"kita mau pergi kemana, Mas?"
Livia bertanya ketika Aidan membawanya keluar rumah tanpa memberitakan tujuan kemana mereka akan pergi saat ini. Pagi itu, Livia hanya di suruh bersiap-siap dan hanya perlu mengikuti Aidan saja.
Livia masuk ke mobil dan duduk dengan tenang. Dia menoleh pada Aidan lagi, "Mas, kok pertanyaanku gak di jawab, sih? Kita mau kemana, hm?" Menggoyangkan bahu Aidan dengan memperlihatkan wajah kesalnya.
Aidan akhirnya terkekeh lalu menjawabnya, "Ke banyak tempat, Vi. Ini hari libur, sepatutnya kita juga pergi berlibur, kan? Jadi kamu hanya perlu nikmati semuanya, ok." Kata Aidan menepuk kepala Livia, "Kita berangkat."
Mobil bergerak meninggalkan rumah. Sepanjang perjalanan Livia tersenyum, Aidan memanglah suami impiannya. Laki-laki itu tau kalau Livia perlu reflesing untuk menghilangkan beban-beban saat kuliah juga kehidupannya.
"Mas, masih ingata tidak?" Livia mengajak Aidan untuk mengingat.
"Ingat apa?"
"Waktu kita pacaran dulu, pernah tidak Mas ajak aku keluar jalan-jalan?" Aidan melirik Livia mendengar pernyataan itu.
"Hm, seingat Mas nggak pernah kan? Haha ... Kenapa malah ungkit masa lalu?" Kekehnya.
"Karena ini kenangan, Mas. Tau tidak betapa kesalnya setiap aku meminta Mas untuk keluar selalu saja di tolak. Alasannya inilah - itulah, pokoknya gak ada habisnya. Kesel banget aku." Livia merenggut dengan bibir yang cemberut.
Aidan yang fokus menyetir harus terpecah karena sekarang dia mengingat hal itu.
"Tapi, alasan Mas memang masuk akal. Waktu itu umur kamu masih terlalu muda. Bagiamana kalau orang-orang berpikiran Mas sedang membawa anak kecil?"
"Oh, jadi Mas gak mau sama anak kecil ini? Huh, kalau tau alasan yang sebenarnya ini, aku akan ngambek pasti." Livia memukul lengan Aidan untuk melampiaskan kekesalannya.
Lampu merah membuat kendaraan berhenti, begitupun dengan Aidan.
Sekarang laki-laki itu punya waktu untuk berbicara dengan Kana tanpa fokus menyetir, "Bukan begitu, Livia. Sebenarnya alasan Mas menolak karena gak mau kamu seperti gadis berpacaran pada umumnya. Mereka sangat bebas dan pola pikir telah rusak dengan gaya hidup mereka ketika telah mengenal dua hal yang beda tipis. Cinta dan Nafsu. Dua hal ini sangat sulit untuk di bedakan, apalagi anak-anak SMA adalah masa remaja dengan tingkat penasaran sangat tinggi. Mereka sering mencoba apa saja yang menurut mereka baru, jadi sangat perlu diantisipasi."
"Kan, ada baiknya kita berpacaran tapi, menjaga satu sama lain. Saling mendukung walau tidak harus bertemu."
Livia berkedip beberapa kali. Yang Aidan katakan benar. Livia sering mendengar waktu SMA dulu, para gadis rela melakukan apa saja demi tetap bersama dengan pacar mereka termasuk ke hal negatif. Livia tak bodoh untuk memahaminya, karena dia juga sering menjadi tempat curhatan para gadis yang sakit hati oleh pacar mereka. Jadi otomatis dia tahu.
"Hei, kenapa malah melamun. Nggak marah lagi kan?" Aidan mencubit gemas pipi Livia yang sedang bengong.
Livia mengangguk, "Nggak lagi kok. Aku ingin bilang, terima kasih karena sudah menjagaku selama ini." Memeluk Aidan dengan erat, merasakan kehangatan dalam pelukan itu.
"Baguslah, sekarang kita pergi."
Mobil kembali melaju di jalan raya. Ketika itu, semua masih baik-baik saja. Livia dan Aidan mengobrol hal-hal lucu dalam mobil namun, tiba-tiba obrolan mereka terhenti ketika mobil menabrak seseorang.
"Aaaakh!" Jerit Livia yang shock.
