Chereads / Suami impian / Chapter 17 - Ikhlas

Chapter 17 - Ikhlas

Livia sedang bersama Kian menuju ke kantin kampus setalah jam mata kuliah pertama berakhir. Yah, tidak salah lagi. Mereka akan mengisi perut yang sudah kelaparan meminta makanan. Mereka tiba di kantin dan suasana ramai serta sedikit gaduh terdengar dari kerumunan orang yang sedang berkumpul di ujung ruangan. Hampir semuanya berada di sana namun, beberapa di antaranya memilih untuk tenang dan menikmati pesanannya sebelum jam mata kuliah selanjutnya masuk.

"Ada apa ya, Ki? Kok di sana gaduh banget?" Tanya Livia pada sahabatnya karena tak bisa di pungkiri dia penasaran.

"Mungkin ada perkelahian kali yak? Ah udahlah, dari pada nebak mending kita langsung ke sana lihat langsung!" Kian langsung menarik tangan Livia mendekati kerumunan orang itu.

Mereka berusaha menerobos masuk lebih dalam, dan akhirnya berhasil meski masih terhalang oleh beberapa orang yang berada paling depan. Tapi, Livia bisa melihat sosok Rio yang sedang di kelilingi beberapa senior laki-laki.

"Lo masih junior tapi, udah berani banyak tingkah ya?" Laki-laki berambut cepak menoyor kepala Rio hingga terbentur di dinding. "Kenapa mata Lo kayak gitu? Marah sama gue, hah?"

'Memangnya Rio udah buat masalah apa sampai terjadi kayak gini?' pikir Livia dalam hati. Lalu dia menoleh pada Kian yang ada di sampingnya.

"Ja-jangan lihat aku kayak gitu aih! Aku gak tau apa-apa, kan tadi kita barengan datangnya?" Jawab Kian paham arti tatapan Livia.

"Kita harus gimana nih? Rio kan teman kita." Livia menjadi khawatir.

"Ya, aku juga nggak tau gimana, Vi. Kita gak mungkin lawan senior-senior itu kan?"

Livia menoleh kembali melihat ke depan sana.

Rio memang diam tapi, sorot matanya menggambarkan apa yang dia rasakan. Yaitu kemarahan yang akan meluap karena di perlakukan seperti itu di tengah banyak orang. Rio berdiri dengan menggebrak meja makan dengan keras.

"Oh, Bos, sepertinya bocah itu berani lawan tuh," laki-laki lain yang di duga anak buah dari laki-laki berambut cepak itu. Dia sedang memanas-manasi keadaan."Hajar aja Bos Danil!" Teriaknya pada laki-laki cepak yang ternyata bernama Danil.

Keriuhan semakin terdengar kala beberapa di antara orang-orang di sana malah mendukung terjadinya perkelahian. Mereka bersorak-sorai ramai dengan serempak mengatakan, 'Lawan-lawan- lawan!' terus menerus.l

Danil telah tersiar untuk maju menyerang. Sementara Rio memasang kuda-kuda dan kepala tangan siap melayang menghantam wajah.

"Ayo, maju Lo! Walaupun Lo senior bukan berarti Lo bersikap seenaknya ya! Ku kira gue takut, hm?" Tantang Rio tergelak tawa yang keras.

"Bocah ingusan, hiyaaaa!" Teriak Danil dan maju dengan membawa tinjuannya.

Bugh! Brak!"

Tinjuan Danil berhasil menghantam pipi kiri Rio hingga menabrak meja makan mahasiswa lain hingga semua yang ada di atas meja berhamburan kemana-mana. Rio tak tinggal diam dia berdiri dan maju melawan. Hingga mencetak dua tinjuan di pipi dan perut Danil, laki-laki itu jatuh ke lantai.

Dan perkelahian makin besar karena pasukan-pasukan Danil maju mengeroyok Rio.

"Cukup! Hentikan atau kalian akan mendapatkan sanksi di keluarkan dari kampus karena berkelahi! Kalian bisa apa? Walaupun kalian senior di sini, pemimpin tertinggi tetap pemilik universitas kan?" Kekeh Livia, gadis berani yang baru saja berucap.

