"Akhinya hari ini kita bertiga ngumpul juga ya? Kengen tau ...." Diana langsung merangkul Livia dan Kian bersamaan.
Saat itu mereka sedang berada di taman kampus di saat jam istirahat mereka yang bersamaan.
"Iya nih, walaupun kita bertiga satu kampus susah, tapi banget ngumpul lengkap kayak gini. Coba aja kamu ambil jurusan yang sama dengan kami, Di." Kata Kian di balas decakan kesal dari gadis itu.
"Yah bagus, entar bakalan muncul di majalah dunia. Pakaian trend fashion masa kini adalah baju pemulung, gelandangan! Buatan siapa coba? Gue lah!"
Livia dan Kian sontak tertawa karenanya.
"Gimana ceritanya orang yang bukan bakatnya di paksa masuk ke situ. Gile kali lu?" Diana menoel kepala kian.
"Hahaha ... Kan yang sering ngeluh jarang ngumpul kamu kan, Di? Mungkin memang itu cara satu-satunya," Livia ikut dalam pembahasan.
"Ah, udahlah. Kalian berdua udah puas kan, tertawanya?"
Kompak kian dan Livia bertos ria senang mengerjai Diana. Hal itu memang menjadi kebiasaan mereka saat SMA dulu.
"Eh, bagaimana kalau setelah pulang kampus kita bertiga jalan-jalan. Kapan lagi coba, kita bertiga ngumpul lagi?" Usul Diana semangat.
"Hm, kalau soal itu aku harus ... Kalian tau kan, aku udah gak sebebas dulu? Huh, aku gak yakin bisa ikut." Livia tersenyum kecil.
"Kita berempat maksudnya. Aidan juga ikut jalan-jalan bereng kita," ralat Diana yang langsung di angguki Kian.
"Nah, bener tuh. Gimana Vi?" Kita bertanya dengan tatapan berharapnya.
Cukup lama Livia menjawabnya, "Aku akan tanya dulu. Ku usahakan, tapi gak janji ya?"
"Oke oke, gak masalah Vi." Balas kedua sahabatnya yang mengerti keadaan Livia.
Saat ini, waktu telah menunjukkan jam pulang kampus. Livia biasa menunggu Aidan di dekat parkiran. Namun, hari itu sudah cukup lama dia menunggu tapi, Aidan belum juga menampakkan diri. Livia pun masuk ke dalam gedung para dosen berbuat mencari keberadaan Aidan.
"Pak, permisi aku ingin tanya boleh?" Livia menghentikan seorang pria tukang kebun yang sering dia lihat sedang berjalan di hadapannya.
"Ya, Neng. Mau tanya apa ya?"
"Hm, Bapak tau tidak ruangan Pak Aidan?" Tanya Livia.
"Oh, ruangan Pak Aidan ada di lantai dua nomor 23, Neng." Jawab Tukang kebun itu.
"Terima kasih, Pak. Aku permisi dulu," Livia tersenyum kecil lalu pergi dari sana. Dia terus berjalan dan naik ke lantai dua untuk mencari ruangan Aidan. Hingga dia menemukan ruangan tersebut.
Livia mengetuk pintu dan mendapat jawaban dari dalam. "Masuk."
Livia sedikit terkejut mendengar suara itu adalah suara perempuan. Untuk memastikan, dia masuk ke dalam sana.
"Ibu Karin ngapain di sini?" Tanya Livia spontan. Melihat dosen pendidikan karakter sedang berada di ruangan Suaminya tentu saja timbul rasa curiga. Namun, dia tak menemukan Aidan di sana.
"Loh, kok kamu lancang bertanya seperti itu pada saya? Apa kamu lupa saya dosen di sini dan kamu mahasiswi? Sungguh tidak sopan, nilai karaktermu itu sangat rendah," Karin menatap tidak suka pada Livia.
"Maafkan ucapan lancang aku, Buk. Aku ke sini untuk mencari Mas- ah maksudku Pak Aidan, buk." Livia mengutuk dirinya ketika mulutnya kelepasan.
"Ada urusan apa kamu dengan, Pak Aidan? Jika tak ada urusan penting lebih baik kamu pergi," kata Karin masih dengan tatapan yang sama.
'Hello, aku ini istrinya, ibu!' Inginnya Livia berteriak sekencangnya biar dosen itu tahu jika dia lebih berhak menanyakan keberadaan suaminya.
