"Aku akan mengantarmu." ucapan dingin Arkan menusuk rungu Nayna. Pria itu terlihat lebih pendiam seperti pertama kali mereka bertemu di Jambi.
Nayna menunggu di luar, ia menggendong putrinya. Ada rasa asing menyelinap ke relung hatinya.
Perjalanan dari rumah Arkan sampai ke rumah kontrakannya, Arkan mendiamkan dirinya. Ketika Nayna turun, Arkan tidak repot-repot ikut turun.
Dari dulu, perjuangannya memang tidak berarti di mata wanita itu. Ia tidak berhenti, namun tidak juga memaksakan kehendak.
Saat menagkhiri hubungannya dengan Laras, pria itu sudah berpikir. Yang dibutuhkannya Nayna, bukan Laras, adik pria yang dicintai mantan istrinya.
Nayna sendiri tidak berkata apapun, sekedar basa-basi menyuruh Arkan mampir.
Hingga mobil Arkan menghilang dari pandangannya. Mata Nayna terasa panas, hatinya sesak. Ia tidak mengerti sikap ayah putrinya.
"Dari mana Nay.?"
Jantung Nayna seketika berhenti berdetak. Perlahan tubuhnya berbalik, dan matanya membeliak melihat Lio berdiri di teras rumahnya yang dulu, yang ia jadikan warung kecilnya.
Mulutnya terkunci, sementara mata beradu dengan manik milik Lio, lelaki yang pernah di dambakannya.
"Nginap dengan mantan suami?." Lio mendekat, ia berdiri tepat di hadapan wanita pujaan hatinya. Tangannya terulur, mengusap tengkuk Nayna hingga pemiliknya merinding ketakutan. "Dan kamu bawa ini? Apa artinya kalian sudah tidur bersama?."
Nayna bisa merasakan Lio mengusap salah satu titik di batang lehernya. Walau lemah, karena kejadian yang bertubi-tubi, wanita itu menggeleng.
"Aku ingin percaya Nay, tapi melihat ini. Maaf, bukan aku tidak percaya padamu." Lio melepaskan tangannya.
Namun, matanya menyirat penuh luka. "Kalian punya Ica, dan selamanya akan terhubung. Bagaimana bisa kamu membohongi diri kamu Nay?"
Lagi Nayna menggeleng, tapi mulutnya masih terkunci. Terlalu berat hanya untuk mengatakan tidak ada apa-apa antara dirinya dan mantan suaminya.
"Kamu sudah mencintainya, hanya saja kamu tidak mau mengakuinya."
Setelah mengatakan itu, Lio pergi tanpa pamit. Hati Nayna terasa ditikam belati tajam, melihat bagaimana luka dan perih yang ia torehkan pada Lio.
Dengan langkah gontai, Nayna masuk ke rumah. Ia duduk di ruang tamu dengan pikiran kosong.
Semua logika dan pikiran hilang tak berjejak. Sejenak, ia berdeham mengusir kesunyian dalam hati. Ini tidak boleh terjadi, di sini ia yang paling terluka.
Menunggu dia, hingga Arkan menawarkan cinta lain. Setelah itu, ia tidak kunjung bisa menghapus nama pria tersebut hingga benih Arkan tumbuh dengan baik di rahimnya.
Bertemu lagi dengan Arkan, saat hatinya sudah memilih ayah putrinya. Namun, hampir di waktu bersamaan, Lio hadir. Memorak-porandakan perasaannya.
Sekarang, di sini. Apa dirinya masih menjadi wanita jahat?
Saat hampir maghrib, ia masuk ke kamar. Berdiri di depan cermin. Melihat pantulan dirinya, hatinya berdegup kencang melihat beberapa kissmark di batang lehernya. Seketika, wajah dingin Arkan yang memenuhi alam pikirnya.
Hampir tiap hari Nayna tidak keluar dari rumah. Wanita itu menghabiskan waktunya dengan Ica. Ia tahu, belakangan ini hidupnya tidak teratur. Apalagi sejak pesan dari Lio yang mengatakan dirinya sudah kembali keluar negeri, dan mengatakan akan membawa mati cintanya bersama Nayna.
Nayna menjadi manusia paling jahat di muka bumi. Secara tidak langsung, ia sudah membuat banyak hati terluka.
Siang itu, seperti biasa setelah menidurkan putrinya, Nayna ikut merebahkan diri.
Menyalakan televisi, seolah ia sedang menonton. Pikirannya berkelana, berpikir apa yang sanggup terekam oleh memory -nya.
