"Mas, aku mau minta izin," Livia yang duduk di samping Aidan sedang fokus menonton sebuah siaran di televisi teralihkan karena tiba-tiba Iivia menggenggam tangannya.
"Izin untuk apa, Vi?" Mengelus punggung tangan Livia dengan lembut.
"Hm, hari ini aku mau pergi kerja tugas kelompok, Mas."
"Itu yang dari tadi ingin kamu katakan? Sampai-sampai wajahmu pucat?" Selidik Aidan memperdalam tatapannya pada Livia.
Aidan memang sejak tadi mengamati perubahan gadis itu. Mulai sering mengikutinya, sering melamun dan pucat seperti sekarang. Ternyata takut untuk meminta izin?
"Hehe ... Aku takut kalau Mas marah dan gak izinin. Jadi aku baru bilang sekarang." Kekeh Livia.
Aidan menepuk jidat mendengarnya, "Ya Ampun ... Lain kali kalau ada apa-apa bilang ya. Mas akan izinkan jika memang penting. Apalagi ini kan tugas kuliah, apa alasan Mas mau larang kamu coba?"
Livia mendesah lega mendengarnya. Ternyata pikiran Livia tentang Aidan yang akan melarangnya atau bahkan marah padanya, hanya ketakukan yang tidak terjadi. Aidan sangat baik padanya.
"Kerja kelompoknya kapan?" Tanya Aidan.
"Jam 2 siang, Mas."
"Vi, serius? Ini udah setengah 3 loh. Aduh Vi - Vi, kamu sekarang siap-siap, Mas anterin ke tempat kerja kelompok kamu."
Titah Aidan segera di laksanakan Livia. Gadis itu kembali ke kamar dan bersiap-siap secepat yang dia bisa. Livia membawa apa yang perlu dia bawa untuk tugasnya, memastikan tidak ada yang ketinggalan sekali lagi dan Setelah selesai, gadis itu turun ke bawah dan menemui Aidan. Tak menunggu lama Livia dan Aidan pun berangkat ke tempat tujuan Livia.
Perjalanan yang memakan waktu 20 menit akhirnya Livia sampai.
"Mas gak usah jemput nanti. Pulangnya Livia naik bus umum aja, ya?" Kata Livia sebelum turun dari mobil.
"Nggak masalah, Vi. Mas akan jemput kamu, pulangnya jam berapa?"
"Nggak usah, Mas. Livia akan pulang sendiri, oke. Tunggu saja di rumah, sebelum magrib pasti sudah sampai di rumah." Livia mengangguk menyakinkan sang suami jika dia bisa pulang dengan sendirinya.
"Huh, baiklah. Hati-hati, telfon Mas jika terjadi sesuatu." Pintanya mengusap wajah Livia.
Setelah Livia menyalami tangan Aidan, Livia turun dari mobil dan melambai. Mobil itu pun akhirnya pergi dari hadapannya. Livia berbalik dan hal yang pertama kali dia lihat adalah sebuah bangunan yang bertuliskan Kedai sehati. Kedai yang mengutamakan kesejukan, hampir semua halaman di tumbuhi bunga-bunga indah. Kedai pilihan Rio sangat bagus, Livia bahkan tak tau ada kedai secantik itu.
Gadis itu mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam kedai. Dan lagi-lagi dia kembali terkesima karena di dalam kedai tak ada kursi melainkan rumput jepang seperti sebuah lapangan bola yang lantainya semua adalah rumput Jepang. Livia mengedarkan pandangan dan melihat para pengunjung duduk di bawah dan menikmati pesanan mereka. Tak jarang ada yang berbaring di rumput itu.
"Kedai ini sangat bagus ya? Belum pernah aku jumpai kedai unik seperti ini. Nuansa yang di hadirkan sangat asri dan sejuk. Bahkan dirinya seperti di dalam rumah kaca yang banyak di tumbuhi berbagai macam tanaman bunga.
"Hei, Vi! Kami di sini!' sebuah teriakan menyadarkan Livia dari rasa keterkejutannya. Orang-orang yang memanggilnya tak lain dua teman kelompoknya, Erni dan Rio. Sudah di pastikan mereka telah menunggu kedatangannya. Livia terlambat 1 jam lebih.