"Aku ingin - "
"Vi? Kenapa kamu di sini?"
Livia menoleh kebelakang dan menemukan Aidan di sana. Livia tersenyum gugup lalu menjawab, "Aku ke sini karena seseorang menyuruhku datang. Katanya Pak Aidan mencariku, ya?" Dari tatapan mata Livia dan Aidan mereka sedang melakukan telepati (Berbicara dari batin ke batin.)
"Ya Ampun saya baru ingat. Ada surat yang ingin bapak berikan sama kamu. Sementara Bapak cari suratnya, boleh kamu tunggu di luar sebentar?" Tanya Aidan menepuk jidat.
"Oh, baik Pak. Permisi," Livia menundukkan kepala pada Karin juga Aidan lalu melenggang keluar.
"Ekhm. Ibu Karim sudah dapat buku itu?"
"Apa, Ibu? Bisa- bisanya kamu memanggilku begitu, Aidan. Aku kira kita sudah mengenal cukup lama."
Dalam hati Aidan menghela napas. Kenapa dia bisa lupa dengan itu.
"Maafkan saya, Karin. Ini faktor tugas-tugas mahasiswa sangat banyak yang harus saya periksa, makanya saya lupa. Oh ya, bagaimana buku yang kamu cari, sudah ketemu?" Jelas sekaligus jawabannya.
"Kamu benar juga, Aidan. Aku belum mendapatkan buku karakter itu, padahal aku yakin tak sengaja tertinggal di ruangan ini." Jawab Karin dengan wajah yang sedih. Tak lama sebuah ponsel berdering keras, itu ponsel Karin. Wanita itu melihat sebentar pada ponselnya tak lama, "Mungkin lain kali saja aku mencarinya. Aku duluan ya," langsung berpamitan lalu pergi.
"Oke," balas Aidan. Dia men()fuga mungkin Karin ada urusan mendadak atau semacamnya.
Beberapa saat kemudian Aidan keluar dari ruangannya. Dia melihat sosok Livia sedang duduk di sebuah kursi yang berada dmgak cukup jauh dari ruangannya. Gadis itu tak menyadari keberadaannya karena sedang menunduk.
"Vi?" Panggilnya. Gadis itu mengangkat wajahnya lalu kemudian berdiri. "Maaf membuatmu lama menunggu. Aku ke ruang dekan karena sesuatu hal jadi, tak sempat mengabari mu. Dan masalah wanita di ruanganku itu ...."
"Dosen pendidikan karakter yang sedang mencari bukunya?" Lanjut Livia memotong ucapan Aidan.
"Yah, Seperti itu. Aku harap kamu tak salah paham," menggenggam tangan Livia dan menatapnya dalam.
"Kenapa aku harus salah paham? Alasannya sudah cukup jelas, ayo pulang aku sudah lapar," memeluk lengan Aidan.
Aidan merasa lega karena Livia tak seperti gadis yang dia pikirkan, "Baiklah terima kasih pengertiannya istriku. Kita berangkat pulang."
Keduanya berjalan beriringan. Suasana kampus yang mulai sepi membuat mereka tak perlu memikirkan ada yang melihat mereka berdua. Lagi pula Livia tak masalah jika orang lain tahu dia teoah menikah dan suaminya adalah Aidan.
Namun, Aidan sendiri tak membiarkan status mereka berdua terbongkar. Alasannya tak lain adalah, Livia. Gadis itu masih sangat muda, entah bagaimana jadinya jika statusnya di ketahui teman-temannya yang lain? Mungkin Livia akan menerima tekanan pada dirinya, yang membuat Livia terbebani dan stres.
"Astagfirullah, aku lupa!" Kata Livia tiba-tiba dan menghentikan langkahnya.
"Ada apa Vi?" Tanya Aidan yang terkejut langsung memegang bahu Livia dengan wajah khawatir.
"Itu, sebenarnya aku ingin meminta izin, Mas. Kedua sahabatku mengajak kita berdua pergi jalan-jalan hari ini. Kami sudah lama sekali tidak berkumpul bersama jadi hari ini rencananya kami- ah maksudnya kita berempat pergi. Mas tidak keberatan?"
Aidan bernapas panjang sempat mengira ada sesuatu yang buruk, "Tentu, Vi. Apapun untuk istri Kecilku, ini. Ayo pergi." Memeluknya dengan perasaan yang lega sejenak lalu membawa Livia pergi.
-Bersambung....