"Aku bahkan ingat lebih dari itu. Ada yang berjanji akan membuatku bahagia hingga aku berhasil melupakannya. Nyatanya tidak!."
Arkan menoleh, cukup lama ia menatap wanita di sampingnya, yang ditengahi putri mereka.
Nayna tidak membalas tatapan tersebut. Kepalanya lurus ke depan. Melihat dinding kokoh penopang bangunan ini.
"Aku..." kalimat Arkan menggantung, ia berpikir sejenak. Mempertimbangkan baik atau buruk kelanjutan kalimatnya yang akan diterima Nayna.
"Mas bahkan tidak memberikanku kesempatan."
Seketika, Arkan mengurungkan niatnya. Biarlah kalimat itu terbawa angin.
Waktu itu, ia berkenalan dengan Laras ketika wanita itu akan menyelesaikan koasnya. Awal mula yang sama, seperti ketika Nayna menerimanya dulu. Namun, ke mana berlabuhnya hati siapa yang bisa menyangka.
Arkan jatuh pada pesona dokter cantik. Laras dengan kelembutannya dan kepiawaiannya dalam bersikap. Laras juga dewasa, dan Arkan merasa cocok.
"Dan, ini kali kedua Mas mengambil keputusan besar setelah meninggalkanku dulu."
Kalimat Nayna menyetrum dada Arkan. Ia bisa merasakan kegetiran dalam nada suara Nayna.
"Mas menceraikanku. Tepat di saat..." Nayna meneguk ludahnya. Ia hampir saja kelepasan.
"Saat apa?"
Nayna mengepalkan tangannya, cukup harga dirinya terbuang selama ini.
Namun, tidak untuk kali ini.
"Saat mas Lio kembali," dusta Nayna dengan mata memerah. Dadanya terasa sesak. Mencintai pria yang sudah menjadi mantan suami lebih berat dari pada ketika pria itu meninggalkannya dulu.
"Aku pikir kamu bahagia."
"Jelas, aku bahagia. Dia priaku. Sampai kapanpun, tidak pernah tergantikan. Aku mencintai---"
Kalimat Nayna menggantung di udara. Ketika bibir Arkan membungkam mulutnya. Memagut dengan liar dan penuh tuntutan. Tidak membiarkan wanita itu menghirup oksigen, lidahnya mengeksplor setiap inci ornamen dalam mulut mantan istrinya.
Ketika dirasa nafas wanita itu terengah, barulah Arkan melepaskan pagutannya. Matanya menatap intens bibir Nayna yang membengkak ulah perbuatannya.
"Mas mau bunuh anak kita?"
Arkan menunduk, hatinya menghangat ketika dua kata 'anak kita' terucap dari bibir Nayna.
"Ica tidak terganggu, kamu mau lanjut?."
Wajah Nayna memerah, ia tidak mau Arkan mempermainkannya. Terlebih, sekarang status keduanya sudah jelas.
"Kita sudah bercerai, ajak saja calon istri Mas!." Nayna bangun, ia melangkah ke dapur. Tenggorokannya kering, ia butuh air dingin.
"Panas?"
Nayna tersedak, Arkan berdiri sangat dekat dengannya. "Jauh-jauh Mas!."
Arkan menatapnya datar. "Kamu suntik KB?.
"Kenapa?." Nayna membuang mukanya. Maju salah, mundur menabrak dinding.
Tangan Arkan sudah mengurung tubuhnya. "Kamu montok."
Nayna yakin wajahnya sudah bersemu. Dan, ia harus enyah dari hadapan pria ini.
"Aku harus ke toilet, minggir!." Nayna berusaha mengontrol nada bicaranya.
"Ngapain?."
"Mandiin gajah!!"
Sontak Arkan tertawa dan tanpa sadar melepaskan tangannya dari dinding.
Nayna tidak melepaskan kesempatan tersebut dan meninggalkan Arkan yang masih tertawa. Ia membuka pintu belakang, menghindar untuk sementara demi menenangkan jantungnya.
Halaman belakang ditumbuhi beberapa tanaman.
Kebanyakan tanaman herbal. Ada jahe merah, kunyit putih dan beberapa lainnya.
Nayna terpaku, melihat tanaman ini pikirannya tertuju pada pernyataan Arkan yang mengatakan akan tinggal bersama Ica.
"Ngapain di sini?"
Nayna menoleh dan melihat Arkan berdiri di pintu dengan tangan memegang kusen pintu.
"Mas mau tinggal di sini dengan mba Laras ?."
Kening Arkan mengerut, melihat wanita yang sudah membelakanginya lagi.
"Karena itu Mas mau ambil Ica?."
Arkan mendekat, berdiri tepat di samping Nayna dengan tangan dimasukkan dalam saku celananya.
