Jarak yang harus ditempuh Nayna tidak dekat, ia harus merelakan jatah tidur nya yang tidak nyenyak karena mereka harus berangkat malam, setelah bu Wati mempercepat keberangkatan. Untungnya lepas maghrib tadi, ibu anak satu tersebut sudah menyiapkan keperluannya dengan Ica.
"Tidur aja Nay, Ica aman sama Ibu."
Ini satu lagi beban hidup Nayna, yang kata bu Wati nggak bisa ikut karena sedang ada kasus baru setelah perceraian anggota dewan. Tapi, lihat, sekarang pria itu sedang menyetir dengan wajah triplek andalannya. Lain, dari tempo hari yang tampak lain di mata Nayna.
Nayna menggeleng, kenapa harus memikirkan raut wajah pria tersebut yang sempat disukai Nayna kemarin.
"Lampung jauh loh Nay, kamu enggak bakalan kuat."
"Nyetir ajaggti Mas. Mataku kalau sudah mau merem ya merem, enggak nunggu perintah!."
Arkan melirik sekilas ke samping, tempat di mana Nayna mendengkus kesal. Hanya melirik sekilas ia bisa melihat betapa bagusnya leher wanita itu. Tetap jenjang meski berisi dan tampak ...
"Rambutnya diikat aja Nay, enggak usah digelung gitu."
"Rencananya besok mau aku cukur!!"
Arkan mengulum senyum tanpa sepengetahuan Nayna, mendengar balasan wanita yang lagi kesal padanya. Tapi, ia tidak bisa kesal pada ibu muda tersebut.
"Saya takut aja," timpal Arkan tanpa memperdulikan kekesalan wanita itu.
Nayna memilih diam, menikmati suasana di balik kaca mobil lebih baik dari pada harus mengadu urat dengan Arkan. Jelas emosinya tidak lebih baik dari pria tersebut.
"Seperti kemarin con----" delikan tajam Nayna menghentikan kalimat Arkan.Dengan cepat Nayna melihat ke belakangnya. Entah harus bersyukur atau tidak melihat nafas bu Wati teratur dengan Ica di sampingnya.
Angka merah jam digital mobil Arkan menunjuk pukul 01.15, mereka baru keluar dari provinsi Jambi ketika Arkan melirik ke samping dan mendapati Nayna menekuri jalan raya yang mulai sepi dengan bentang luas ladang bekas tanaman tebu.
Hampa, seperti hati Nayna. Hanya dingin dan panas menyapa kulit. Ketika mulai dirasuki rasa nyaman, sebuah kenyataan kembali menghentakkannya ke dunia nyata.
"Usia masih muda jangan dibawa beban Nay, jangan terus terbayang pada masa lalu."
Mata wanita itu tak lagi tajam ketika bertemu pandang dengan Arkan, meski hanya sekilas. Mungkin keadaannya yang semakin larut dan rasa kantuk yang mulai menyerang.
"Sudah saatnya kamu buka hati, pasti ada yang suka. kecuali kalau kamu masih mengharapkan ."
"Hidupku cukup dengan Ica." Suaranya sudah lemah, namun nada tajam masih menyusup. Setelah itu mata Nayna terpejam dan alam mimpi siap menyambut tidurnya.
Tidak ada yang membuat hati seorang Arkan resah. Sejak kehadiran Lio, situasinya berubah. Arkan merasa harus memikir ulang tentang Nayna. Tidak ingin sesuatu terjadi, apalagi kalau Nayna sempat bertemu dengan Lio.
Laju mobil dikurangi ketika melihat semua penumpang tertidur, earphone terpasang sempurna di telinga lelaki itu menemani kegiatan menyetirnya. Pikirannya melayang pada percakapannya tadi siang dengan Laras. Wanita yang dua tahun ini sudah menempati tempat dalam hatinya.
Wanita yang membuatnya merasakan cinta dengan sosok lain dan segala kedewasaannya. Memberikan rasa yang bisa menempatkan dirinya pada posisinya sebagai lelaki dewasa tanpa harus mengimbangi sikap, karena Laras bisa menjadikan sosok lelaki tanpa harus mengayomi, cukup cinta dan kedewasaan yang menjadi tumpuan mereka menjalin hubungan.
Nayna menyadari kalau mobil Arkan sudah berhenti. Kepalanya memutar, melihat Ica dan bu Wati yang ternyata masih tidur. Matanya melihat ke arah kaca pintu mobil kemudi yang terbuka setengah. Langit sudah mulai terlihat cerah, siap menyambut sang surya.
"Mau ke kamar mandi?" Nayna melihat ke samping, kepala Arkan bersandar dengan posisi berjongkok di pintu mobil.
Hm." Nayna menjawab bersamaan pintu terbuka. Ia tahu, Arkan yang melakukannya. Dan itu berlebihan, menurut Nayna.
Letak toilet yang tidak jauh karena mobil Arkan terparkir di depan musholla, sehingga membuat wanita itu cepat tiba di sana. Jambi dan Lampung sama saja, sama-sama panas. Padahal masih pagi. Tapi Nayna masih waras agar tidak mengguyurkan tubuhnya di sini, cukup mencuci muka.
"Ibu sudah bangun?." Nayna yang baru saja selesai dan sudah berada di pintu keluar area toilet melihat bu Wati.
"Iya Nay. Ibu kebelet, Ica sama Arkan." bu Wati buru-buru masuk ke toilet. Nayna kembali ke mobil.
Membuka pintu belakang mobil dan menemukan Arkan tidur dengan Ica di pangkuannya. Wajah pria itu terlihat lelah. Bagaimana tidak, menyetir dari jam sebelas malam, pasti tidak pernah dilakukannya.
Perlahan Nayna mengambil Ica dari pangkuan Arkan, kasihan. Setidaknya, pria itu bisa istirahat sebentar sebelum melanjutkan perjalanan.
"Biarkan saja Nay." hanya gumaman tapi Nayna bisa mendengarnya. Ia mengurungkan niatnya dan membiarkan seperti permintaan Arkan. Sejak bertemu dengan Arkan, putra bu Wati mereka jarang terlibat obrolan. Hanya sekedar bertanya dan menjawab hal penting. Tapi belakangan ini, pria itu terlalu cerewet dan mereka juga sudah melakukan hal yang sama sekali tidak penting, hanya meninggalkan jejak pada Nayna, karena dia makhluk perasa.
Matanya menyorot wajah putra bu Wati yang tidur dalam damai. Meraba jantungnya tidak ada yang berdesir di sana.
Ia memastikan lagi. benar, Tidak ada!
***