"Selesai sarapan, Ibu mau ngomong!"
Arkan dan Nayna saling berpandangan. Dari semalam mereka berdua menghindari bu Wati. Bukan apa, mereka sedang tidak ingin membuka tabir yang selama tiga tahun ini di simpan keduanya.
Dan tidak tahu, akan berakhir di mana nantinya.
"Aku baru saja duduk, selera makanku sudah hilang." Arkan mengambil piring yang sudah terisi nasi goreng. Ini tidak akan habis, sebelum ia mendengar apa yang akan dibicarakan ibunya.
"Nggak ada telur di kulkas, aku buat rempeyek." Nayna menyodorkan piring berisi adonan tepung campur kacang yang telah digoreng pada Arkan.
Arkan mengangguk. Ibunya tahu ia tidak makan ikan kembung, tapi hampir setiap hari ada ikan itu di meja.
Keduanya tidak sadar bu Wati tengah memperhatikan.
"Makan saja, itu nggak pakai seledri." Kata Nayna ketika melihat Arkan membolak balikkan rempeyek di tangannya.
Sekarang bu Wati paham. Dan dirinya merasa bodoh. Sejak menjemput Ica ke rumah Nayna ia sering melihat Nayna menyiapkan menu sarapan atau makan siang putranya. Lauknya pasti beda, saat itu bu Wati hanya berpikir kebetulan. Tapi makin ke sini, ia mulai mengerti.
Saat itu Nayna memberikan menu sarapan ikan kembung padanya sedangkan pada putranya telur dadar, karena Arkan tidak makan ikan kembung. Dan satu lagi, Arkan tidak suka daun seledri.
Apik sekali permainan mereka. Sekarang dirinya yang akan bermain.
Tidak akan membiarkan dua makhluk tersebut membodohinya lagi.
"Masakan Nay sepertinya lebih cocok di lidahmu, ketimbang masakan Ibu."
Nayna tersedak, ia sedang minum ketika bu Wati menyindir mereka. Arkan mengusap lembut punggung Nayna.
Selesai sarapan, bu Wati menuju ke ruang tenang dengan Arkan. Sementara Nayna masuk ke kamar memandikan putrinya yang sudah bangun baru bergabung dengan bu Wati dan Arkan.
"Sekarang, jelaskan bagaimana bisa kamu menikahi Nayna sementara Ibu tidak tahu?."
Arkan melirik sekilas ke arah wanita yang sudah diketahui ibu sebagai istrinya. Nayna tampak gugup, sama seperti dirinya.
"Tidak ada yang dilewati sedikitpun."
Arkan menghela nafas sebelum menyibak tabir hubungannya dengan Nayna. Menyiapkan hati, jiwa dan terutama rungunya.
Karena sewaktu-waktu ibunya bisa saja berteriak.
"Sebelumnya Arkan minta maaf---."
"Nggak usah basi-basi Arkan!."
"Aku dan Nayna kenal di Jogja." Arkan memutar memory-nya. Membuka kembali kliping yang sudah merekat satu sama lain.
"Saat itu ada penelitian dan bedah kasus untuk sidang pertamaku." Arkan melanjutkan ceritanya. Ia mengambil Ica dari pangkuan Nayna ketika anak itu merengek minta digendong."Aku kenal ibu Ica dan jalan sekitar dua bulan. Kami sudah cukup saling kenal, dan memutuskan menikah."
"Secepat itu? Apa tidak ada yang kamu sembunyikan? Bukan karena ada Ica terlebih dulu di rahim Nayna?."
"Astagfirullah, Ibu!"
Nayna meringis, seburuk itukah penilaian untuknya?
"Ica ada bukan karena kesalahan. Dia hadir setelah tiga bulan kami menikah."
Bu Wati menatap Nayna, ia tahu sudah melukai perasaan wanita itu. Namun, saat ini ia harus tau secara mendetail.
"Buku nikah kalian?"
Arkan mendesah, ibunya masih belum percaya. Tapi buku nikah? Ia saja tidak tahu dua buku berwarna tersebut.
"Ada di warung Nay, Bu. Nanti Ibu bisa lihat."
Bu Wati mengangguk, ia belum percaya sepenuhnya pada orang tua Ica. Bukan tanpa alasan. Satu tahun ini, mereka bersandiwara dengan baik di depannya.
"Orang tuamu tau kamu di Jambi Nay?"
