Sore itu Livia benar-benar kembali pulang ke rumah Aidan. Dia sangat senang karena saat ini dia bersama dengan Aidan lagi. Selepas pulang kuliah tadi, Aidan mengantarkannya ke ruang orang tua dan mereka berpamitan.
"Kamu ingin makan sesuatu sebelah pulang ke rumah? Atau ingin yang lain?" Aidan menawarkan karena mereka saat ini telah berada di dalam mobil yang akan mengantarkan mereka pulang ke rumah.
"Hm, tidak. Karena hari ini aku yang akan masak untuk kamu," Livia tersenyum cerah dengan menaikkan dua alisnya menggoda Aidan.
"Ah, masak ya? Hm, sepertinya itu ide yang bagus." Aidan menanggapinya denagn tersenyum dan fokus lagi pada menyetir.
Melihat reaksi Aidan yang sangat biasa, padahal Livia baru saja kembali apa Aidan tidak merindukan dirinya?
Senyum bahagia Livia luntur karena memikirkannya. Dalam perjalanan itu dia hanya diam dan menatap keluar jendela mobil, Aidan sendiri tak mencoba melakukan usaha.
'Kenapa Aidan berubah menjadi tidak peka seperti ini? Setidaknya saja bertanya mengenai kabarku, memujiku? Atau paling tidak membuat lelucon garing yang biasa di lakukan laki-laki itu untuk membuat dirinya tersenyum.' oceh Livia panjang lebar di dalam hati.
Omelan nya berlanjut sampai kini mereka sampai di rumah. Namun, hal yang membuat darahnya naik seketika adalah Aidan yang mengabaikannya ketika dia bertanya pria itu ingin mandi air hangat atau dingin, tapi tak di hiraukan.
"Kamu itu sebenarnya kenapa sih!" Teriak Livia yang sudah habis kesadaran.
Aidan seperti baru pulih dan menatap Livia dengan pandangan bingung, "A-ada apa, Vi? Kenapa kamu marah?"
Livia membuang napas kasar dan melewati Aidan begitu saja lalu naik ke lantai atas. Livia yang tadinya berbuat untuk memasak makanan enak yang sudah dia pelajari beberapa hari ini di rumah orang tua, seketika sirna karena perubahan sikap Aidan yang sangat drastis.
Livia membanting pintu kamar saat menutupnya. Gadis itu naik ke atas kasur dan menyembunyikan dirinya dalam selimut tebal. Dan getaran tubuhnya terlihat dari selimut pertanda Livia sedan menangis.
"Dasar laki-laki tidak peka! Kenapa dengannya? Apa aku berniat Kesalahan hingga sikapnya berubah begitu? Katakan padaku kalau aku memang salah!" Jerit Livia di dalam selimut. Dia melampiaskan kemarahannya pada bantal guling yang sedang dia peluk. Membayangkan jika guling itu adalah Aidan. Tapi mereka sama saja, diam bak patung.
"Maafkan aku, Vi."
Livia menghentikan tangisannya sejenak demi mendengar suara laki-laki yang dia cintai.
"Aku yang salah, bukan kamu. Tolong maafkan aku," ucap Aidan lagi.
Dan kali ini Livia menangis lebih kencang dari sebelumnya. "jahat, kamu jahat Mas!" Pekik gadis itu memukul-mukul gulingnya.
"Iya, aku sangat jahat. Jadi maukah kau berbicara denganku?"
Pergerakan di dalam selimut berhenti seketika. Beberapa saat tak ada yang terjadi, namun Aidan masih setia menunggu. Hingga akhirnya Livia membuka selimut yang menutupi wajahnya. Terlihat wajah gadis itu snagat sembab dan pipi chubby nya memerah.
Aidan tambah bersalah ketika melihatnya.
"Aku akan jujur apa yang terjadi padaku. Apa kamu ingin mendengarnya?" Tanya Aidan duduk di samping Livia.
Gadis itu masih terisak pelan dan dengan lemah menjawab dengan anggukan kepala.
Aidan tersenyum dan mengelus kepala Livia yang mulai tenang.
"Sebenarnya aku sedang sibuk dengan pekerjaanku, Vi. Bukan hanya pekerjaanku sebagai dosen tapi, juga di perusahaan Kekek." Aidan menjelaskan secara perlahan.
