Sekelumit persoalan sudah teratasi. Suasana desa sudah kembali kondusif. Para pelaku sudah mendapatkan ganjaran yang setimpal. Hanya Japar saja yang menghilang secara misterius.
Tama bisa bernafas dengan lega. Meski hukuman yang mereka alami itu masih belum ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang menimpa Raflina dan Bu Lastri. Hati kecilnya belum bisa menerima itu semua.
Namun sekali lagi, dia harus mengiklaskan apa yang terjadi. Dia sadar tidak ada gunanya menyimpan dendam di hatinya, itu sama saja meracuni jiwanya.
Ada sebuah keyakinan di dalam dirinya bahwa semua pasti ada balasan yang setimpal termasuk perbuatan yang belum terbalas di depan matanya pun nanti akan terjadi di kemudian hari yang mungkin bisa saja lebih parah.
Tama menyentuh batu nisan dari pusara Raflina, mengelus-elusnya seperti ketika dia lakukan semasa hidup. Dia mengerling dengan senyum penuh arti. Dikecupnya pusara tersebut sejenak, lalu dia berdiri. Melangkah meninggalkan makam itu sambil sesekali melihat ke arah nama yang tertera di batu nisannya.
Pria itu masuk ke dalam mobilnya. Ada perasaan yang tidak bisa diungkapkan oleh kata-kata. Dia menoleh ke arah rumah yang terpencil di pinggir hutan itu. Rumah yang menjadi saksi biksu betapa menderitanya Lastri dan Raflina yang menyandang status sebagai keturunan jugun ianfu yang ternyata berdampak besar hingga akhir hayat mereka yang mengenaskan.
Dia memandang rumah itu dengan pandangan penuh arti. Menyimpan lekat-lekat di dalam memori untuk di simpan sanubarinya yang terdalam. Iya, mungkin untuk kedepannya dia tidak akan kembali ke desa ini. Dia berniat untuk membuka lembaran hidup yang baru.
Pria itu menjalankan mobilnya meninggalkan rumah itu. Lalu berjalan membelah jalan di mana banyak orang-orang yang teriak kesakitan. Tapi pemuda itu tidak perduli, dia menambah laju kecepatan mobilnya supaya cepat berlalu dari desa itu.
Para Warga desa berteriak kesakitan setelah mandi di sungai desa, alirannya berasal dari hutan. Kesehariannya mereka menggunakan sungai itu untuk mandi, cuci dan terkadang kakus. Dan selama ini mereka tidak baik-baik saja. Tapi hari itu mereka aliran sungai itu seakan mengandung racun yang sangat mematikan, yang membuat seluruh tubuh mereka gatal sampai melepuh.
Mereka ketakutan dan panik, karena hampir dari seluruh warga didesa itu melakukan aktifitas si sungai itu di pagi hari.
Karena kepala desa masih sekarat, mereka pun berlarian menuju ke rumah wakil kepala desa, meminta bantuaan. Tapi ternyata berliau juga terkena penyakit gatal-gatal karena telah meminum minuman yang berasal dari sungai itu.
"Tenang bapak-bapak, ibu-ibu. Saya akan panggil dokter dari kota untuk mengobati penyakit kita ini." ujar Pak Wakades sambil menggaruk-garuk tubuhnya yang terasa gatal.
Di tengah kebingungan mereka, terlihat Dewi yang normal saja. Dia adalah satu-satunya orang yang tidak merasa gatal padahal dia juga ikut mandi di sungai. Sontak semua warga merasa keheranan dan menanyakan kepadanya kenapa Dewi bisa tidak merasa gatal.
"Aku mempunyai ramuan dari seorang dukun. Ramuan yang bisa menghilangkan penyakit kulit dalam sekejap saja. tapi sayang ramuan itu sudah habis.
"Siapa dukun itu? dimana dia tinggal?" seloroh salah seorang warga. Diiringi oleh anggukan semua orang yang berpikiran sama.
"Kalau kalian mau, maka saya akan panggil dukun itu supaya datang sore ini." imbuh Dewi
"Apa enggak kelamaan? Kenapa enggak nanti siang saja?"
"Enggak bisa, beliau bisanya Cuma sore saja. itu pun kalau kalian mau." jelasnya. terlihat para warga yang frustasi karena rasa gatal yang teramat sangat pun terpaksa mengiyakan apa perkataan Dewi. Wanita itu hanya tersenyum misterius sambil berlalu dari hadapan mereka.