Nayna mengangguk, ia memang memberitahu kedua orang tuanya hidup dengan baik di Jambi dengan suaminya. Sekalipun nanti, bukan Arkan yang ia bawa pulang ke Jogja.
"Baiklah, ibu tidak akan bertanya lagi. ." bu Wati menatap tajam putranya."Atur pertemuan dengan keluarga Laras, kita akan membatalkan pertunangan ini."
"Tidak bisa, Bu!" serobot Arkan tanpa pikir panjang. Laras masa depan yang sudah di rancang dengan sempurna. Jiwa yang sudah menyatu dengan logikanya.
"Kamu masih dalam ikatan sah dengan Nayna, tapi berani menjalin hubungan dengan wanita lain?"
"Laras tunangan Arkan, Bu!"
"Tapi Nayna istrimu!!"
Ibu dan anak saling mempertahankan pendapat. Nayna memilih diam. Ia tidak tahu berkata apa, setengah hati merasa kasihan pada Arkan. Setengah lagi membenarkan ucapan bu Wati.
"Nay, kamu nggak mau bicara?" Arkan terlihat frustrasi. Dia tidak akan menang melawan ibunya.
"Jangan paksa Nay, Arkan!. Ibu tahu maksudmu."
Arkan menggeleng, "Tidak, Ibu dengarkan ucapan Nayna. Setelah itu Ibu akan tahu."
Bu Wati menunggu, tatapan matanya masih sama tajam.
"Nay minta maaf, Bu." Nayna berkata tenang."Apa yang dikatakan Mas Arkan benar adanya. Kami hanya terbawa perasaan sesaat ketika memutuskan menikah. Setelah itu apa yang kami jalani tak ubahnya seperti awal kami bertemu."
Nayna menyingkap pelan tabir hidupnya bersama Akan yang tidak ada garis manis. Sampai akhirnya ia menyadari dirinya hamil dan Ica hadir dalam kehidupannya. Saat itulah awal luka dimulai.
Kehadiran Ica tanpa cinta dari orang tua, hanya melepaskan lenguhan bertema nafsu. Tidak ada rayuan, pujian atau kasih sayang di sana. Semua terjadi dalam sekejap mata.
Hingga bayi yang lahir tanpa dosa itu, harus mengetahui suatu saat, kehadirannya bukan karena sebuah kesengajaan atau keinginan. Apalagi cinta!
"Kami tidak saling mencintai, Bu." Nanya ingin mengakhiri semuanya. Sudah sangat lama ia terendam dalam nestapa.
Ia merasa tidak diinginkan di sini!
"Kalian tidak butuh cinta, sekarang saatnya kalian mencurahkan segala perhatiannya pada Ica. Bukan lagi mementingkan ego kalian!."
Arkan menggerang, "Kami tidak bisa bersama, Bu. Kami sudah membicarakan hal itu berulang kali. Ica tetap akan mendapatkan kasih sayang orang tuanya."
"Jadi kalian akan berpisah? Bahkan sebelum Ibu tahu kenyataan ini?." Bu Wati tertawa miris, ia merasa sangat dipermainkan. Sebagai orangtua ia merasa tidak dihargai.
"Kalau kalian akan berpisah. Ica sama Ibu. Ibu tidak akan membiarkan kalian bertemu dengannya. Pergi kalian, cari kepuasan hati. Ica tidak butuh orang tua seperti kalian!." Bu Wati mengambil paksa cucunya yang ada di pangkuan Arkan. Orang tua masa kini, lebih memilih perasaannya ketimbang anak.
Dua manusia yang masih duduk di ruang tengah tersebut bisa mendengar dengan jelas suara bantingan pintu kamar bu Wati.
"Mas---"
"Tenang saja, Ibu pasti mengerti. Kita hanya perlu menunggu."
Nayna tidak menjawab, tangannya saling bertautan di pangkuannya. Resah dalam hati memikirkan perasaan ibu mertua.
"Aku harus pergi, mas Lio mengajakku bertemu. Sepertinya ia tidak sabar ingin memilikimu, seperti aku yang tidak sabar ingin memiliki Laras seutuhnya."
Nayna tertegun dengan ucapan Arkan. Rasa dingin menjalar ke seluruh tubuhnya. Rungunya meresap dengan baik perkataan Arkan.
"Untuk yang terakhir kalinya." Arkan berdiri, menatap lekat manik indah milik ibu anaknya. "Bolehkah aku memelukmu? Sebelum kamu jadi milik lelaki pertama-mu?."