Arkan dan Lio janji bertemu di cafe yang terletak tidak begitu jauh dari pusat kota. Arkan mengerti kenapa Lio memilih tempat yang lumayan strategis. Jauh dari keramaian karena Arkan pernah beberapa kali mengadakan pertemuan dengan kliennya di Cafe tersebut.
Ia terlambat sepuluh menit, bukan disengaja karena ia harus menghadapi Laras yang terus menerus mendesaknya agar tidak menyetujui ajakan Lio.
"Maaf, aku telat."
Lio yang tampak santai dengan kaos putih yang membingkai badan atletisnya tidak menanggapi. Ia menunggu laki-laki yang akan menjadi adik iparnya itu duduk sebelum mulai berbicara.
"So," ucap Arkan begitu tubuhnya sudah nyaman pada bangku yang terbuat dari rotan tersebut. Ia langsung ke pembicaraan karena tahu tidak ada niatan dari seorang Marlio untuk menawarinya minum.
"Sudah menentukan tanggal pernikahan?."
See?
Arkan tidak perlu repot-repot mukaddimah. Lio bukan orang yang suka basa-basi.
"Segera, aku harus ketemu Laras dan orang tua kalian dulu." Arkan mengetuk pelan meja di persegi di hadapannya. Ia perlu bantuan sepertinya.
"Laras, apa dia sudah siap aku nikahi? Terakhir kami bertemu, kami belum menemukan kata sepakat."
"Aku bisa menangani Laras." jawaban yang sangat cepat menurut perkiraan Arkan.
"Besok datanglah ke rumah. Bawa serta keluargamu, dan yang terpenting jatuhkan talakmu pada Nayna."
Arkan tersenyum. Pasti, Dia akan melakukannya. Tujuan hidupnya hanya Laras, nama wanita itu sudah memenuhi relung hatinya.
Tidak lama lagi, ia akan bahagia. Begitu juga Nayna. Ia sudah memikirkan sejak dulu. Meski bukan nama Lio yang terpikirkan olehnya.
Tidak apa, yang penting semua akan baik-baik saja. Pertemuan keduanya berakhir dengan Arkan yang terlebih dulu mengundurkan diri karena Laras yang sedari tadi menghubunginya dan meminta bertemu.
Lio tersenyum tipis, sangat tipis hingga tidak ada seorangpun yang menyadarinya. Ia benci Arkan, tapi ia tidak bisa melakukan apapun. Karena ada Nayna di antara mereka.
Dan juga Laras, yang mencintai pria brengsek tersebut.
***
"Ica, sudah makan Bu?." Nayna menghampiri bu Wati. Meski dirinya tahu ibu mertuanya sedang marah.
"Tidak usah nanya. Percuma kalian bisa memberinya makan kalau merenggut kebahagiaanya."
Setetes air bening hangat menyentuh wajah Nayna. Ucapan bu Wati membenarkan sikapnya dan juga Arkan. Mereka memberikan semua yang diperlukan putrinya, tapi dengan sengaja menukar kebahagiaannya.
"Maafkan Nay, Bu."
Bu Wati bergeming, ia meninggalkan Nayna. Masuk ke kamarnya.
"Ada apa?"
Sentuhan di bahu Nayna membuatnya membalikkan badan. Arkan, Laki-laki itu pulang. Dan, ada binar bahagia di wajahnya. Pria itu seperti sedang jatuh cinta.
"Aku mau ngomong, Nay."
Nayna mengangguk, ia mengikuti langkah kaki Arkan. Ada gundah, gelisah, dan persaan asing yang mebyusup kala ia berhadapan dengan pria yang masih berstatus suaminya.
"Sebelumnya aku minta maaf, sudah masuk dalam hidupmu. Dan terimakasih sudah menjadi temanku selama satu tahun di Jogja." Arkan memegang tangan Nayna, mencium dalam punggung tangan wanita yang sudah melahirkan putrinya.
Dada Nayna berdesir, ia tahu tidak akan lama lagi. Ia akan bebas.
Sejenak ia mematung, tubuhnya direngkuh dalam pelukan Arkan. Nayna diam, tidak membuat pergerakan sekedar membalas pelukannya.
'"Sekarang kita sudah menemukan belahan jiwa kita masing-masing. Aku bahagia, aku juga tau kamu pun bahagia." hangatnya pelukan Arkan membuat mata wanita itu panas.
"Nayna Pandu Kusuma, aku jatuhkan talak satu untukmu."
***