"Tapi aku tidak bisa!"
"Kenapa?" tanya Arkan.
"Mas tanya kenapa? Rumah ini Mas beli karena akan Mas tinggali dengan mba Laras. Dan Mas mau, Ica tinggal di sini?."
Senyum simpul Arkan terbit, tangannya memegang lengan Nayna menariknya ke dalam.
Arkan membawa Nayna ke atas, masuk ke kamarnya. Tanpa melepaskan tangan wanita itu ia membuka lemari dan mengeluarkan sebuah map. "Buka dan bacalah."
Tatapan bingung Nayna menyorot pada map yang disodorkan Arkan. Perlahan, ia membuka map tersebut dan melihat nama putrinya tertulis di sana. Setelah itu Nayna tidak berkutik. Rumah ini dibeli atas nama putrinya.
"Laras tidak tahu rumah ini. Aku cicil rumah ini dari gaji pertamaku."
Nayna tersentuh. Arkan sudah menyiapkan semua ini.
"Saat itu aku berpikir, ketika aku sudah menikah nanti, kamu dan Ica tidak harus tinggal di rumah kontrakan lagi." Arkan beucap dengan sungguh- sungguh.
Air mata Nayna mengalir begitu saja. Mendengar kalimat Arkan.
"Aku pernah menyiakan kalian, dan kali ini aku mau menebus semua kesalahanku."
Isakan Nayna terdengar pilu. Tangannya menepis ketika Arkan akan memeluknya.
"Aku tidak bisa membiarkan Ica tinggal bersama kalian."
"Kami hanya tinggal berdua, kecuali kamu mau melengkapi."
Kepala Nayna mendongak, menatap iris pria tersebut yang menatapnya lekat. Keduanya hanyut dalam pesona yang pernah direngkuh.
Entah siapa yang memulai, keduanya sudah bergelut di ranjang. Saling memagut, mencumbu dan memberikan rasa syahdu yang teduh.
Hingga Arkan menyudahi kegiatan panas tersebut. Dan, Arkan bisa menangkap raut kecewa Nayna yang berusaha disembunyikan wanita itu.
"Ica di bawah."
Nayna tersentak, baru saja ia melupakan keberadaan putrinya.
Dengan sisa wajah yang memerah, Nayna turun ke bawah melihat putrinya. Benar saja, Ica sudah bangun. Begitu Nayna mendekat, tangisan Ica membahana.
Nayna memeluk putrinya.
"Anak Ayah sudah bangun ya?." Arkan mengambil alih Ica dari Nayna.
"Cup, diam dong. Ica lapar ya?." Arkan mencium pipi putrinya.
Nayna bangun, ia melangkah ke dapur membuat susu untuk putrinya. Merebus sedikit air, kemudian mengisi ke dalam botol susu Ica.
Saat berbalik, Nayna melihat Arkan berdiri tepat di belakangnya.
"Kamu nggak bawa hp Nay?"
Nayna memberikan botol susu pada Ica. "Nggak, mana sempat. Lupa? Semalam Mas langsung pergi?."
Arkan memperhatikan putrinya mengemut dot dengan lahap dalam gendongannya. "Kalau aku bilang, batalin pernikahan itu kamu mau dengar?."
Nayna membeliak. "Jangan macam- macam. Pernikahan bukan sebuah permainan."
"Justru itu Nay, sebelum melangkah kamu pikir dulu."
Nayna menatap tidak suka mantan suaminya, ia sudah keluar dari jalur.
"Kalau Mas lupa, dari dulu yang aku tunggu mas Lio. Bukankah karena itu Mas meninggalkanku?."
Arkan menelan susah salivanya. Masa lalu yang sempat di korbankan demi wanita di depannya ini sama sekali tak berharga. Saat itu ia mau berjuang, tapi Nayna tidak mau meninggalkan bayangan pria masa lalunya.
Walaupun Arkan salah, tapi kesalahan utama terletak pada wanita tersebut.
"Setelah yang kita lalui akhir-akhir ini, tidakkah ada sedikit getaran untukku?."
Nayna tersenyum sinis. "Mas sedang mengujiku?"
Arkan menggeleng, ia tidak pernah berpikir seperti itu. Apa yang dilakukannya belakangan ini jujur dari nalurinya.
"Aku menginginkanmu. Salah? Kamu seseorang yang pernah dekat denganku dalam artian sesungguhnya."
Wajah gugup Nayna terlihat kentara. "Mas sudah punya mba Laras. Kalian terlihat serasi."
Arkan mendesah. "Aku mau kamu, Nay. Bukan Laras!."
Nayna tidak ingin melanjutkan omong kosong ini. Lebih baik ia pulang.Biarlah Ica di sini. Sedikit banyak ia tahu, kalau Arkan akan menjaga putri mereka dengan baik.