Kini Adian duduk berhadapan dengan Kakeknya lagi. Terlibat wajah Liam yang sangat-sangat bahagia dengan kedatangannya di kantor.
"Apa yang membawamu kemari, Aidan? Kalau urusan kantor, biasanya kau mengerjakan semuanya dari rumah. Tapi, hari ini ada angin segar apa yang membawamu mau bertemu kakekmu ini, hm?" Tanya Liam.
"Ini bukan mengenai urusan kantor kok, Kek. Yang lebih spesifiknya kabar ini pasti sangat menggembirakan." Kata Aidan menunjukan senyuman lebar yang dia buat-buat seperti bahagia.
"Waw, berita apa itu? Cepat beritahu kakek kalau begitu!" Desak Liam.
"Mulai Minggu depan aku akan fokus bekerja total di kantor ini. Aku sudah memutuskan untuk berhenti sebagai Dosen."
Liam langsung menutup mulut mendengarnya. Dia mungkin terlihat tidak percaya tapi, di dalam hati Liam dia sangat senang.
"Sudah kakek tebak dari awal. Lihat, sekarang siapa yang menang?"
"Ah, sudahlah Kek. Aku benar-benar tidak mood untuk berkelahi dengan kakek yang sudah tua," canda Aidan membuat Liam berekspresi seperti ingin memukul cucunya.
"Huh, untung Kekek sedang dalam suasana bahagia. Kakek tidak akan merusaknya hanya karena ingin memukulmu." Liam menarik napas lalu membuang perlahan.
"Tapi ... Kenapa kamu tidak langsung bekerja di perusahaan ini saja? Bukannya kamu sudah memutuskan memilih kakek sepenuhnya?" Liam bertanya penasaran.
"Aku juga masih harus mengurus surat pengunduran diri Kek. Tidak bisa langsung keluar begitu saja. Aku tau kakek ingin menyiksaku dengan cepat, bersabarlah sebentar lagi oke."
Liam dan Aidan sama-sama diam beberapa saat hingga ruangan itu menjadi senyap.
"Kakek tau ini pasti ada hubungannya dengan Livia kan? Alasan kamu mengundurkan diri sebagai Dosen adalah istrimu benar?" Tebak Liam menatap tepat ke mata Aidan.
"Kakek sudah tau kelemahanku, bukan? Tidak lagi bertanya." Kata Aidan menatap kakeknya dengan picingan mata.
Liam tertawa karena tebakannya benar, "Livia memang segalanya untukmu ya? Tapi, gadis itu memang pantas mendapatkannya, dia gadis yang sangat baik dan tulus. Kakek harap kamu jangan pernah menyakitinya apalagi sampai meninggalkannya." Pinta sang Kekek pada cucunya.
Seketika pikiran Aidan melayang ke surat perjanjian pernikahannya dan Livia yang di buat oleh ayah mertuanya sendiri, Bima. Perjanjian yang harus Aidan patuhi karena dia telah menandatanganinya.
"Entahlah Kek ..."
"Apa maksudmu dengan entahlah? Kau berniat meninggalkan Livia, hah?" Tanya Liam sekitar menjadi naik darah.
"Sebenarnya aku tidak ingin, tapi aku tidak bisa menjanjikan hal kedepannya, Kek."
Liam tidak mengerti dengan Aidan yang berkata demikian. Tatapan cucunya kosong ketika mengatakannya, sebenarnya apa yang terjadi?
"Sepertinya kau butuh istrahat, Aidan. Pulanglah, kau bisa libur bekerja untuk hari ini." Liam memberi izin.
"Terima kasih, Kek. Kalau begitu aku pamit pulang dulu, assalamualaikum." Aidan bangkit dan keluar dari ruangan kakeknya.
Sementara itu, Liam mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.
"Halo, Tuan?" Sapa orang di seberang telfon.
"Halo, Yoan. Kamu punya tugas baru."
***
Livia dan Aidan tak sengaja berpapasan saat berada di kampus. saat itu Livia hendak ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang dia pinjam dan Aidan yang sedang membawa surat-surat pengunduran dirinya untuk dia serahkan kepala universitas.
"Mas- Pak Dosen?" Sapa Livia yang secepatnya meralat ucapannya kala tak sengaja memanggil Aidan dengan Mas.
"Hahah ... Kenapa kamu jadi seformal itu? Panggil Mas saja, sebentar lagi kan aku akan berhenti jadi dosen." Jelas Aidan.
