Pagi-pagi Livia sibuk dengan pakaian kantor Suaminya yang dia persiapkan untuk hari pertamanya bekerja di perusahaan Kakek. Aidan sendiri berada di kamar mandi. Sementara Livia telah berpakaian rapi karena dia akan ke kampus. Beberapa menit kemudian Aidan keluar dari kamar mandi dan mendapati Livia sedang berdiri membelakanginya.
"Sayang?"
"Oh ya Tuhan!" Kaget Livia yang langsung menoleh pada Aidan. Namun, perhatian laki-laki itu langsung pada ponselnya yang sedang di pegang oleh Livia.
"Ada apa di ponselku? Apa ada sesuatu yang mencurigakan hm?" Aidan hanya bertanya tanpa langsung merebut ponselnya pada Livia itu.
"Aku tidak berani berpikir begitu, Mas. Tadi ... ada yang menelfon di ponselnya. Nomor baru, tapi aku tidak mengangkatnya." Jelas Livia.
"Mungkin saja itu dari sekretarisku, coba kulihat nomornya," Livia memberikan ponsel itu pada Aidan, laki-laki itu mengeceknya, "Benar dugaanku, ini sekretarisku. Namanya Okta," katanya.
Livia mengangguk sejenak lalu bertanya, "Kenapa nomor sekretarismu tidak kau simpan? Itukan nomor penting?" Tanya Livia heran.
"Aku sudah menghapal nomornya jadi buat apa lagi aku simpan? Lagian nomor dalam kontakku hanya ada beberapa," bakat lain yang di miliki oleh Aidan adalah kuat dalam menghapal. Dia lebih sering menghafal nomor daripada menyimpannya di kontak. Aneh memang, tapi itulah dia.
"Dasar kamu, ayo cepat siap-siap. Pakaianmu ada di sana." Livia mengambilkan pakaian Aidan untuk laki-laki itu gunakan. Dan Livia membantunya sebagai seorang istri yang baik.
Mereka berangkat bersama, Aidan harus mengantar Livia ke kampus lebih dulu sebelum dia ke kantor. Yah, hari itu akan jadi pertama kalinya mereka berpisah. Bukan berangkat bersama dan turun di tempat yang sama lagi.
"Sudah sampai, tidak terasa. Kalau begitu aku langsung turun ya, Mas hati-hati di jalan." Livia mencium punggung tangan Aidan sebelum dia turun dari mobil.
Namun, Aidan menahan tangan Livia sebelum gadis itu melangkahkan kakinya turun dari mobil. "Mas jemput seperti biasanya. Belajar yang rajin ya," mengusap kepala itu dengan lembut. Mereka berdua saling bertukar senyum.
"Siap, Mas. Bye!"
Setelah memastikan Livia benar-benar sudah masuk ke dalam gerbang universitas, Aidan pun menjalankan mobilnya menuju ke perusahaan.
"Selamat pagi, Tuan Aidan. Bagaimana perasaan anda?"
Aidan menghentikan langkahnya ketika melihat Okta baru saja menyapanya. Lalu dia terkekeh, "Entah ini perasaanku atau bukan, tapi kamu seperti robot mesin yang sedang menyapaku. Tolong jangan terlalu formal, oke?" Kata Aidan mengingatkan.
Gadis itu tersenyum canggung, "Baik, Tuan. Oh ya, ini berkas dokumen yang Tuan Liam titipkan kepada saya. Beliau menyuruh saya memberikan ini kepada Tuan untuk dipelajari."
Aidan mengambil map biru itu dari tangan Okta dan membukanya.
"Kalau begitu saya pamit, ya Tuan."
Okta berpamitan, di balas anggukan kepala dari Aidan yang sudah sibuk membaca kertas dokumen itu. Padahal posisinya saat itu sedang berada di lantai dasar, belum masuk ke dalam Lift.
"Ekhm? Dosen sepertimu ada urusan apa datang di sini?"
Aidan langsung menyelesaikan bacaannya pada dokumen tersebut lalu mengangkat wajah untuk melihat sosok yang menegurnya barusan.
"Papa?" Sabutnya ketika melinat sosok Bima berdiri di hadapannya dengan tanpang mengejek.
"Sudah berkali-kali aku katakan, tak Sudi aku di panggil Papa olehmu? Apa kamu ... Tuli?" Sinisnya.
