Chereads / Tunanganku Arwah Jugun Ianfu / Chapter 33 - Pertemuan Dengan Lia

Chapter 33 - Pertemuan Dengan Lia

Beberapa bulan kemudian,

Tama berdiri diantara semua peserta yang menghadiri acara malam penghargaan tersebut, Namanya di panggil oleh para presenter sebagai Arsitek terbaik atas design rumah yang di buat. Tepuk tangan yang riuh menyambut dirinya. Pria tampan itu tampak gagahnya sedang berjalan dan naik ke panggung.

Perjuangannya selama ini membuahkan hasil. Tidak sia-sia, dia bekerja siang malam demi tercipta hasil karya yang terbaik. Sekarang terbukti semua pandangan seolah tertuju kepadanya, menepukinya dengan penuh kekaguman.

Setelah mendapatkan piala dan mengucapkan kata sambutan, dia turun dari panggung.masih terdengar suara tepuk tangan sampai dia kembali ke tempat duduknya.

Senyumnya yang mengembang berubah menjadi senyum getir tatkala dia melihat ke sisi samping kiri dan kanannya yang tidak ada seorang pun yang ada disana. Seandainya di sampingnya ada sosok Raflina dan Cindi. Mungkin semuanya akan terasa sangat lengkap.

Tama mendenguskan nafas, ditatapnya pialanya yang baru dia menangkan itu. Itu sama sekali tidak berhasrat untuk memegangnya lagi. Dadanya terasa sesak saat mengingat dua wanita yang dia cintai itu.

Setelah acara selesai, dia langsung melangkah menuju ke mobilnya. Menepis ajakan untuk saling mengobrol atau sekedar makan di luar. Tama lebih memilih untuk segera sampai ke rumahnya.

Langkahnya lebar dengan sedikit menunduk sehingga tidak begitu memperhatikan apa yang ada di hadapannya sampai dia tidak menyadari ada seorang gadis yang tengah berjalan ke arahnya.

Ah

Pekik wanita itu. Tama terkesiap lalu mendongak. Terlihat di hadapannya wanita yang sangat cantik. Wajahnya oriental dengan balutan gaun merah maroon kontras dengan warna kulitnya yang putih sempura. Gadis itu tampak meringis sembari memegang pundaknya yang mulus.

"Maaf Nona. Kamu tidak apa-apa?" kata Tama dengan penuh perhatian. Mimik muka gadis itu terlihat memerah, dia tersenyum tersipu-sipu melihat pria gagah di hadapannya itu.

"Nona?" kata Tama sekali lagi. Gadis berwajah oriental itu menggeleng-gelengkan kepala lalu berdehem sejenak.

"Iya, Maaf Pak. Eh Mas." sahut gadis itu yang tampak gugup.

"Panggil saja Tama, kalau kamu?" Tama mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Gadis itu menyambut uluran tangannya.

"Lia."

Perkenalan singkat yang begitu mengesankan. Begitu yang ada di benak Gadis itu yang sepertinya sangat senang sekali bertemu dengan Pria Tampan yang wajahnya nyaris oriental seperti dirinya. Seperti ada dorongan di dalam dirinya untuk mengenal pria itu lebih dekat.

"Maaf, Saya tidak lihat jalan tadi. sehingga saya tidak sengaja menabrak Nona." Tutur Tama dengan wajah penuh penyesalan. Terlihat dia sangat gentleman sekali. semakin membuat darahnya berdesir.

"E-enggak, saya yang salah kok. Tapi ngomong-ngomong jangan panggil saya dengan sebutan Nona."

"Lia saja ya."

"Iya."

"Oh iya, aku duluan ya." Ujar Tama dengan langkah terburu-buru. Tapi langkahnya terhenti tatkala Lia memanggil. Gadis itu beringsut mendekati Pria gagah itu.

"Tama, kamu mau kemana?"

"Mau pulang, memangnya kenapa?"

Lia menunduk sambil mempermainkan jemarinya, seakan malu-malu untuk berkata-kata. Tama yang tanggap pun hanya tersenyum.

"Kok malu-malu gitu? Ngomong aja?" tutur Tama dengan suara sesantai mungkin.

"Supir aku telat jemput, boleh enggak kalau aku..."

"Boleh kok, ayo ikut." Sahut Tama yang seakan bisa menebak apa maksud gadis itu. Gadis itu terhenyak sesaat karena perkataannya terpotong terlebih dengan perkataan Tama yang terbuka dengannya.