"Ka- kamu kerja di perusahaan Kekek Liam? Sejak kapan, kenapa aku sampai tidak tau hal itu?" Tanya Livia. Gadis itu kini duduk hingga dia bisa melihat Aidan dengan jelas.
"Sejak tiga hari yang lalu. Maaf aku tidak memberitahumu, aku hanya tak ingin kamu khawatir nantinya."
Livia memuji kencingnya yang langsung sakit mendengar alasan Aidan. "Aku malah lebih sakit ketika kamu baru memberikannya sekarang, Mas ... Kalau aku mengetahuinya dari awal aku akan mengerti," keluh Livia membuat Aidan menunduk.
"Kamu bekerja di perusahaan Kakek sebagai apa, Mas?"
"CEO."
"What, CEO? Apa kamu sedang bercanda Mas?" Tawa Livia.
"Tidak, aku serius, Vi. Kakek sendiri yang memberikan jabatan itu. Dan aku sudah menolaknya tapi, kau tau sendiri kan Kakek bagaimana?"
Livia mengehela napas dalam mulai mengerti, "Jadi selama tiga hari ini kamu jarang mengabariku karena sibuk dengan dua pekerjaan mu itu? Oke, aku tak akan membahas Maslaah yang itu. Tapi ... Bagaimana dengan kondisi tubuhmu? Kenapa kamu tidak memutuskan salah satunya saja Mas?" Livia menatap Aidan dengan pandangan menyelidik.
"Keputusan Kakek tak bisa di rubah, aku harus mengemban amanah itu, Vi. Dan untuk pekerjaanku sbeagai Dosen, aku ...."
"Aku tau, Mas. Dosen adalah Impianmu sejak dulu. Tapi bisakah kamu tinggalkan itu demi aku? Aku sendiri yang memintamu untuk melepasnya." Potong Livia. Dia memang tau. Hampir semua dia tau tentang Aidan. Termasuk pekerjaan sebagai Dosen yang sulit untuk dia lepaskan.
Tapi, Livia juga menghawatirkan kondisi tubuh Aidan yang akan melemah jika terus seperti ini. Suaminya takkan bisa bertahan.
"Kamu memintaku untuk berhenti jadi Dosen, Vi?" Tanya Aidan seakan tak percaya.
"Yah, aku. Jika keputusan kakek tak bisa di rubah lagi, maka kamu harus melepaskannya. Ini adalah yang terbaik untuk kamu, Mas. Jadi tolong pikirkan baik-baik." Menggenggam tangan Aidan lembut.
"Baiklan ...tapi, berikan aku sedikit waktu lagi, bisa?"
Livia mengelus wajah Aidan dan mengangguk kecil, "Hanya sedikit waktu. Kamu pasti paham arti sedikit kan, Mas? Secepatnya harus melakukannya, ini semua demi diri kamu sendiri."
"Iya, aku mengerti."
"Baguslah, sekarang berikan aku pelukan. Kamu sudah membuatku sangat-sangat khawatir," merentangkan kedua tangannya meminta Aidan untum memeluknya.
Aidan terkekeh geli dan menurut, dia memeluk Livia dengan erat.
"Terima kasih, Suamiku."
Aidan mengangguk dalam pelukan, "Terima kasih juga sudah mengkhawatirkan aku, istriku."
***
Hari ini Aidan menghadap ke ruangan kakeknya, dan sekarang sedang menuju ke sana. Di perjalanan dia bertemu dengan Okta, sekretarisnya.
"Oh, Tuan Aidan baru pertama kali datang ke sini setalah beberapa hari menjadi CEO. Maaf Tuan, saya sedikit terkejut dengan hal ini." Ucap gadis berambut sebahu dengan kaca mata bulatnya setia menemani.
"Ya, tapi mungkin ke depannya aku akan sering berada di kantor. Dan kamu akan sering melihatmu, semoga kamu tidak bosan." Canda Aidan.
Okta tertawa kecil, "Tidak Tuan, itu berita begus."
"Hm, aku akan ke ruangan Kakek sekarang. Silahkan kamu lanjutkan pekerjaanmu, ok."
"Baik, Tuan. Permisi," Okta berpamitan lalu pergi dar hadapan Aidan.
Laki-laki pun kembali melanjutkan langkah menuju ke ruangan Kakek Liam. Sampai di depan pintu, dia mengetuk pintu sebelum masuk.
"Masuklah, Cucuku."
Aidan pun masuk setelah mendapat izin.
-Bersambung....