Ketukan pintu menghancurkan jejak petualangan alam pikirnya. Ia bangun, saat mendengar suara salam.
"Ibu?."
Bu Wati tak kalah terkejut melihat wanita di depannya.
"Kamu sakit, Nay? Kenapa seperti ini? Matamu, tubuhmu juga terlihat kurus. Ada apa?."
Nayna tersenyum, sungguh ia ingin memeluk wanita paruh baya tersebut. Mengadu rasa sesak yang merenggut jiwanya.
Tanpa menunggu Nayna menyuruhnya masuk, bu Wati menarik lengan Nayna. Ia membawa wanita itu ke ruang tamu.
"Katakan, ada apa Nay?"
Nayna menggeleng dengan senyum dipaksakan. "Ibu, mau Nay buatkan minum?."
"Jangan mengalihkan pembicaraan Nay. Kamu kenapa?."
"Tidak apa-apa, Bu." sahut Nayna yakin, tapi terdengar ragu di rungu bu Wati.
"Sebentar," bu Wati tidak menunggu jawaban Nayna.
Ia keluar, namun tidak lama wanita itu masuk. Ia tidak sendirimelainkan bersama Arkan..
"Kamu bawa Nay ke rumah sakit, Ibu di sini jagain Ica."
"Nay tidak apa-apa, Bu." Nayna tidak melihat wajah pria yang sudah membuat hari-harinya dirundung gelisah.
Arkan berdiri di ambang pintu, melihat dengan seksama wajah Nayna.
Lingkaran hitam di bawah mata, wajah kusam dan sedikit tirus. Sedangkan tubuhnya tidak terlihat, karena wanita itu mengenakan baju kaos besar dan dalam posisi duduk.
"Tidak apa-apa, bagaimana? Kamu nggak lihat kondisimu sekarang Nay?."
"Nay cuma kurang istirahat, Bu."
Bu Wati menghela nafas lelah, ia beranjak ke dapur. Sebelumnya, sempat melihat cucunya tidur dalam ayunan depan TV.
Keterkejutannya tidak berhenti, ketika melihat tidak ada sedikitpun lauk dan nasi dalam kosmos. Ia tahu, ada yang tidak beres dengan mantan menantunya.
"Coba bawa ke rumah bidan desa, kadang kurang darah." bu Wati menghampiri Arkan dan Nayna.
Arkan tidak menjawab, ia juga tidak melihat ke arah wanita itu lagi.
"Kesampingkan ego kalian dulu. Ica butuh kamu Nay! Sudah berapa hari kamu tidak makan?."
"Nay makan, Bu," sanggah Nayna lemas. Ia lelah jiwa dan raga.
Tanpa sadar tubuhnya bersandar pada sofa yang didudukinya dengan mata terpejam.
Ujung mata bu Wati berair, batinnya bertanya-tanya. Seberat mana beban ibu cucunya tersebut.
Arkan juga tidak sanggup melihat keadaan Nayna. Namun, ia tidak berhak membawa wanita itu. Ada seseorang, yang lebih berhak atas dirinya.
"Mana hp mu?." Arkan masih berdiri, menatap wajah pucat Nayna. "Telpon calon suamimu."
Nayna tidak merespon, matanya masih terpejam walau rungunya mendengar dengan jelas.
"Nay!"
Nayna membuka matanya, ia melihat bu Wati. "Nay lapar, Bu."
Bu Wati menarik lengan Arkan keluar, dan menyuruh pria itu membelikan nasi untuk Nayna
Tidak membantah, lelaki itu menuruti permintaan ibunya.
Ketika bu Wati masuk, Nayna tidak ada di ruang tamu. Bu Wati mencari ke dapur. Dan, benar saja. Nayna sedang mencuci beras. Pergerakannya sangat lemah, bu Wati tidak tega dan mengambil wadah nasi dari tangan Nayna.
"Biar Ibu, Nay."
Nayna tersenyum dan tidak membantah. Ia duduk di salah satu bangku. Memperhatikan bu Wati yang sedang melanjutkan pekerjaannya mencuci beras.
"Kamu kenapa, Nay?." bu Wati duduk di depan Nayna, menyorot wajah pucat itu.
Nayna mengerjap lemah, hatinya menghangat melihat mata khawatir bu Wati.
"Cerita sama Ibu Nay," pinta bu Wati dengan suara serak. Sungguh, ia tidak sanggup melihat kondisi Nayna.
Tidak ada jawaban, hanya air mata yang menjawab setiap tanya dari ibu lelaki yang dicintainya.