"Ada urusan penting ya, kok lama banget?" Tanya Erni saat Livia tiba di hadapannya dan Rio.
"Pasti ada urusan lah, gak mungkin gak ada ya, kan? Udah, ayo duduk Vi, kita langsung diskusikan tugas aja." Rio menyaut menghentikan pertanyaan yang akan di lontarkan Erni lagi pada Livia.
Livia duduk dan menatap Erni. Terlihat sekali wajah Erni yang belum sepenuhnya kembali. Mungkin kesal karena Livia sangat lama, "Maafin ya karena aku lambat, Erni. Tadi aku harus izin dulu, karena aku gak bisa keluar rumah tanpa izin."
"Oh, gitu. Ya udah gak masalah, kita memang beda, kalau aku mau keluar ya keluar aja. Gak usah izin sana ortu juga mereka gak marah. Aku anak bebas hehe," Erni mulai mengerti dan berangsur-angsur berubah seketika.
"Makasih, pengertiannya Er." Livia tersenyum di sambut senyuman balik dari Erni.
"Baguslah kalian udah baikan. Jadi kita bisa langsung mulai kerjain tugasnya dengan damai. Btw kalian mau makan atau minum apa, biar hari ini aku traktir deh? Biar kita makin enak kerjain tugasnya." Tanya Rio bersemangat.
"Hm, boleh juga. Persenin makan dan minum terenak deh." Sahut Erni lalu menatap Livia. "Kalau kamu, Vi?"
"Coklat moca dan pisang keju aja," jawabnya setelah melihat brosur yang tertempel di dinding kedai.
"Oke, tunggu bentar ya!" Rio bangkit dan menuju ke tempat pemesanan untuk memesankan kedua temannya.
Proses pengerjaan tugas itu akhirnya selesai sebelum Adzan Magrib berbunyi. Livia pun berniat pulang lebih dulu karena sesuai janjinya pada Aidan tadi.
Livia berdiri setelah selesai berberes- beres. "Aku pulang duluan ya, udah mau malam." Kata Livia pada dua temannya yang masih duduk.
"Oh, biar aku antar ya, Vi. Kamu pasti gak bawa kendaraan ke sini kan?" Tanya Rio sekaligus menawarkan tumpangan pada Livia.
"Eh, terima kasih, tapi gak usah Rio. Aku pulang naik bus umum kok, lagipula gak terlalu jauh dari rumah. Erni, aku duluan ya," melambai pada dua orang itu.
"Hati-hati!" Balas Erni pada Livia tabg telah berlalu.
"Hais, belum berhasil, padahal dengan sedikit bujukan lagi Livia pasti mau pulang bareng aku!" Omel Rio menendang angin.
"Yaelah, usaha yang gencar dong! Sana susul, siapa tau ada kesempatan kan?"
Mendengar kata-kata Erni, Rio langsung tersenyum sumringah. "Kamu benar juga. Oke, aku duluan ya, bye!" Rio memakasi tasnya cepat lalu berlari keluar kedai.
Lagi-lagi Livia mendesah kasar karena sudahnhampir jam 7 tapi, belum ada tanda-tanda bus yang dia tunggu muncul. Mana handphone nya lobet lagi, dia tak bisa mengabari Aidan karena tak bisa menepati janji untuk pulang cepat.
'Tit Tit!'
Suara klakson kendaraan mengalihkan pandangan Livia dari lantai. Dia melihat sebuah mobil sedang terparkir di hadapannya saat ini.
"Ngapain kamu sendirian di situ?"
"Oh, Kak Woni? Ah, anu kak. Aku lagi nungguin bus umum, mau pulang ke rumah." Livia cukup terkejut jika Woni mengenalnya. padahal Livia memakasi topi dan menutupi hampir setengah wajahnya ketika menunduk tadi.
"Ini udah hampir malam, ayo naik, aku antar kamu pulang." Putus Woni tanpa pikir panjang.
"Eh, nggak usah Kak. Aku nungguin Bus aja, nggak apa-apa kok."
"Buruan naik gak, atau mau kuseret masuk?" Ancam Woni membuat mata Livia membulat penuh.
"Nggak usah kak, aku bisa sendiri!" Livia pun naik ke mobil seniornya itu dengan perasaan tak enak.
-Bersambung....