"Mas marah ya, sama aku?"
"Loh, kok tiba-tiba jadi bertanya itu? Nggak, mana mungkin Mas marah sama istri mungil ku hm?" Aidan mencubit gemas dagu Livia membuat gadis itu tersenyum, "Oh, ya kamu ingin kemana?"
"Aku mau ke perpustakaan untuk mengembalikan buku pinjaman, Mas. Mas kau antar berkas pengunduran diri ya?" Tanya Livia balik.
"Hm, rencananya seperti itu. Ya sudah kita ketemu lagi saat pulang, kamu semangat belajarnya!" Menyemangati Livia dengan mengangkat satu tangannya yang di kepal ke udara.
Livia terkekeh lalu menjadi, "Pasti, Mas."
Dan kedua orang itu berpisah. Livia melanjutkan perjalanannya menuju ke perpustakaan. Dia pun mengembalikan buku yang dia pinjam namun, tak langsung pergi dari sana. Dia duduk di salah satu kursi dengan tatapan melamun. Hingga dua orang datang dan mengangetkan Livia.
"Hoi, melamun aja, kenapa?" Itu adalah Diana dan Kian yang sebenarnya mengikuti Livia sejak tadi. Namun, ketika melihat sahabatnya melamun mereka berdua menjadi kebingungan dan bertanya satu sama lain. Tapi, tak ada satupun yang tau penyebabnya.
"Hei, kalian di sini? Pasti mau pinjam buku ya?" Tebak Livia sama dengan mengalihkan pembicaraan.
"Tadi kami tanya, kamu kenapa melamun? Kalau ada masalah cerita aja sama kami kali, Vi," kata Diana yang dia angguki Kian.
Namun, Livia masih tetap diam.
"Iya, kamu kenapa sih? Dari tadi kami perhatikan dari jauh loh, kayak ada beban berat yang kamu simpan sendiri. Ayoklah cerita, kita kan sahabat?"
"Nggak ada apa-apa kok, kalian tidak perlu khawatir." Geleng Livia.
"Kami tau kamu lagi bohong, gak salah kita udah bersahabat lama Vi." Kian menambahkan.
Livia pun menghela napas berat. Percuma saja dia menutupinya karena kedua sahabatnya pasti akan terus menerus bertanya padanya.
"Mas Aidan akan berhenti menjadi Dosen."
Sontak penyataan Livia membuat Kian dan Diana saling tatap dengan mata bulat tak percaya mereka.
"Yang serius dong kalau biacara, Vi?" Kata Diana memukul meja karena refleks.
"Itu tiga gadis di sana kalau mau berisik tolong keluar, di sini bukan yemoati bergosip ya!" Suara teguran dari wanita staff perpustakaan bersuara dengan menunjuk komplotan Livia dkk.
"Maaf, Buk. Kami nggak akan berisik lagi kok," jawab Kian tersenyum canggung.
"Jadi gimana?" Diana bertanya dengan nada berbisik.
Livia pun menunduk dan ikut bersuara berbisik, "Dia akan fokus bekerja di perusahaan kakeknya jadi berhenti jadi Dosen." Jelasnya.
Kedua sahabatnya saling mengangguk paham dengan ber- oh ria
"Pasti yang menyuruh Aidan keluar dari sini Kekeknya, ya?" Tebak Diana.
"Bukan kok, aku sendiri yang menyuruhnya berhenti jadi Dosen." Terang Livia yang membuat reaksi Kian menatapnya horor. Berbeda dengan Diana yang berteriak.
"Lah, jadi ini salah kamu sendiri toh!"
Kian yang ada di samping Diana langsung membekap mulut itu.
"Hussst, tolong diam okey?" Livia menaruh jari telunjuknya di bibir menyuruh Diana.
"Maaf maaf, kecoplosan permisi." Meminta maaf karena perbuatannya, "Habisnya sih, kamu gemas aja."
Kepala staff perpustakaan melirik mereka seperti malaikat pencabut nyawa. Mereka memutuskan untuk diam karena sudah mendapat dua peringatan.
"Halo, hai, teman-teman! Kalian tungguin aku ya?"
Mata ketika gadis itu langsung menoleh pada laki-laki yang baru muncul di hadapan mereka dengan suara keras.
"Astaga Rio!" Pekik ketiganya.
"Kalian berempat tau pintu keluar kan? Silahkan, sebelum saya datang dan menyeret kalian keluar dari sini."
-Bersambung....