Tama memarkirkan mobil itu tepat di depan rumah Lastri. Lalu, Pria tampan itu turun dari mobilnya. Sejenak dia menatap sendu ke arah rumah itu. ada rasa perih yang membuncah di dadanya. Nafasnya terasa sesak.
Sudah lebih dari tiga hari dia memutuskan untu tinggal di desa itu. dia menyewa rumah kosong milik warga yang di sarankan dewi sebagai tempat tinggal sementara. Dia masih belum rela meninggalkan desa ini terlebih setelah mengetahui kejadian naas yang menimpa keluarga tunangannya itu. setiap pagi, dia selalu mampir ke rumah ini, membunuh waktu dari pagi hingga menjelang senja. Sungguh dia sangat menyesali, kenapa dia tidak ada waktu kejadian. Setidaknya dia bisa melakukan sesuatu untuk bisa menghalangi niat buruk dari warga.
Perlahan, dia melangkah ke samping rumah itu. Tidak jauh dari sana terdapat pusara dimana terbaring jasad orang yang sangat dia cintainya. Seiring dia melangkah, hatinya bergemuruh. Pria mana yang hatinya tidak hancur melihat wanitanya mati mengenaskan karena diperkosa massal. Dan dia baru mengetahui setelah jasadnya dimakamkan. Dia tidak bisa menerima perbuatan biadap para pemerkosa itu.
Pria itu berhenti melangkah. Memorinya melayang akan dendam kesumat yang di pegang teguh oleh Raflina. Dendam akan leluhurnya yang diperbudak nafsu oleh penjajag sampai ajal menjelang. Sekarang Tama merasakan hal yang sama. Dendam mulai merambat memenuhi denyut nadinya.
Tepat di samping makan raflina, pria itu menangis. Ini semua adalah garisan takdir. Kematian Raflina adalah ketentuan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa. Tidak boleh ada dendam yang tersisa.
Bukankah Tama yang selalu bilang kepada Raflina dulu untuk menghentikan insting sesatnya? Bahwa kematian leluhurnya dulu tidak ada sangkut-pautnya dengan generasi yang sekarang. Dan semua sudah berlalu sangat lama sekali. Tentu kematian dari penjajah itu adalah awal dari balasan yang akan mereka terima atas perbuatan mereka dulu.
Tama juga harus bersikap sama dengan para pemerkosa tunangannya itu. Tidak boleh ada rasa dendam yang tersisa terlebih kekasihnya yang sudah meninggal. Biarkan karma yang akan bekerja untuk membalas semua perbuatan pemerkosa itu dengan lebih kejam. Dia tidak perlu capek-capek mengotori tangannya sendiri.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang ramai. Seketika Tama menoleh. Terlihat para warga ramai-ramai berjalan dari arah hutan. Tama tertegun apa yang mereka lakukan sepagi di hutan?
Salah satu di antara mereka mendadak merentangkan tangannya supaya langkah warga lain itu berhenti dan menunjuk ke arah di mana Tama berdiri.
"Siapa itu?" arah telunjuknya lantas diikuti oleh para warga.
"Bukannya dia adalah pacar raflina yang berasal dari kota?"
"Ngapain Dia di sana? Ayo kita samperin." timpal yang lain. lantas mereka beringsut mendekati Tama.
"Heh, anak muda ngapain kamu ke sini?"
Tama tersungut-sungut sembari memandang tajam ke arah mereka. seketika terbayang akan kelakuan biadap mereka atas keluarga Raflina.
"Seharusnya saya yang bertanya apa yang kalian lakukan terhadap keluarga tunangan saya hah!" tanya balik Tama dengan nada meninggi, menyinggung semua warga yang ada di sana.
"Eh! Kamu jangan sok-sokan ya di desa ini! masih untung kami masih membiarkan kamu hidup. karena semua yang ada sangkut pautnya dengan keturunan pelacur itu harus mampus. Apalagi sudah ketahuan kalau dia yang merampok dan membunuh keluarga Japar." bentak Naryo salah satu diantara warga yang terlihat paling ngotot.
"Saya tidak yakin kalau Bu Lastri bisa melakukan hal itu. lagipula dia adalah seorang wanita biasa. saya curiga ada salah satu diantara kalian yang sengaja menfitnah Bu Lastri sehingga terjadilah pembunuhan yang biadap ini."
Semua warga terdiam. Di dalam hati, mereka membenarkan ucapan Tama, tetapi apa mau dikata semuanya sudah terjadi dan mereka juga menghilangkan semua barang bukti atas perbuatan mereka.
Terlihat mimik muka Naryo mengisyaratkan kepanikan. Seakan ada sesuatu yang sengaja dia sembunyikan. Dia merasa bahwa Pemuda di depannya ini bukan pemuda sembarangan. Dia sangat berbahaya dengan kecerdikannya. Naryo harus mencari cara untuk menghasut warga untuk melenyapkan pemuda ini.
