Chereads / MILIK ORANG / Chapter 5 - Chapter 5

Chapter 5 - Chapter 5

Cuaca di Jambi akhir-akhir ini terlampau panas, tidak sedikitpun kelabu langit menampakkan diri, yang diharapkan bumi dan isinya untuk menjatuhkan setitik peluh angkasa.

Kendati jarum jam sudah menunjukkan angka 16.10 cuaca panas tersebut masih terasa dengan secercah sisa cahaya yang membidik setiap mata yang memandang.

Nayna, wanita yang sudah merintis usaha di warung makan sederhana selama satu tahun ini demi kehidupannya dan putrinya menyisir lorong mengunjungi rumah bu Wati. Seperti biasa, setiap sore wanita itu akan menjemput putrinya.

"Calon makmum, kakinya nggak sakit jalan kaki?"

Nayna menoleh kala menangkap sebuah suara di belakangnya. Kemudian bibir tipis nan merah itu merekah.

"Biasa aja Mas," sahut Nayna ramah, dia menunggu Samsul berjalan ke arahnya.

"Mas mau ke mana?." tanya Nayna begitu mereka sudah melanjutkan perjalanannya yang masih berselang sekitar delapan rumah lagi dan lapangan bola kaki.

"Kemanapun, asal dinda bahagia."

Nayna tertawa pelan, kepalanya terangguk sesekali menyapa warga yang lewat. Hubungannya dengan tetangga baik karena Nayna yang ramah dan supel. Namun, kembali lagi pada statusnya yang kerap membuat para tetangga bergunjang-ganjing. Namanya juga hidup, pasti ada gelombangnya. Yang penting bisa disikapi dengan lapang dada.

"Ada tamu sepertinya Nay."

Nayna melihat ke arah rumah bu Wati. Kakinya tetap melangkah. "Iya Mas, Mba Laras sepertinya."

Samsul mengangguk. Mobil sedan putih terparkir di depan rumah bu Wati. Nayna sudah dua kali melihat mobil tersebut yang tak lain adalah milik Laras.

Ketika keduanya memberi salam tidak ada yang menjawab. Samsul melengos masuk karena pintu terbuka. Sedangkan Nayna, menunggu di depan.

"Masuk Nay," teriak Samsul dari dalam.

Tidak berpikir lagi Nayna masuk. Tujuannya ke sini menjemput Ica, putrinya. Ia menunggu di ruang tengah, duduk di atas ambal sambil menonton televisi yang memang sudah menyala.

Tidak lama, Samsul kembali dengan sebuah nampan kecil. Ketika nampan itu sudah di depan mata Nayna, dia melihat lima potong fla cake yang ia taksir pasti harganya mahal.

Nayna sendiri pintar membuat aneka cake dengan cita rasa terbaik. Pernah terlintas dalam pikirannya untuk usaha tersebut, tapi terhalang biaya.

"Dimakan Nay, jangan dilihatin doang."

Nayna tersenyum, tangannya terulur mengambil sepotong cake dan menyesap dengan lidahnya.

Enak.

Kata itu yang terlintas dalam benak Nay. Setiap irisan dan kandungannya terasa pas di mulut wanita itu.

Samsul dan Nayna menikmati hidangan tersebut dengan sesekali menimpali acara di televisi. Hingga keduanya menyadari kehadiran dua orang di balik pintu kamar Arkan.

Iya, Arkan keluar dengan seorang wanita yang tak lain adalah tunangannya.

"Nggak sabar lagi mas? 12 hari lagi juga bakalan resmi."

Nayna tidak menghiraukan celutukan Samsul pada sepupunya, dia mengambil remote memilih siaran lainnya. Wanita itu juga tidak memperhatikan raut wajah Laras karena tengah sibuk dengan layar Led di depannya.

"Kalian sudah lama?"

Samsul berdecak, tangannya mengambil sepotong cake dan menyuapi Nayna. Jelas saja Nayna bingung, tapi tatapan mata Samsul menyuruhnya untuk segera membuka mulut.

"Seharusnya saya yang bertanya, Mas sudah berapa lama berdua dengan Laras di kamar?"

Nayna tidak ingin masuk dalam ranah keluarga itu. Dia memilih ke dapur untuk minum.

"Siapa yang berduaan di kamar?"

Mereka semua melihat ke arah suara, tidak terkecuali Nayna yang baru melangkah ke dapur. Sedangkan Arkan terlihat salah tingkah, begitu juga Laras.

Mata bu Wati memicing ke arah putranya. Pasti mereka yang di maksud Samsul. Karena dari luar, ia bisa mendengar suara keponakannya.

"Ica sama Nay aja, Bu." Nayna menghampiri bu wati dan mengambil putrinya.