Mobil berhenti.
Begitu juga dengan Aidan yang langsung turun dari mobil untuk mengecek nya. Livia tak menunggu di dalam dan ikut keluar untuk melihatnya. Lagi-lagi dia memekik ketika melihat seorang anak kecil terbaring lemah di aspal dengan darah yang mengalir mewarnai wajahnya.
"Tolong bertahan ya, Nak. Kita ke rumah sakit!" Aidan mengangkat tubuh anak kecil itu dan membawanya masuk ke mobil.
Lalu ketika dia akan masuk, Aidan melihat Livia masih mematung di luar dengan mata ke arah darah yang berceceran di aspal.
"Sayang, ayo cepat masuk. Kita harus membawanya ke rumah sakit." Aidan menyadarkan Livia.
"I-iya... " Livia berlari kecil masuk ke mobil. Namun, dia duduk di kursi belakang menemani anak itu.
Kendaraan berjalan menuju rumah sakit dengan cepat, namun Aidan tetap hati-hati.
"Sabar, ya Sayang. Tetap buka matamu, bertahanlah ..." Kana mengajak anak laki-laki itu berbicara agar tetap membuka matanya.
"Mama ..." Livia menangis melihat anak itu memanggil dirinya dengan sebutan mama. Anak itu pasti mengira dirinya adalah mama nya. "Ma- mama jangan ti- tinggalin Reno ya? Reno janji akan jadi anak yang bisa membuat Mama bahagia."
Anak laki-laki yang teryata bernama Reno menggenggam tangan Livia kuat.
"I- iya Sayang. Mama nggak akan tinggalin Reno kok. Makanya Reni harus bertahan ya, please..." Air mata Livia jatuh ke pipi Reno. Dia mengusap wajah anak itu yang terkena darah.
Beberapa menit kemudian akhirnya mereka sampai di rumah sakit, Aidan kembali menggendong Reno. Kini anak laki-laki itu telah mendapatkan perawatan dan sedang di periksa oleh dokter.
Aidan yang dari tadi merengkuh tubuh istrinya. Livia terus menangis dengan tubuh yang gemetaran.
"Kita doakan bersama semoga anak itu baik-baik saja. Kamu jangan menangis lagi," Aidan menenangkan Livia.
"Aku takut, Mas."
Aidan semakin mengeratkan pelukannya.
Setalah beberapa saat menunggu, akhirnya dokter yang memeriksa keluar dari ruangan. Livia maupun Aidan segera menghampiri dokter tersebut.
"Kalian keluarga pasien?" Tanya sang dokter.
Aidan memandang Livia sebentar, "Ya, Dokter. Aku pamannya. Bagiamana keadaannya, Dok?" kata Aidan.
"Kita bicara di ruangan, mari ikut saya." Sebelum Dokter itu melangkah pergi livia memanggilnya, "Ya?"
"Bo- bolehkah aku masuk dan melihat kondisi Reno Dok?" tanah Livia
"Oh, silahkan. Tapi, pasien masih dalam pengaruh obat bius, sebentar lagi dia akan bangun."
"Baiklah, Dok. Terima kasih," Livia mengulum senyum tipis. Dia menatap Aidan, "Kamu ikutlah bersama dokter aku akan masuk ke dalam," menepuk pundak Aidan sebelum akhirnya dia masuk ke ruangan Reno.
Aidan mengikuti langkah Dokter yang bernama Erik itu ke dalam ruangannya. Sosok dokter yang tidak terlalu tua, umurnya sekitar 40 tahun. Kini mereka duduk berhadapan.
"Jadi bagaimana, Dok?" Tanya Aidan tak sabar mendengar hasilnya.
"Pasien ternyata buta, dan karena benturan yang terjadi pada otak belakangnya mungkin pasien akan mengalami lupa ingatan sementara."
Aidan tak menyangkah jika anak itu adalah seorang yang tak bisa melihat dunia. Dan Aidan tambah merasa bersalah karena akibat tabrakan itu, Reno mengalami lupa ingatan sementara. Itu artinya dia juga tak bisa mengingat keluarganya.
Livia berada di dalam ruangan Reno, melihat anak itu belum membuka mata, seperti tertidur sangat lelap.
"Reno, maafkan Tante dan Om ya? Kami pasti akan bertanggung jawab untuk hal ini."
-Bersambung....