"Ah, maafkan aku. Anda kemari untuk rapat dengan Tuan Liam ya?" Bicara Aidan langsung berubah menjadi fotmal seketika. Membuat kerutan halus timbul di kening Bima.
"Ya, memangnya kenapa? Apa kamu datang ke sini untuk mengemis?" Ejek Bima yang tak ada habisnya.
Aidan tersenyum. Dia tak akan terpancing hanya karena itu, "Kalau begitu, silahkan Anda langsung ke ruangan Pak Liam. Aku akan menyelesaikan juga urusanku di sini, permisi."
Aidan beranjak dari sana, memilih mengganti Lift agar untuk sementara dia dan Bima tak bertemu dulu. Aidan lebih menghindari sesuatu yang buruk itu.
Aidan tiba di ruangannya dan melanjutkan membaca dokumen dari Kakek. Itu berisi tentang proyek yang beberapa hari lalu di rencanakan oleh Kakek. Tentang pembangunan sebuah hotel di dekat pantai.
"Proyek ini bekerjasama dengan Tuan Bima Alexmaraja?" Aidan mendadak beku seketika setalah tau ternyata proyek kakeknya itu bersama ayah mertuanya.
'Tok Tok Tok'
Pintu ruangan Aidan di ketuk, laki-laki itu mengizinkannya untuk masuk. Ternyata itu adalah Okta.
"Tuan, anda di panggil oleh Tuan Liam ke ruangannya sekarang." Kata Sekretarisnya.
"Baik, aku akan segera ke sana." Jawab Aidan dengan cepat. Tak menunggu waktu lama, laki-laki itu segara mengambil dokumen yang baru dibeirkan padanya tadi dan di bawa ke ruangan kakeknya.
Aidan tiba di sana, sebelum mengetuk pintu dia mencoba mengatur napasnya agar tenang.
"Aidan, kau sudah datang? Ayo, masuk!" Sambut sang Kakek dengan senyum penuh wibawa.
Sosok yang sedang duduk di hadapan Liam sontak saja langsung berbalik untuk memastikan orang yang di sebutkan namanya tadi bukanlah orang yang dia kenal. Tapi sayangnya, dia memang orang itu.
'Sial, kenapa dia ada di sini?' gumam Bima dalam hatinya.
Aidan berjalan ke arah sang Kekek dengan langkah tegap. "Maaf, aku terlambat beberapa menit."
"Tidak masalah, silahkan duduk."
Aidan mengikuti ucapan Liam dan duduk di samping kursi Bima. Menghindari suasana menegang, Aidan akhinya menoleh pada sang ayah mertua lalu menatapnya.
"Selamat pagi, Tuan Bima."
"Ah, ya ... Selamat pagi," sapa balik Bima dengan sedikit terbata-bata.
Liam tersenyum mereka lalu dengan wajah serius mengambil atensi dua orang di hadapannya.
"Jadi saya mengundang Aidan datang kemari untuk memperkenalkannya pada Tuan Bima. Jadi inilah sosok CEO di perusahaan saya, yang saya ceritakan tadi. Dan dialah yang akan mengambil alih proyek ini bersama anda." Jelas Liam seperti menampar wajah Bima dengan kenyataan yang ada.
"A- apa? Aidan, ah maksud saya Tuan Aidan adalah CEO di sini?" Tanya Bima dengan wajah gugup.
"Yah, Aidan adalah CEO yang pekerja keras, jenius dan bisa diandalkan. Saya harap anda bisa bekerja sama dengan baik dengan CEO perusahaan kami."
"Tentu, Tuan Liam." Bima mengulum senyum yang dipaksakan. Lalu dia melirik pada Aidan dari samping. Raut wajah Bima menyiratkan kekesalan luar biasa setelah mengetahui keberadaan itu.
'Siapa sebenarnya kamu, hah? Apa kamu kira aku akan menyukaimu hanya karena kamu telah mempunyai jabatan setinggi ini? Tidak ... Kau masih belum ada apa-apanya, Aidan.'
"Maaf, Tuan Bima. Kalau bisa beri sedikit masukan tentang pembangunan proyek hotel itu bisa kita lakukan evaluasi lahan dulu. Kira-kira kapan anda punya waktu untuk itu?" Tanya Aidan tiba-tiba balik menatap Bima.
"Oh, itu ... Kapan saja aku siap. Hari ini pun tidak masalah," Bima mengangkat satu alisnya layaknya sedang menantang sosok Aidan.
"Baiklah, jika anda ingin seperti itu."
-Bersambung....