Chereads / Suami impian / Chapter 14 - Kehangatan Keluarga

Chapter 14 - Kehangatan Keluarga

Livia kembali ke tempat fakultas ilmu hukum untuk menemui Aidan karena acara telah selesai. Namun, gadis itu heran ketika dia tak menjumpai sosok Aidan di sana. Dia juga mencari kemana-mana namun, tak ada. Diapun menelfon suaminya.

"Halo, Mas ada di mana?" Tanya Livia saat panggilan tersambung.

"Mas tepat di belakangmu."

Sontak Livia menoleh dan sedikit mundur karena terkejut. Benar saja, Aidan tepat berdiri di belakangnya.

"Huh, aku terkejut ..." Mengelus dadanya seiring dengan napas yang keluar, "Mas, dari mana saja? Aku cari-cari kok gak ada?"

"Tadi Mas ke toilet sebentar. Maaf ya, sudah buat kamu terkejut," Aidan langsung memeluk tubuh Livia dengan erat.

"Eh, nggak usah minta maaf Mas. Aku tadi hanya khawatir kalau Mas ninggalin aku, hehe ..." Kekehnya balik memeluk Aidan.

Sejenak mereka saling diam. Beberapa saat hingga salah satu di antara mereka bersuara, "Aku mencintaimu, Mas."

"Haha ... Aku tau itu, Vi." Melepaskan pelukan mereka dan menatap lekat ke mata gadis itu, "Tapi, aku lebih mencintaimu." Ucapnya menoel hidung mungil Livia.

Mereka berdua tertawa lalu bersama-sama melangkah meninggalkan kampus.

Mereka sampai di rumah, dan memutuskan untuk istirahat setalah sepulang kampus mereka berjalan-jalan juga makan malam di luar. Dan ternyata, Livia telah terlelap dalam tidurnya di pelukan Aidan. Pelan-pelan Aidan memperbaiki posisi tidur Livia menjadi berbaring karena sebelumnya mereka berdua duduk bersandar di kepala ranjang.

"Kamu adalah gadis yang istimewa, Vi. Mas, tidak kepikiran jika kamu menerimanya namun ...."

Flashback

Di belakang taman kampus, sosok Livia sedang bersama dengan Rio, laki-laki yang baru menyatakan perasaannya pada gadis itu beberapa saat yang lalu. Dan saat acara telah selesai, Rio di ajak Livia untuk ke taman kampus. Dengan senamg hari laki-laki itu mengiyakannya.

Saat ini suasana masih hening karena belum ada satupun yang memulai berbicara. Hingga sosok Livia memecah keheningan itu.

"Maaf, Rio. Aku tidak bisa menerimamu."

"Hah? Ke- kenapa Vi? Bukannya kamu menerimaku tadi dengan mengambil bungaku?" Tanya Rio terbata-bata.

"Sebenarnya- aku telah menikah, Rio."

Mata Rio terbelalak dengan menutup mulutnya. "A- apa? Ah, kamu pasti bercanda kan?" Rio berusaha tidak percaya.

"Apa aku terlihat sedang bercada? Haha .. aku sudah menikah, tapi jika kamu tak mau percaya tidak masalah."

"Huh, aku percaya kok," Rio memandang ke atas langit-langit yang mulai menampakkan semburat kuning kemerahan, pertanda haru telah sore. "Rasanya ini sakit tak berdarah, Vi. Kalau begitu ceritanya, aku patah hati. Hahaha ...." Tawa Rio bercampur kesedihan.

"Ma- maafkan aku ...."

"Hais, ini bukan salahmu. Aku salah karena sudah menyatakan cinta pada istri orang. Jika sampai Suamimu tau, pasti aku sudah habis, Vi." Canda Rio yang berhasil membuat Livia tertawa, "Kenapa aku bisa jatuh cinta padamu hanya dengan waktu yang singkat ya?" Bisik Rio.

"Hm, kamu bilang apa barusan?" Tanya Livia karena tak mendengar jelas perkataan laki-laki itu.

"Eh, tidak-tidak. Jadi seharusnya aku harus berterima kasih padamu karena berkatmu aku tidak jadi malu di dihadapan semua orang-orang tadi. Haduh, mengingatnya memalukan sekali ya?" Rio menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya memerah karena malu.

"Sudah, itu tidak perlu di ingat lagi. Seharusnya juga aku mengembalikan bunga ini, kan? Tolong berikan ini pada yang berhak oke?" Livia mengulurkan bunga mawar pink yang di berikan Rio tadi pada pemiliknya pagi.

