Chereads / Suami impian / Chapter 20 - Berlebihan Pun Tak Baik!

Chapter 20 - Berlebihan Pun Tak Baik!

Livia mendadak tak bersemangat setelah mendapatkan pesan dari seseorang. Aidan yang melihatnya pun menjadi penasaran, namun dia sedang menyetir mobil menuju kampus. Untuk menghindari sesuatu hal buruk yang akan terjadi lagi, Jadi dia putuskan untuk bertanya ketika mereka sudah sampai di sana saja.

Mobil itu sampai di kampus dan telah di parkiran ke parkiran umum khusus dosen. Aidan mencegah Livia turun dari mobil kala itu.

"Ada apa? Kenapa kamu menajdi murung begitu? Apa ada masalah?" Tanyanya beruntun.

"Nggak ada kok, Mas."

"Jangan bohong, Livia. Mas tau ada hal yang membuatmu begini, ayo katakan?" Membujuk Livia agar mau mengatakan masalahnya dengan menatap gadis itu serius.

"Sebenarnya Ayah mengirimiku pesan," Livia menunggu reaksi Aidan

"Jangan katakan Setengah-setengah, katakan secara jelas, Vi."

"Isi pesan itu dari ayah. Dia menyuruhku tinggal beberapa hari di rumah." Kata Livia menunduk.

"Bukankah itu bagus? Kenapa kamu sangat khawatir, Vi?" Aidan tersenyum sembari mengelus kepala gadis itu.

"Bagiamana aku tidak khawatir? Aku tidak ingin meninggalkanmu, Mas." Rengek Livia memeluk lengan Aidan dengan manja.

"Kau tidak akan meninggalkan aku, percayalah. Sepulang kampus nanti aku akan mengantarmu ke sana ok." Memeluk Livia sebentar lalu melepaskannya ketika mendapat anggukan kepala gadis itu, "Masuklah, kau hampir telat mata kuliah pertama."

Lepas Livia turun dari mobil dan pergi menuju kelasnya. Sementara itu, Aidan masih di dalam mobil. Bersandar di kursi dengan menggunakan tangannya sebagai bantal. Tatapan matanya lurus ke depan, pikirannya sedang tak berada di tempat. Melayang jauh ke sana setalah pembicaraan singkatnya bersama Livia mengenai istrinya itu akan tingga di rumah orang tuanya tanpa dirinya. Yah, tak terlalu heran lagi karena Aidan bukan menantu impian Bima dan Liana.

***

Sepulang kampus, Aidan menunaikan janjinya untuk mengantarkan Livia ke rumah orang tuanya. Selama perjalanan Aidan berusaha menunjukkan keadaan baik-baik saja, seakan dirinya tak tersiksa sama sekali. Memikirkan Bima yang tak akan lagi membiarkan keluar dari rumah itu menjadi bayang-bayang mimpi buruk baginya.

"Mas, kok kamu melamun? Kamu lagi menyetir loh, bahaya," Livia mengagetkan Aidan yang sedang melamun lagi. Gadis itu tak hanya ingin kejadian waktu mereka menabrak seseorang terjadi lagi.

"Ah, maafkan aku." Aidan menggeleng berusaha fokus.

"Aku perhatikan kamu sepertinya sedang banyak pikiran. Ada apa, bicara sama aku ... "Livia mengamati dari dekat wajah Aidan.

"Haha ... Nggak kok, semua baik-baik saja, Vi. Aku hanya kepikiran soal ujian semester mahasiswa ekonomi yang harus aku selesaikan hari ini, mungkin aku akan lembur." Jawab Aidan berbohong.

"Huh, sayangnya aku gak nemenin kamu lembur. Apa aku tunda saja ke ruang Ayah hari ini ya?"

"Eh, jangan!" Livia sedikit kaget ketika Aidan menjawabnya cepat, "Ma- maaf. Tapi, sebaiknya kamu jangan menundanya. Orang tua kamu pasti merindukanmu, Vi."

Livia menunduk dengan bibir cemberut, "Tenang saja kalau kamu khawatir aku tidak memberikan makan marmut itu, dia akan hidup sehat. Aku jamin itu." Canda Aidan menyangkut pautkan dengan marmut peliharaan Livia.

"Ya sudah, kamu jaga diri baik-baik ya. Kita ketemu di kampus," Aidan tersenyum dengan keputusan Livia.

Yah, setidaknya Aidan tak menambah kemarahan Bima padanya. Lebuh baik menghindarinya.