Bu Wati menyerahkan Ica pada Nayna. Raut wajahnya tidak enak untuk di lihat. Karena itu, ketika bu Wati berbicara lagi dengan Samsul, Nayna perlahan keluar dari rumah itu. Dia tidak mau ikut campur permasalahan keluarga bu Wati.

"Kamu sudah dewasa Arkan, Ibu tidak mau martabat keluarga kita jatuh." kata bu Wati ketika mereka berada di ruang tamu dan Laras sudah berpamitan.

Arkan tidak menjawab, tatapannya datar. Sesekali pria berusia 29 tahun itu melirik Samsul yang asyik makan kacang mete.

"Ibu juga tidak paham, kenapa Laras mau aja kamu ajak masuk ke kamarmu." tuding bu Wati.

"Wanita terhormat itu hanya mau diajak ke manapun ketika sudah ada ikatan sah. Bukan asal mau sama mau," sambung bu Wati.

Samsul mengangguk setuju .Seperti Nayna contohnya, batin Samsul.

Arkan ingin melempar toples kacang mete ke wajah sepupunya tersebut karena kesal melihat sikap Samsul.

"Ibu akan menghubungi bu Lisa, membicarakan ulang pernikahan kalian!."

"Justru Laras ke sini ingin membicarakan perihal tersebut Bu." Arkan mengerti ke mana arah bicara ibunya.

"Makanya kalian berduaan di kamar karena kalian akan menikah secepat ini!?."

Gelengan kepala Arkan membuat bu Wati mengeram. apa lagi ini?. Batinnya.

"Laras ada bimbingan koas selama tiga bulan di Jakarta."

"Kalian menunda jadwal pernikahan kalian? Tidak, tepatnya calon istrimu itu!!."

"Kami sudah sepakat---."

"Kamuhanya menyetujuinya, bukan bermusyawarah!!." sungguh bu Wati merasa kesal pada Laras. Semua keputusan ada di tangan wanita itu. Seolah putranya itu budaknya

"Ibu ragu, kalau kamu lelaki."

Samsul yang sedari diam menyaksikan perdebatan ibu dan anak tersebut tertawa. Sedangkan Arkan, wajahnya sudah memerah.

"Nggak mungkin lah Bude, buktinya aja mereka sudah berduaan di kamar."

Arkan mengeratkan rahangnya mendengar ucapan Samsul. Betapa tidak tahu malu seorang sepupu masih stay di sini hanya untuk mengolok dirinya.

"Kamu mau di sini terus?"

Karena tau pertanyaan sinis itu ditujukan untuknya, Samsul mengangguk. Ia tidak repot sama sekali, malah puas melihat wajah frustrasi Arkan.

"Menikah bulan depan, atau tidak sama sekali!!!."

"Ibu!."

Bu Wati masuk ke kamarnya dengan kesal. Belum jadi menantu sudah mengatur. Jadwal pernikahan bisa dirombak semudah itu tanpa musyawarah dua keluarga.

Arkan uring-uringan di kamar, makan malam tidak terhidang di meja. Di belakang lauk pun tidak ada. Seandainya lelaki itu menyukai makanan di warung tentu tidak mengapa. Masalahnya hanya masakan ibunya dan ibu Ica yang terasa cocok di lidahnya.

Ketika dua nama tersebut terucap, dia memilih pergi ke rumah ibu satu anak yang sering mengantar lauk ke rumahnya. Dua kali ketukan, pintu rumah terbuka. Ia bisa melihat wajah ibu muda itu dengan jelas.

Cantik.

"Em, maaf mengganggu malam- malam."

Nayna tidak menjawab. Ia melihat dengan bingung sosok di depannya. Melihat tatapan wanita di depannya, Arkan merasa tidak enak. Tapi perutnya benar-benar lapar.

"Ibu mau beli sayur, apa aja yang masih tesisa."

Kernyitan cantik di kening wanita itu membuat Arkan harus membuang muka berulang kali.

Tanpa menyuruh anak bu Wati masuk, Nayna bergegas ke dapur. Tidak sampai sepuluh menit ia kembali dengan dua bungkus plastik dan menyodorkan pada pria tersebut.

"Hanya sisa ini."

Arkan mengangguk, dia menyerahkan dua lembar uang seratusan pada ibu Ica.

"Ini harganya tidak sampai sepuluh ribu, kenapa harus sebanyak ini? Lagian bu Wati tidak pernah beli lauk."

Arkan tidak berani melihat wajah wanita di depannya. Ia sudah malu dengan kebohongannya.

"Ambil saja untuk Ica."

"Tidak usah, pulanglah. Aku mau istirahat." Tidak menunggu jawaban Arkan, Nayna sudah menutup pintu rumahnya. Tidak baik ada laki-laki bertamu malam-malam, apalagi dengan statusnya yang dibenarkan masyarakat

***