"Jadi berangkat besok?." Arkan menepuk pelan putrinya, agar kembali terlelap.
Setelah makan, nasi bungkus yang dibelikan Arkan, Nayna hendak masuk ke kamar, namun dicegat mantan suaminya yang duduk di samping putrinya.
"Tidak."
Nayna tidak lagi menunggu, ia kembali melanjutkan langkahnya ke kamar. Tidak berharap ada tanya lagi yang keluar dari mulut pria yang sudah membuatnya patah berkali-kali.
Jawaban Nayna terdengar oleh bu Wati yang masuk dari arah dapur. "Ditunda Nay?
Mau tidak mau, Nayna berbalik. "Dibatalkan Bu."
Kedua anak dan ibu tersebut terkejut. "Maksudnya apa, Nay?"
Nayna menatap mantan ibu mertuanya, tanpa sedikitpun mengarahkan manik pada ayah putrinya. "Kami tidak jadi menikah."
Sebuah tusukan kembali menghantam tepat jantung Nayna.
Mulut bu Wati terkatup rapat, wanita paruh baya tersebut tidak menyangka Nayna melewati hal seberat ini.
"Kamu ditinggalkan, dua kali. Dua kali Nay!." Arkan menatap tajam wanita yang sudah melahirkan putrinya.
"Maaf. Nayna istirahat dulu Bu." Nayna masuk ke kamar tanpa mengindahkan pernyataan Arkan.
Namun, sikap ibu muda tersebut sudah menyulut emosi mantan suaminya. Dengan kasar Arkan membuka pintu kamar wanita itu dan menutupnya dengan bantingan keras.
Bu Wati terkejut dengan sikap putranya. Namun, ia membiarkan keduanya berbicara. Seraya, dalam dalam hati, putranya tidak berlaku kasar.
Meskipun ia tidak masuk dalam pembicaraan keduanya, bu Wati bisa mendengar Arkan berbicara dengan emosi yang berapi-api.
"Dia yang membatalkan atau keputusan kalian berdua?."
"Bukan urusan Mas. Sebaiknya Mas keluar!."
Nayna membelakangi Arkan, dengan tangan terkepal di sisi tubuhnya.
"Bukan urusanku?" sinis Arkan. "Kamu lupa, aku berani masuk dalam kehidupanmu, mengabaikan hatimu yang masih terpaut padanya. Dan, sekarang setelah kau memilihnya, dia malah pergi?."
"Sudah kukatakan, ini bukan urusan Mas!." sekali lagi Nayna ingin mengelak, akan lebih baik untuknya kalau Arkan keluar dari kamarnya.
Arkan menarik lengan wanita itu, hingga keduanya saling berhadapan. Ia menangkap mata indah itu tengah menahan tangis.
"Katakan, bagian mana yang tidak menjadi urusanku!"
Nayna bergeming, pandangannya dialihkan ke samping. Menatap pria itu sama saja membuang harga dirinya.
"Katakan Nayna!!"
Sedikit terkejut, Nayna akhirnya menatap pria tersebut. Dengan tangan kiri, ia menyibak rambutnya. Ini kan, yang diinginkan pria tersebut?
"Mas lihat ini?." tanya Nayna sedikit mendongak memamerkan bekas merah jejak Arkan di batang lehernya."Ini lumayan, ketika calon suamiku datang, bekas ini masih terlalu sempurna!"
Ludah Arkan terasa pahit, ia melihat nanar jejaknya beberapa hari yang lalu.
"Kita sama-sama mau, Nay. Aku ingat kamu menyambutku dengan baik." Entah mengapa, Arkan malah membahas kejadian tempo hari.
"Karena itu kubilang, ini bukan urusanmu!."
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Kau akan menangisi pria brengsek itu!?."
Nayna membalas tatapan tajam mantan suaminya, tidak terima sebutan tersebut harus ditujukan pada Lio.
Bagaimanapun, dalam hal ini, ia yang salah. Karena tidak jujur, sedari dulu tentang perasaanya pada Arkan.
"Sebutan itu tidak pantas diberikan pada mas Lio. Dia pria baik, menghormati setiap wanita, dia--- "
Kayu sudah terbakar, panasnya bara tidak dapat dielakkan. Mendengar Nayna begitu memuja Lio, pria masa lalu yang meninggalkan wanita itu, emosi Arkan terbakar sempurna.
Bibir wanita itu dijamah dengan kasar dan penuh tuntutan. Tubuh mereka sudah berada di ranjang. Bergelut dalam ruang emosi yang membakar bersama nafsu dan rasa.
Keduanya lupa, status tidak lagi sama. Desahan Nayna membuat Arkan tersenyum, namun hanya sekilas karena selanjutnya ia kembali terseret arus pesona mantan istrinya.
Di luar bu Wati tanpa sungkan menggedor pintu kamar. Ia yakin, penghuni di dalam sudah lupa diri. Karena, deritan ranjang dan desahan keduanya terdengar hingga keluar.
Nayna melepaskan diri, dan membuang wajah. Bagian atas kaos yang dikenakannya sudah robek dan memperlihatkan sesuatu yang menyembul dari dalam. Tentu saja, tanpa disadarinya.
"Kamu menyambutku Nay, dan kamu berani menempatkan pria itu di atas awan!?."