"Hm, baiklah. Tapi kita masih berteman, kan?"

"Hoh, pastinya!"

Flashback on

"Kamu menolaknya secara halus. Bahkan membiarkan laki-laki itu mengetahui statusmu. Kenapa kamu baik sekali, hm?" Aidan mengelus wajah Livia penuh kasih sayang. Tatapannya tak bisa beralih dari wajah cantik itu.

Hari semakin larut, Aidan akhinya tertidur sambil memeluk Livia seakan tak ingin melepaskannya.

***

Pagi yang indah dengan langit cerah. Suasananya pun sangat sejuk juga burung-burung yang berterbangan di jalanan. Livia tersenyum merekah melihatnya. Dia berada di balkon kamar sejak beberapa menit yang lalu sembari menikmati secangkir teh hangat. Dia sedang menunggu Aidan selesai bersiap-siap di kamar. Namun, tak berapa lama, sosok yang dia tunggu akhinya memunculkan diri.

"Mas, ayo sini minum kopinya dulu, udah hampir dingin loh," panggil Livia pada Aidan.

Laki-laki itu pun duduk di kursi samping Livia dengan senyuman yang menawan, "Mas mau ajak kamu ke rumah kakek sepulang kampus nanti. Kamu bisa?" Tanyanya.

"Ke rumah kakek? Wah, bisalah Mas. Aku malah sangat rindu pada Kakek," jawab Livia antusias.

"Oke, kita ke sana sebentar." Putus Aidan yang di soraki layaknya anak kecil oleh gadis itu.

"Aku sudah tak sabar ingin ke sana!" Pekiknya yang di balas gelengan kepala oleh Aidan. Hubungan Livia dan Kakek Liam memang cukup akrab. Livia menyukainya karena kakeknya sangat penyayang juga menyenangkan sih.

Hari di kampus pun selesai. Livia kini berada di mobil bersama Aidan dan sedang menuju ke rumah Kakek Liam.

"Mas, kita singgah sebentar beli bunga kesukaan kakek ya?" Pinta Livia.

"Iya, Vi. Kamu sangat bersemangat sekali. Tuh, pipinya tambah tembem," goda Aidan.

Sontak saja Livia menutup dua pipinya dengan tangannya. Bibirnya mengerucut dan ekspresinya menjadi kesal.

"Pipinya tambah tembem dan makin cantik maksud, Mas. Udah jangan di tutupi gitu dong," Kekeh Aidan karena berhasil membuat gadis itu kesal dan tak senang lagi.

Mobil menepi di sebuah toko penjual bunga di kota itu. Mereka pun membelikan sebuket bunga untuk Kakek Liam. Bunga lavender adalah kesukaannya. Setelah mendapatkan apa yang mereka inginkan perjalanan kembali berlanjut menuju ke tempat tujuan utama.

Perjalanan yang memakan waktu setengah jam lebih akhirnya sampai juga. Dengan semangatnya Livia mengambil bunga lalu turun dari mobil dengan berlari menuju rumah.

"Livia, jangan lari pelankan langkahmu!" Tegur Aidan.

Meski tak menjawab Livia menurut, terlihat dari lariannya yang mulai menurun. Di pintu telah menunggu seorang pria berusia 50 tahunan sedang tersenyum lebar. Dia tak lain adalah kakek Liam.

"Kakek!" Livia memeluk sosok itu dengan erat.

"Aduh, menantu kesayangan Kakek akhirnya datang juga," ucao Liam mengelus punggung Livia.

Livia melepaskan pelukannya dan langsung memberi sebuket bunga kakek Liam. "Ini bunga kesukaan, Kakek." Katanya riang.

"Ah, menantuku sangat baik sekali. Terima kasih."

Aidan memperhatikan tingkah Livia sangat persis seperti anak-anak umur 10 tahun. Tak bisa di pungkiri jika gadis itu memang sangat mengesankan. Tubuhnya yang mungil dan wajahnya yang cabby siapa yang tak dengannya?

"Aidan, apa kabar Nak?" Sapa Kakek Liam pada cucu satu-satunya.

Aidan tersenyum kala kakek Liam menepuk pundaknya, "Baik kok, Kek. kakek sendiri bagiamana?"

"Jauh lebih sehat. Udah, ayo masuk ke dalam, udah kakek siapin makanan kesukaan kalian."

Mereka bertiga pun masuk ke rumah dengan kehangatan sebuah keluarga yang bahagia.

-Bersambung....