditempati sementara oleh Nayna dan bu Wati tidak ada penghuni karena mereka masih di Semarang. Sesekali keponakan bu Wati yang membersihkan serta merawat rumah dan tanaman hias. Dan pemilik rumah ini masih kerabat bu Wati.
Nayna masih duduk di meja makan sekembalinya dari kamar kecil yang berada di dapur melihat sekeliling rumah ini. Tidak terlalu besar. Ia jadi punya keinginan, suatu hari nanti bisa memiliki rumah seperti ini untuk Ica, putrinya.
Setelah puas melihat-lihat, wanita itu kembali ke kamar dan heran melihat lampu kamar padam. Perasaannya tidak enak, wanita itu tidak pernah tidur dalam gelap.
Ketika pintu kamar terbuka lebar, tangannya meraba saklar di dinding. Matanya membola melihat siapa yang tidur di samping putrinya.
"Ngapain di sini?"
Yang ditanya hanya menoleh tanpa menjawab.
"Aku mau tidur, Mas enggak mau keluar?."
Nayna berdecak kesal, karena lelaki itu tidak keluar dari kamarnya.
"Aku---."
"Laras minta putus."
Nayna memutar bola mata. Bukan urusannya juga.
"Nay--."
"Itu urusan, Mas. Sekarang keluar!"
Arkan mengusap wajahnya. Iya, Ini urusannya. Tapi tidak bisakah wanita itu sedikit berempati?.
"Selesaikan di kamar sendiri!." maksud Nayna mengulang kalimat tersebut agar Arkan segera keluar, tapi laki-laki itu masih duduk di ranjangnya.
"Aku harus gimana, Nay?."
"Aku nggak tau dan nggak mau tau!!"
"Kamu tau Nay, sepenting apa Laras untukku?." pandangan Arkan menerawang, mengisi sosok Laras dalam benang yang sudah terajut.
"Dia jiwa yang sudah menopang hidupku, memahami setiap detail hati dan pikiranku." kalimat Arkan menimbulkan reaksi setipis ari dari Nayna.
"Segitu cintanya?" cibir Nayna tanpa memikirkan perasaan Arkan.
"Iya, tidak ada yang bisa menggantikannya."
Mata Nayna menatap lekat Arkan. Benar ia melihat cinta yang menggebu dalam diri Arkan.
Untuk Laras!
"Sekarang, apa yang akan Mas lakukan?."
Arkan menggeleng, tidak tau. Ia bingung. Seandainya tidak ada mas Lio dia akan melakukan apapun.
"Aku tidak bisa melangkah. Mas Lio ada di diantara kami."
Nayna mengerti maksud Arkan, tapi ia tidak punya hak di situ. Bahkan hanya untuk sekedar argumen. Ini masalah Arkan, biarlah lelaki itu menyelesaikan masalahnya.
"Nay." Nayna bergerak mundur ketika melihat Arkan mendekat ke arahnya.
"Jangan mendekat!." teriak Nayna. Wanita itu menyesal memilih berdiri dekat jendela seberang ranjang, yang artinya jauh untuknya menjangkau pintu. Kecuali ia melompat ke atas ranjang melewati putrinya yang sedang tidur.
Sibuk memikirkan ancang-ancang, tangan wanita itu sudah berada dalam genggaman tangan Arkan. Kabut frustrasi yang menggelisahkan nyata tersirat dari netra Arkan.
"Kamu mau apa?." Kali ini Nayna tidak lagi mengingat sopan santun terkait siapa yang berdiri di depannya.
"Aku bingung Nay. Apa aku harus melepaskannya Atau aku harus...."
"Tentu saja kembali pada Mba Laras!"
Arkan menggeleng, "Dan membiarkan mas Lio."
"Tidak apa-apa."
Rahang Arkan mengerat mendengar jawaban Nayna, tidak apa-apa? Setelah apa yang dilakukan mas Lio?.
"Keluarlah sebelum bu Wati pulang." Ujar Nayna lembut tanpa melihat wajah Arkan, tangannya yang bebas berusaha melepaskan genggaman tangan kanannya yang masih menyatu dengan Arkan.
"Aku masih ingin di sini, kamu keberatan?."
"Bukan masalah keberatan, Mas lebih tau."
Usapan ibu jari Arkan pada bibir ibu muda tersebut, membuat darahnya berdesir yang semampu mungkin diredam dengan ego.
"Nay, aku ingin melakukannya."
"Apa aku bisa menolak?"