Nayna tidak menjawab, ia meninggalkan pria itu dengan harga diri yang sudah dihancurkan berkali-berkali. Membuka pintu kamar, dan sepasang matanya bertemu dengan mantan ibu mertuanya.
Nayna melenggang ke dapur. Ia sudah malu, dan tidak punya muka lagi di depan bu Wati.
Arkan menyusul, ia keluar dari kamar dan langkahnya terhenti ketika kalimat pedas sang ibu menusuk rungunya.
"Bicara harus gelut, le ?."
Bu Wati mencibir dalam hati, keduanya sama saja. Keluar dengan penampilan acak-acakan. Apalagi Nayna, wanita itu sama sekali tidak menyadari keadaan dirinya.
"Kamu keluar dengan pakaian seperti itu? Tidak malu sama ibu?."
Nayna yang sedang menegak air tersedak. Ia melihat pakaiannya, dan seketika wajahnya memanas.
Arkan mengambil gelas di tangan Nayna dan mengisi air untuk dirinya.
Nayna meringis dalam hati. Satu tangannya mencengkram erat bagian atas bajunya.
"Mungkin ini terlalu cepat, tapi Ibu harus melakukannya." Bu Wati tiba- tiba sudah berada di dapur.
Melihat kedua manusia tersebut dengan posisi saling jaga jarak."Ini bukan kali pertama, ibu melihat kalian seperti ini. Ada Ibu saja kalian berani melakukan perbuatan haram."
Arkan tidak menjawab, ia tahu ke mana arah bicara ibunya. Namun, memilih diam.
"Ibu akan ke Jogja, melamar dengan resmi pada orang tua Nayna," putus bu Wati.
Keterkejutan Nayna berbanding dengan wajah datar Arkan. Arkan terlihat santai.
"Tapi Bu."
"Ibu tidak mau Ica punya adik tanpa ikatan sah. Kali ini kamu harus nurut Nay!."
Tidak bisa, ia tidak mau menjadi duri dalam hubungan Arkan dan Laras. "Mas Arkan sebentar lagi akan menikah, iya kan Mas?."
Alis Arkan terangkat, ia seolah bingung dengan pertanyaan mantan istrinya.
"Hubungan Laras dan Arkan sudah berakhir, apa yang kamu takutkan?"
Nayna menggeleng, "Tidak mungkin," katanya, ia menatap tajam Arkan menuntut penjelasan. Namun ia tidak mendapatkan apapun.
"Ibu jangan mudah percaya, mas Arkan bahkan sudah punya rumah. Nay tahu alamatnya, Nay sudah menginap disana!."
Arkan mendesah dalam hati. Jadi, wanita itu mengira dirinya berbohong?
"Kalian sudah menginap? Kalian, tidak melakukan yang iya-iya kan?."
Nayna melongo, ia mengingat apa yang telah diucapkannya tadi. Seketika, wajahnya memerah.
"Kalau keluar, banyakin bedak di leher, Nay!" bu Wati berteriak, ketika melihat Nayna yang ingin keluar dari dapur.
Nayna meringis dan setengah berlari masuk ke kamar. Cermin, benda pertama yang dicarinya. Matanya membeliak melihat betapa tegas jejak Arkan di batang lehernya.
Nayna menutup matanya, frustasi. Namun, bayangan Arkan yang mencumbunya, yang hadir dalam memory -nya.
Apa ia harus menerima untuk kedua kali, lekaki yang sudah berhasil membuatnya melupakan cinta pertamanya?
***
Gemuruh suka cita menyambut acara rujuk antara Nayna dan Arkan, yang dilaksanakan di rumah orang tua Nayna.
Butuh pengorbanan, sebelum Arkan bisa meraih kembali pujaan hatinya. Ia harus mengahadapi ayah, paman dan sepupu Nayna. Bukan pukulan, tapi perjanjian di atas materai. Jika salah satu poin dilanggar, maka kerugian besar berada di pihak Arkan.
Bukan tanpa sebab keluarga Nayna, membuat perjanjian pra nikah. Setelah semua persoalan hidup putrinya terbongkar, keluarganya tidak bisa tinggal diam lagi.
"Sudah sah, Nay." Arkan menggoyangkan tubuh Nayna, ketika malam setelah akad rujuk.
"Iya Mas."
"Balik dong!"
Nayna menurut, ditatapnya wajah pria yang sudah bertahta di hatinya.
"Lihat doang?"
Nayna mengerutkan keningnya. "Terus?"
Wajah Arkan memerah, antara menahan marah dan nafsu. "Kamu benaran nggak paham, Nay? Atau perlu ku terjang langsung?."
Nayna tertawa, ia mengusap wajah Arkan dengan lembut. Seketika, wajah Arkan berbinar.
"Aku halangan, Mas!"
Raut wajah Arkan tidak tertebak. Kali ini ia benaran marah merasa dipermainkan.
"Semoga, Mas tidak pergi lagi hanya karena aku sedang halangan."
Ucapan Nayna menyentil sudut hati Arkan. Ia membawa istrinya dalam dekapan. Mengelus punggung wanitanya.
"Mas jatuh cinta, sejak pertama kali bertemu. Jangan jauh-jauh, karena Mas tidak tahu, bagaimana hati ini tanpa kamu."
Nayna membalas pelukan suaminya. Tangis haru membingkai malam pertama untuk kedua kali dalam hidup mereka.
TAMAT