"Banyak omong kamu. ayo kita hajar dia!" titah Naryo kepada semua warga. Mereka bersiap untuk mengeroyok Tama. Tama tidak habis pikir kenapa warga disana sangat mudah di kompori. Dia tampak tenang sambil merogoh sesuatu yang ada di sakunya.
Mereka berhenti dan beringsut mundur saat Tama mengeluarkan sebuah pistol dari sakunya dan mengacungkannya ke arah mereka. Terlihat mereka tampak ketakutan, bahkan beberapa diantara mereka angkat tangan pertanda mereka menyerah. Mereka sama sekali tidak menyangka kalau pemuda itu memiliki senjata yang mematikan itu.
"Kenapa takut! Heh!" terdengar suara Tama yang meremehkan. Warga sama sekali tidak berkutik. bahkan tidak ada yang menanggapi perkataan Tama.
"Kalian beraninya keroyokan untuk membakar satu wanita saja. tapi menghadapi pistol saja kalian takut! Dasar pecundang!" gertak Tama yang justru membuat nyali warga menciut.
"Ampun... ampun... maafkan kami." Tukas salah satu di antara mereka dengan nada yang memelas. Sangat berbeda sekali dengan mereka yang tadi sangat beringas. Rasanya Tama ingin meludah ke arah mereka.
"Tidak ada ampun bagi kalian! Asal kalian tahu kalau aku adalah anggota dari aparat keamanan. Berani kalian melawanku, maka urusan kalian akan menjadi sangat panjang." Tama menggerakkan pistolnya dengan gerakan memutar, membuat semua warga begidik ngeri.
"Lagian kalian tidak usah khawatir. Karena aku sudah memanggil polisi untuk datang dan mengusut tuntas kasus ini. kalau terbukti bahwa mendiang Bu Lastri tidak bersalah, maka kalian yang akan saya jebloskan ke dalam penjara."
Semua warga terhenyak mendengar ucapan tersebut. Mereka saling memandang satu sama lain seakan mengisyaratkan ketakutan yang sama terlebih Naryo yang tampak resah. Dia tidak mau kalau hidupnya akan berakhir dipenjara.
"Jangan-jangan lakukan itu Pak. kami mohon." Seru mereka yang hampir bersamaan.
"Pergi kalian! Jangan pernah ganggu saya di sini!" titahnya. Lantas semua warga langsung berbalik arah dan lari kalang kabut untuk meninggalkan Tama.
Tama menghela nafas. Ternyata mental warga masih sangat lugu meski mereka telah melakukan hal yang biadap. Ternyata gertak sambalnya sangat ampuh. Dia sudah memperkirakan hal ini jauh-jauh hari. Dia harus lebih cerdik untuk melawan sebuah kezaliman. Hampir saja Tama tertawa terpingkal-pingkal di depan warga tadi. mereka tidak menyadari bahwa pistol yang di bawa oleh Tama adalah pistol mainan.
***
Sementara di tempat lain, di pinggir sungai
Japar terpaku sejenak. setelah susah payahnya menyusuri sungai, sekarang dia berhasil menemukan mayat itu. sekarang dia malah kebingungan sendiri tidak tahu harus melakukan apa. Terlebih posisi dari mayat itu yang sulit untuk di jangkau dia atas sana.
Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas membuatnya begidik ngeri. Dia sangat yakin kalau itu adalah hantu gosong Lastri. Cepat-cepat dia menarik pepohonan mirip beluntas tetapi berduri itu, Menahan rasa sakit karena duri yang menancap di telapak tangannya. Tetapi dia tidak perduli. Sesekali dia terjatuh tapi dengan sigap dia bangkit lalu memegang pohon itu lagi untuk bisa mencapai pepohonan di mana mayat itu tersangkut.
Akhirnya setelah sekian lama dia mampu untuk naik ke atas. tumbuhan yang mirip beluntas itu berjatuhan memenuhi sungai. Lalu Tama bergegas untuk menaiki pohon itu. bau busuk memenuhi indra penciumannya. Tetapi dia tidak perduli yang terpenting adalah dia bisa mengambil jasad itu.
Tiba-tiba terdengar suara batang yang retak. Japar panik. Ternyata batang pohon itu tidak kuat untuk menopang tubuh gembalnya. Buru-buru japar turun tetapi di saat yang bersamaan batang pohon itu tumbang. Japar menjerit meminta tolong. Tapi hanya kesunyian yang menyaksikannya jatuh bersama mayat itu ke arah bebatuan pinggir sungai.
Japar tewas bersama dengan mayat gosong Lastri, bercampur dengan tumbuhan yang mirip dengan beluntas tadi yang ternyata adalah tumbuhan yang sangat beracun. Mayat yang gosong itu berbaur dengan tumbuhan beracun itu dan mengalir di aliran sungai