Dewi pergi ke rumah yang ada di pinggir hutan itu. Tidak berapa lama, keluarlah seorang wanita yang menggunakan jubah yang hanya menampakan wajah bagian bawah.
"Mereka minta supaya dukun itu datang siang ini. tapi aku menolaknya. Aku memintanya menunggu sampai sore hari." Kata Dewi kepada seorang wanita yang berjubah itu. terlihat seringai misterius di sudut bibirnya.
"Bagus, dengan begitu mereka akan merasa sangat tersiksa. Biarkan mereka merasakan rasa sakit yang teramat sangat, meski apa yang mereka rasakan ini tidak sebanding dengan perbuatan bejat mereka." Timpal Wanita itu dengan suara ditekan penuh dendam. Dia sudah mempersiapkan pesta kejutan malam ini.
Malam pun menjelang, seperti yang sudah di janjikan oleh dewi. Seorang dukun datang ke desa itu. semua orang lantas berkumpul di depan rumah Dewi untuk mengantri sebuah ramuan yang dipercaya akan menyembuhkan rasa gatal itu.
Terlihat mereka berdesakan untuk mendapatkan ramuan yang sudah di tempatkan di atas meja. Dukun yang ternyata adalah wanita berjubah itu tampak tersenyum melihat warga berebutan ramuan yang telah di buatnya.
"Baik, sekarang semuanya sudah dapat iya. Lebih baik diminum serempak sekarang supaya penyakit itu lekas hilang." perintah Dewi. Semua warga mengangguk, lalu membuka botolnya dan meminumnya bersama-sama.
Terdengar suara burung gagak yang terbang memecahkan kesunyian malam, begitupun juga lolongan anjing hutan yang menyayat, seakan sebuah pertanda buruk.
Ramuan itu sudah mereka tenggak. Terlihat senyum mereka yang mengembang setelah meminum ramuan yang rasanya enak itu. lalu mereka kembali ke rumah masing-masing dengan perasaan tenang.
Kini hanya ada wanita berjubah itu, Dewi dan sebuah botol minuman yang tersisa di atas meja. Mereka saling pandang sejenak dan lalu masuk ke dalam rumah. Terlihat suami Dewi yang kejang-kejang. Suami dewi juga terlibat dalam pembakaran mendiang Lastri. Dewi sengaja meracuni suaminya itu sebagai hukuman yang setimpal. Dan juga sebenernya, dia sudah sangat benci dengan suaminya itu yang sering berlaku kasar kepadanya. sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Wanita berjubah itu menyodorkan botol berisi ramuan itu kepada Dewi. Wanita itu terdiam sejenak. walau agak berat pun dia terpaksa melakukan ini. dibukanya ramuan itu, dan dengan kasar langsung memasukkannnya ke dalam mulut suaminya, sehingga dia gelagapan. Tinggal menunggu lima belas menit saja supaya ramuan itu bekerja kepada suami Dewi.
"Kamu tidak menyesal 'kan melakukan hal ini?" tanya wanita berjubah itu. Dewi menoleh ke arahnya sambil menggelengkan kepala tegas.
"Bagus, sekarang kemasi barang-barangmu. Ayo kita pergi jauh-jauh dari sini." Titahnya. Dewi mengangguk dan segera mengemasi baragnya. Tidak berapa lama dia sudah siap dengan tasnya dan berjalan keluar dari rumah itu.
Terlihat semua rumah warga tampak gelap, tanda bahwa mereka sudah terlelap tidur. Mereka berdua berjalan sampai ke gapura desa tatkala terdengar suara teriakan kesakitan dari setiap rumah saling bersahutan. Tanda bahwa racun itu sudah bekerja membunuh mereka dari dalam.
Wanita berjubah itu tersenyum miring, tapi sepertinya dia belum puas dengan penderitaan para warga.
"Kamu mau kemana?" tanya Dewi ketika melihat wanita itu berjalan kembali ke desa dengan langkah lebar. Meraih obor di salah satu rumah warga. Lalu beringsut membakar rumah warga yang mayoritas terbuat dari anyaman bambu. Sehingga sekejab saja setiap rumah terbakar dengan mudah, yang semakin menenggalamkan suara pilu mereka.
Dewi menatap nanar melihat pemandangan di depannya itu, kampungnya kini menjelma menjadi kampung api. Ada perasaan yang tidak bisa dia ungkap. Sesuatu yang mengganjal hatinya.
Wanita berjubah itu melempar obornya di rumah terakhir dan berjalan ke arah dewi. Di genggamnya tangan Dewi dan di tariknya menjauhi desa itu. Terlihat tatapan mata Dewi yang masih syok.