Danil diam tapi, Livia yakin laki-laki itu sedang mengirimkan sumpah serapah kepadanya karena lancang menghentikan perkelahian itu. Livia tak peduli jika seniornya itu marah, dia pikir telah melakukan hal yang baik.

"Apa yang terjadi di sini?"

"Urusan kita belum selesai, ayo cabut!" Danil berbicara pada Rio lalu pergi dari sana dengan anak buahnya.

Kini Livia menghampiri Rio yang terduduk lemas di lantai.

"Kamu nggak kenapa-napa? Ayo, aku bantu berdiri," Livia membantu Rio berdiri dan memapahnya, "Kita ke ruang kesehatan ya, luka kamu harus di obati," katanya lagi melihat luka sobekan di bibir dan lebam di pipi Rio.

Rio mengangguk dengan senyum kecil dan meringis di waktu yang bersamaan karena sobekan di bibirnya.

"Udah, gak usah ngomong apa-apa." Livia tau laki-laki itu ingin berterima kasih tapi, sulit berbicara.

"Aku bantuin juga ya," Kian datang dan memapah tangan Rio yang sebelah.

Mereka pun berjalan menuju ke ruang kesehatan kampus yang terletak di dekat lapangan basket. Sampai di sana, Livia juga Kian membantu Rio berbaring di tempat tidur.

"Habis berantem ya?" Tebak sosok laki-laki yang muncul dari balik tirai.

Dia Rendi, seorang senior di fakultas kedokteran dan sebagai ketua korps (Sukarelawan Palang Merah Indonesia) di kampus mereka.

"Iya, kak," Kian yang membalas dengan senyum canggung.

"Kalian boleh tunggu di luar, aku akan obati dulu lukanya," pinta Rendi pada Livia dan Kian.

"Oh, baiklah Kak. Kami keluar dulu ya, Rio." Livia menepuk lengan Rio ringan lalu berlalu keluar bersama Kian.

Sementara itu, di kamar itu Radin memulai tugasnya untuk mengobati luka-luka Rio. Saat ini dia mengompres luka lebam yang berwarna keunguan di pipi Rio.

"Aiiisss," ringis Rio ketika Rendi mengompresnya.

"Bisa gak sayangi diri Lo? Untung yang ini gak cukup parah," Rendi mendelik tajam pada Rio, yang di balas putaran mata, "Lo habis berantem sama siapa lagi, hm? Perasaan setiap sekolah hingga saat ini gue Mulu yang ngobatin luka lu."

"Siapa suruh Lo masuk palang merah, hm? Gue juga bosen kali liat muka Lo, gak di rumah, di sekolah, sampai kita kuliah. Mati aja sono!" Balas Rio sinis.

"Gak ada ahklak Lo jadi adik gue. Abang sendiri di sumpahin mati!"

Rio dan Rendi sebenarnya adalah saudara kandung. Umur mereka terpaut dua tahun namun, bukan berarti Rio hormat sama kakaknya. Sering kali mereka bertengkar hanya karena hal-hal sepele. Bukan masalah besar, karena mereka sebenarnya menunjukkan kasih sayang dengan cara mereka sendiri.

"Oh, yang tadi itu cewek yang nolak lu ya? Gue tebak yang paling depan kan?" Rendi menaikkan sebelah alisnya menggoda sang adik.

"Gue gak pengen bicarain itu, minggir gue udah gak pa-pa!" Rio bangkit dari tempat tidur dan mendorong bahu Rendi cukup kasar.

"Woho, santai bro. Gue cuman nanya kali. Ya udah, gue bakal diem asal lu baring lagi. Sobekan di bibir Lo belum gue obati." Kata Rendi menekan bahu adiknya agar kembali berbaring di tempat tidur.

Rio pun menurut dan berbaring lagi. Napasnya keluar panjang pertanda dia sedang menguasai dirinya karena tiba-tiba emosi mendengar kaakknya bertanya tentang gadis yang dia sukai.

Benar saja, Rendi diam sambil mengobati luka Rio. Dalam keterdiaman itu menimbulkan kesunyian yang cukup panjang hingga di antara mereka membuka suara.

"Gue udah menerimanya," kata Rio menutup mata. Rendi tersenyum manis mendengar ucapan itu.

"Yah, sudah seharusnya begitu. Dia sudah jadi milik orang lain." Ucap Rendi.

-Bersambung....