Nayna tidak habis pikir, baru dua jam yang lalu dia merasakan damainya rumah kontrakan milik bu Ratna istri kepala desa, sekarang berakhir sudah.
Posisinya bersandar di dinding, memperhatikan seorang laki-laki yang sedang menikmati makan.
Suap demi suap, dan denting sendok yang masuk ke mulut putra bu Wati membuatnya gemas. Ingin membawa masuk sekalian piring ke dalam mulut lelaki bermuka datar dan pengganggu itu.
"Kenapa pakai seledri?."
"Makan aja, enggak usah protes!."
Arkan kicep, terasa lama karena tangan dan sendok gantian memegang lauk tersebut."Kamu enggak mau tanya apa, gitu?"
"Enggak!"
Lagi, sendok yang berisi telur dadar berhasil masuk ke dalam mulut Arkan. Mengunyah dan mengecap setiap struktur yang sempurna dalam telur dadar buatan ibu Ica.
"Laras enggak mau ketemu. Saya jadi bingung." Arkan menghentikan di di depan mulutnya. Matanya menatap wajah manis Nayna.
"Apa mas Lio yang larang, Nay?"
Nayna mendengus, lantas meninggalkan Arkan karena Ica mendengar suara Ica dalam ayunan yang berada di ruang tengah tanpa sekat.
"Nay "
"Berisik!! Lagi makan enggak boleh ngomong!."
Nayna tidak melihat lagi ke arah Arkan, wanita tersebut fokus pada putrinya dalam ayunan. Perlahan mata Ica kembali terpejam. Menikmati ayunan ibunya.
Selesai makan, Arkan menutup lauk yang tersisa dengan tudung. Membawa piring kotor ke tempat pencucian sebelum menghampiri Nayna.
Sepuluh menit Nay diam, menunggu lelaki itu berpamitan. Tapi, yang diharap tak kunjung bicara. Wanita itu tidak sabar lagi, kalau dibiarkan malah menjadi nantinya. Dan dia juga yang disalahkan.
"Sampe kapan mau di sini?"
"Kenapa?"
Kenapa?!."Mas sadar enggak, atau tangan kekar Mas Lio kena saraf?"
Wajah Arkan mengeras mendengar ucapan Nayna. "Dari mana kamu tau kekuatan tangannya?".
Nayna tertawa pelan, "Jadi benar? Sana gih, ke rumah sakit. Cek kejiwaan."
"Kamu kenal mas Lio?"
"Nggak penting, mending Mas pulang."
Netra Arkan membidik tajam mata coklat milik Nayna. Menyorot hingga. satu titik lemah menyerang ibu satu anak tersebut.
"Sejak kapan?"
Nayna berbalik, meladeni Arkan tidak akan ada habisnya. Langkahnya terhenti kala tangan kanannya di tahan Arkan.
"Apa dia.....?."
"Pulang Mas!"
Senyum sinis terbit dari wajah Arkan, namun tak membuat Nayna takut. Wanita muda tersebut menatap wajah yang siap mengintimidasinya. Membalas tatapan tajam dengan retina yang mulai memerah.
"Jangan main-main dengan mas Lio." datar, ucapannya bagai air tenang, dan selanjutnya kekagetan Nayna yang dinikmati Arkan.
Tubuh Nayna sudah berada dalam rengkuhan Arkan. Memagut bibir penuh ibu muda tersebut.
Hampir lupa diri dengan perlakuan lembut sang pria yang menyesap bibirnya dengan lembut dan penuh tuntutan, memberikan rasa manis yang akan sulit dilupakan, Nayna mengakhiri pagutan tersebut dan masuk ke kamar.
Ini salah.
Ia menikmati rasa yang diberikan Arkan, putra bu Wati. Ia merasa rendah karena memberi respons pada ciuman tersebut.
"Lupakan mas Lio."