Setalah beberapa saat perjalanan, mereka akhirnya tiba di rumah tempat tujuan mereka. Livia dan Bima sama-sama berjalan menaiki tangga teras rumah.

Aidan menekan bel, bunyi bel kedua pintu pun terbuka dan menampakkan sosok Bima di sana.

"Oh, sudah datang?" Reaksi Bima memberikan tatapan sinis pada Aidan. "Kenapa lama sekali?" Tanya Bima yang tak mengalihkan tatapan dari Aidan.

"Maafkan aku yang terlambat membawa Livia ke sini. Tadi kami singgah sebentar membelikan kue ini untuk Papa." Aidan mengulurkan baper bag berisi kue yang di belikannya tadi.

Bima berdecak ketika Aidan memanggil Bima dengan sebutan itu. 'Berani sekali dia. Huh, memang tidak jera hm?' balas Bima dalam hati.

Dengan kasar Bima mengambil paper bag itu dari tangan Aidan.

"Pa, bukankah sebaiknya kita masuk ke dalam saja? Papa bisa bicara lebih banyak dengan Mas Aidan." Ujar Livia melihat sorot mata kebencian yang di tunjukan ayahnya dari tadi, Livia cukup terganggu.

"Hah, sayangnya pembicara kami sudah selesai. Suruh saja dia pulang, lagipula ini sudah malam kan?"

Livia menelan Saliva mendengarnya. 'Sampai kapan akan seperti ini? Kenapa Papa tidak menyukai orang yang aku cintai? Tidakkah seharusnya, orang tua akan bahagia ketika anaknya juga bahagia?' ingin sekali Livia mengeluarkan kata-kata itu pada ayahnya. Tapi dia tak sanggup. Livia takut semua akan lebih runyam.

Livia memutar tubuh ke arah Aidan, "Mas?" Panggil Livia dan Aidan ikut berbalik pada gadis itu, "Kamu jangan lupa makan ya, kalau begadang sisahkan juga waktu untuk istirahat," Livia mencium punggung tangan Aidan.

Hati laki-laki itu mendadak cerah, seperti kegelapan yang bari mendapat sinar dari cahaya. "Iya, Pasti kok. Terima kasih, kalau begitu aku pulang dulu." Mengelus kepala Livia dengan senyuman.

"Pa, aku pamit pulang deh, ini sudah malam juga memang gak baik bertamu. Selamat istrahat ya Pa, assalamualaikum." Aidan melambai kecil pada Bima lalu berbalik pergi dari sana.

Bima mematung di tempat dengan mata yang membulat sempurna melihat sikap Aidan barusan.

"Cih, anak itu, memang gak punya tata Krama yang baik!" Maki Bima ketika Aidan membunyikan klakson mobil hingga membuat dia terkejut.

Dan kendaraan itu akhirnya pergi dari sana.

"Aku ingin bilang sama Papa, jangan terlalu membenci Aidan. Jika suatu saat nanti dunia kita terbalik, bisa saja dia yang akan menolong kita. Livia masuk ke kamar dulu ya, Pa." Setelah mengatakannya Livia berlalu masuk ke dalam kamarnya.

Bima memejamkan mata menggenggam erat tangannya. Lalu dia melihat ke tangannya, paper bag pemberian Aidan. Dengan kejam Bima membuangnya ke dalam tong sampah yang ada di sampingnya.

"Sampai kapanpun kamu bukan siapapun di keluargaku, Aidan! Camkan itu!"

Pintu rumah mewah itu tertutup kasar begitu saja.

Aidan tiba di rumahnya dan tak langsung masuk ke dalam kamar. Dia menuju ke ruang kerjanya. Beberapa saat dia habiskan dengan duduk saja tanpa melakukan apapun. Hingga suara deringan ponsel membuat perhatiannya tertuju ke benda tipis di mejanya.

"Halo, Den Aidan. Ini Pak Joko." Sosok yang menelpon mengenalkan namanya.

Aidan langsung mengenalihya lewat suara. Pak Joko adalah supir pribadi kakeknya. "Ya, Pak Joko aku tau. Ada apa ya?"

"Begini Den, saya sedang di rumah sakit. Pak Liam di rawat di sini, Den."

"Apa! Kakek di rawat di rumah sakit mana, aku akan segera ke sana?" Joko memberitahukan nama rumah sakit kepada Aidan, "Ok Pak, 15 menit aku sampai."

-Bersambung....