Lia mengikuti Pria itu sampai ke mobilnya. Sesampainya di mobil, Tama membukakan pintu mobil, mempersilakan gadis itu masuk. Kemudian, Tama bergerak memutar ke kursi kemudinya.

Mobil itu mulai melaju di jalan raya. Belum ada percakapan diantara mereka. Terlihat Lia yang menyembunyikan wajahnya yang tersipu-sipu. Sekilas, dia melihat ke arah Tama. Wajah pria itu tampak serius tapi semakin mempesona di mata Lia.

"Oh iya, kamu tinggal dimana?" tanya Tama memecah kesunyian. Lia bersikap senormal mungkin supaya momen berdua mereka tidak terasa canggung.

"Apartemen Melati."

"Oh daerah sana. Dulu aku yang merancang bangunan itu lho." Terang Tama memulai ceritanya. Terlihat dia sangat bersemangat ketika menceritakannya. Dia sangat bangga dengan apa yang telah dia ranjang. Lia disampingnya hanya memperhatikannya dengan seksama. Apa yang dibicarakan Tama sama sekali tidak masuk di kepalanya. Dia hanya terfokus dengan raut wajah Tama yang menenangkannya.

"Oh gitu." Sahut Lia menanggapi. Dia tidak boleh terlihat pasif. Dia juga harus terlihat lebih aktif supaya Pria itu tertarik padanya.

"Kalau kamu tinggal di mana?" terus tinggal sama siapa? Sudah punya istri?' cecar Lia yang terlalu antusias. Tampak raut wajah Tama berubah sendu. Gadis belia itu merasa tidak enak hati.

"Aku tinggal di daerah perumahan di pinggir kota. Tunanganku baru saja meninggal dua minggu yang lalu." Jelas Tama dengan suara yang agak serak. Lia sungguh sangat menyesal menanyakan hal itu.

"Maaf aku tidak bermaksud untuk menyinggung perasaan kamu." katanya dengan nada yang pelan.

"Tidak apa-apa kok." Sahut Tama dengan tersenyum.

Sepanjang perjalanan suasana terasa sangat canggung, Lia menepuk keningnya sendiri. seharusnya dia tidak menanyakan hal yang terlalu pribadi ketika sedang bertemu dengan seseorang yang baru di kenal. Sekarang perkanalannya dengan pria yang dikaguminya hanya dengan sekali melihat itu pun pupus sudah. dia tidak mampu menghadirkan kesan yang menarik, justru menguak luka lama dirinya.

Mobil itu sudah sampai di depan rumah Lia, terlihat rumah Lia sangat megah dan mewah. Menandakan bahwa dia berasal dari keluarga milyarder. Tapi Tama tidak mengenal siapa Lia dan keluarganya. Mungkin dia terlalu fokus bekerja dan bekerja. dan kurang mengetahui tentang siapas aja orang yang paling kaya di kota itu.

Lia menoleh ke arah Tama. Tatapan matanya mengisyaratkan penyesalan yang dalam.

"Tama, maafkan aku atas perkataanku tadi ya."

"Enggak apa-apa kok santai saja." Tama terkekeh berpura-pura tidak terjadi apa-apa. tapi kerling matanya tidak bisa berbohong. Masih terlihat sendu.

"Ya, sudah. begitu aku turun dulu ya." Ujar Lia yang akan beranjak, tapi dia kembali duduk seolah ada sesuatu yang ketinggalan.

"Boleh enggak aku minta nomer telefon kamu."

"Sebentar." Tama mengambil dompet dan mengambil sebuah kertas kecil dari sana." ini kebetulan saya punya contact person. Hubungi saja nomor itu."

"Makasih ya." Ucap Liani sebelum dia keluar dari mobil Tama dengan tersenyum-senyum riang.

Tama menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia melihat Lia tidak ubahnya gadis seumuran anak sma yang sedang jatuh cinta. Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Kemudian, dia kembali menjalankan mobilnya. Berlalu dari depan rumah mewah itu.

Sementara tidak jauh dari sana terlihat seorang wanita berjubah yang sedang mengamatinya dari kejauhan. Antara kaget dan bimbang menyelimuti benaknya. Lalu dengan perasaan tidak menentu dai berlalu dari sana. Sebuah rencana terfikir di benaknya.