Nayna mengutuk dirinya yang lupa mengunci pintu kamar. Kesal, semakin hari Arkan akan bersikap tidak sopan. Sedangkan dirinya selama ini sangat menjunjung tinggi etika. Kecuali ciuman tadi.
"Apa Mas lupa batasan?"
"Mas Lio---"
"Keluar!!"
"Nay "
Tatapan tajam Nayna membuat Arkan diam, hanya sebentar. Karena selanjutnya.
"Kamu gemukan Nay, enggak mau diet?."
Lemparan bedak baby, handbody dan sisir mengiringi kepergian Arkan yang berlari keluar dari kamar Nayna.
Gila, pikir Nayna. Kenapa ibunya bisa beda banget sama anaknya. Apa Arkan anak pungut?.
Astaga, kenapa harus memikirkan asal usul pria tersebut. Suasana hatinya sedang tidak bagus, tapi jam tiga sore sudah ada lima cake yang selesai dibuat Nayna.
Iya, ibu muda tersebut melampiaskan rasa kesalnya pada kue-kue tersebut. Yang ternyata memiliki efek yang sangat bagus. Berbeda dengan pelampiasan perasaan pada orang yang salah, ujungnya pasti sakit.
"Banyak banget, Nay? Ada pesanan?."
Nayna menoleh ke sumber suara, bu Wati dan putra kurang ajarnya. Kenapa pria itu sering sekali terlihat.
"Tidak Bu, lagi bosan saja."
Bu Wati tersenyum.Nayna selalu merendah. Mana ada orang bosan bikin kue, orang rajin, iya.
"Terus itu mau di kemanain ?."
"Buat Ibu, lainnya Nay bagiin ke tetangga."
Bu Wati mengangguk, ia menyusul Arkan yang sudah duduk di salah satu bangku meja makan.
"Ibu sempat lihat bedak dan handbody di lantai ruang tamu, Ica jadiin mainan?."
Bukan, putra ibu.
"Iya," jawab Nayna.
memindahkan Sungguh, saking kesalnya Nayna lupa memindahkan benda tersebut. Kalau tidak salah ia tadi sempat menendang salah satu benda tersebut.
Tersangka utama hanya diam, seolah tidak terjadi apa-apa. Sesekali, pria tersebut melirik Nayna.
Apa tubuh wanita akan berisi sesudah punya anak? Atau hanya Nayna saja. Tapi lebih baik begitu, terasa pas dan...
"Arkan, katanya mau langsung pergi." teguran bu Wati membuyarkan khayalan Arkan tentang Nayna dan segala isinya.
Astaga!
Sejak kapan dirinya mesum seperti ini? Arkan menggeleng kepala. Tentu saja hal itu tidak luput dari perhatian bu Wati.
Cubitan keras terasa perih di paha Arkan. Ia hanya meringis mengerti tatapan tajam ibunya. Malu, tentu saja. Karena, ia baru menyadari kalau ibunya pasti memperhatikan gelagatnya dari tadi.
Tanpa berpamitan, Arkan keluar dari rumah Nayna. Sebenarnya dia tidak pergi kemanapun. Hanya alasan agar bisa memberikan tumpangan pada ibunya yang ingin ke rumah Nayna, sekalian dia bisa mampir sebentar.
"Ibu ke sini mau ngajak kamu Nay, lusa ada acara aqiqah cucu adik Ibu."
Nayna mengisi cake yang sudah kedalam kedalam piring. Isi kepalanya ingin menolak ajakan bu Wati, tapi belum mendapatkan cara agar tidak menyinggung perasaan bu Wati.
Kalau mengikuti ajakan bu Wati, ia akan berama Arkan. Dan itu tentu sulit mengingat hal yang baru saja terjadi beberapa jam yang lalu.
"Kita berangkat besok, Arkan tidak bisa pergi makanya Ibu ngajak kamu."
Helaan nafas Nayna terdengar samar, namun bu Wati tidak menampik kalau ibu satu anak tersebut tidak nyaman dengan anaknya.
"Baiklah, Bu."